Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku, menerbangkan rambutku yang halus. Aku berjalan ke parkiran motor, berniat untuk langsung pulang selepas mengajar siang ini.
Tiba-tiba ponselku berdering. Nomor yang tertera di layar tidak kukenal.
"Halo selamat siang?"
"Ajeng, ini Tante Bella!" katanya tiba-tiba.
Duh calon mertua menelepon.
"Ooh, Tante Bella! Iya ada apa, Tante?"
"Kamu udah ketemu Ferdian hari ini?" tanyanya.
"Tadi udah sih, tapi cuma saling sapa aja," ujarku sedikit menutupi kejadian sebenarnya.
"Lha, kok cuma saling sapa? Padahal Tante udah bilang sama dia, sore ini kalian ada meeting sama wedding organizer rekan Tante!"
Duh, ya ampun, apa lagi ini?
"Ooh...harus sore ini ya Tante?" tanyaku memastikan.
"Iya, udah Tante kasih tahu ke pihak WO buat janjian sama kalian di Kafe Roxie jam 4 sore ini. Sengaja di sana, biar kalian pulang dari kampus bisa langsung kesana!" jelasnya.
"Oooh gitu! Tante datang juga kan?" tanyaku memastikan, karena jujur saja aku belum tergambar jelas akan seperti apa pernikahan nanti.
"Maaf Tante ga bisa! Ternyata sore ini jadwal kunjungan dokter ayahnya Ferdian. Jadi kalian yang urus sendiri aja ya? Kan kalian yang mau nikah, tinggal pilih-pilih aja sesuai apa yang kalian suka," jelasnya lagi.
Ya ampun, ada-ada aja ini Tante Bella! Aku sendiri belum tahu akan seperti apa nanti konsep pernikahannya. Obrolan terkait perjodohan dadakan kemarin saja belum selesai, sekarang sudah repot urusin pesta pernikahan.
"Nanti kamu hubungin Ferdian aja ya, kalian obrolin buat konsep pernikahan kalian. Tante harap pesta pernikahannya bisa jaga privasi Om Gunawan dan papa kamu. Jadi kita gak bakal undang banyak orang," ujarnya.
"Ooh gitu, baik Tante! Oh ya, maaf Tante, saya belum punya nomor Ferdian," ucapku menahan kata-kata.
"Ya udah, sekarang Tante kirim nomornya Ferdian! Dasar anak itu, padahal tadi pagi udah minta nomor kamu, tapi belum dihubungi juga ternyata," cerocosnya.
"Oh ya?"
"Iya, tadi pagi Tante lagi sibuk nyiapin urusan ayahnya. Dia ribut pengen minta nomor kamu," jelasnya menggerutu.
Jantungku mulai berdetak dua kali lebih kencang.
"Ya udah, Tante kirimin sekarang! Nanti kalau ada apa-apa hubungi Tante aja. Semoga lancar ya, bye...." ucapnya. Sambungannya diputus.
Sepertinya calon mertuaku ini tipikal orang yang agak cerewet, hmm....
Ponselku kembali berdering, siapa lagi ini? Nomornya sudah beda lagi. Apa nomor pihak WO nya ya?
"Ya halo, selamat siang, dengan siapa ini?"
.....
Tidak ada suara menjawab. Apa mungkin ada gangguan sinyal?
"Halo, ada yang bisa dibantu?"
.....
"Halo? Halo?"
Suara di seberang telepon berdehem, suara laki-laki.
"Hallo, Miss Ajeng, ini saya Ferdian!" ujarnya, suaranya lantang.
DUG DAG DUG
Tiba-tiba suara jantungku berdegup seperti bedug Maghrib.
"Iya kenapa?"
"Kita ada meeting sore ini di Kafe Roxie sama pihak WO, maaf dadakan, bunda saya yang bikin janji!" katanya.
Aku menengok ke seluruh penjuru, siapa tahu anak itu ada di sana. Benar, anak itu duduk di sebuah kursi di taman sambil menelponku.
"Halo, Miss?"
"Oh ya, ya, barusan bunda kamu udah info saya kok, jam 4 kan ya?"
"Iya betul! Kalau mau kita bisa pergi bareng kesana, bagaimana? Miss Ajeng masih di kampus kan?"
Hmm... anak ini berani juga ya mengajak duluan dosennya ini untuk pergi ke kafe.
"Terima kasih banyak, tapi rencananya saya mau langsung pulang, jadi kita ketemuan di kafe aja langsung ya? Saya akan pergi sekarang!"
"Ooh begitu, baiklah! Saya juga akan pergi sekarang! Kebetulan sudah tidak ada kelas lagi sore ini," sahutnya.
Duh! Kenapa aku harus bilang mau pergi sekarang? Padahal aku belum siap untuk berbincang dengannya. Tapi bagaimana ini, aku sudah terlanjur bilang, dan aku tidak bisa berpura-pura datang terlambat. Dimana harga diriku sebagai dosen yang selalu meminta mahasiswanya untuk menghargai waktu?!
"Oh, oh oke deh! Kita ketemu disana aja ya?!" ucapku ragu-ragu.
"Baik, Miss. See you (Sampai nanti)!"
Tut.
Aku menepuk jidat sendiri dan berjalan gontai mengambil motorku. Ya sudahlah, harus aku menghadapi masalah yang ada di depanku. Aku tak boleh menghindarinya.
\=\=\=\=\=
Kafe Roxie tidak jauh terletak dari kampus. Suasana sore itu cukup sepi. Alunan lagu populer dari dalam negeri, menghiasi atmosfer kafe yang bergaya modern. Seorang pelayan menyapaku, mengantarku ke tempat duduk yang paling nyaman. Aku tidak tahu, ada berapa orang yang akan datang dari pihak wedding organizer. Jadi kupilih saja meja dengan 4 sofa nyaman di pinggir jendela lantai dua.
Aku menitip pesan pada pelayan agar mengantarkan tamu ke mejaku, jika ada yang bertanya keberadaanku. Kemudian, aku memesan secangkir cappucino dengan ekstra krimer untukku.
Ternyata cukup nyaman juga suasana kafe disini, di meja ini. Aku bisa memandang keluar, sambil memperhatikan keadaan jalan raya yang padat atau melihat sempitnya langit karena terhalang oleh tingginya gedung-gedung perkantoran.
"Sudah lama, Miss?" tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari belakang.
Jantungku mulai berdetak tidak karuan.
"Baru sampai juga, kok! Silakan duduk!" kataku.
Anak itu mengangguk. Argh, kenapa aku sering menyebutnya anak?! Padahal bulan depan dia akan menjadi suamiku.
"Kamu mau pesan apa?" tanyaku inisiatif.
"Hmm... saya boleh pesan seperti yang Miss Ajeng pesan, kan?" tanyanya.
Silly question (Pertanyaan lucu)!
"Ya boleh aja dong! Aneh deh kamu!"
Dia tertawa-tawa sambil menutup mulutnya. So funny!
Suasana canggung mulai terasa di antara kami berdua yang duduk saling berhadapan. Aku terus saja melihat pemandangan di luar. Jujur, baru kali ini aku merasa gugup sekali berhadapan dengan seorang mahasiswa, ehm, calon suami.
"Apa Miss Ajeng setuju dengan perjodohan ini?" tanyanya memecah keheningan.
"Umm... kamu sendiri?" aku balik bertanya.
Dia pun bergumam.
"Saya..., menyetujuinya!"
"Apa alasan utama kamu untuk menyetujui perjodohan ini?" tanyaku penasaran.
"Pertama, tentu saja karena kondisi ayah saya yang semakin hari semakin lemah. Mau tidak mau, saya tidak tega untuk menolaknya," jawabnya.
"Berarti, hati terdalam kamu memang ingin menolak, begitu?"
"Bukan begitu! Maksud saya, saya tidak bisa menolak jika hal ini dilakukan saat ini. Bisa saja saya menolak hanya untuk diundur waktunya," sergahnya.
Hmm....
"Alasan kedua?" tanyaku lagi.
"Alasan kedua, ...." ia menghela nafas, lalu bergumam.
"Saya...."
Tiba-tiba pelayan datang membawakan pesanan tambahan kami, secangkir cappucino, sebuah lava chocolate cake, dan sepotong cheesecake.
"Kalau alasan Miss Ajeng apa? Kenapa bisa menyetujui perjodohan ini?" tanyanya lagi.
"Tadi kamu mau jawab alasan yang kedua lho!" kataku menyela.
"Tapi saya sudah menjawab alasan pertama, kali ini giliran Miss yang jawab dulu," ucapnya ngotot.
"Baiklah! Actually (sebenarnya), alasan pertamaku juga sama kaya kamu! Ini buat kebahagian papa!" jawabku singkat.
"Terus, dalam hati terdalam apakah Miss menyetujuinya?" tanyanya seperti pertanyaanku tadi.
Aku tersenyum dan menggeleng.
"I'm sorry, I don't! (Maaf, saya gak setuju)!" kataku jujur.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa kalau ekspresi wajahnya berubah.
"Ooh oke," jawabnya tertunduk.
"Saya ini sebenarnya ingin fokus pada karir. Tahun ini saya baru diangkat jadi dosen tetap, dan ini pencapaian yang cukup berharga buat saya. Makanya saya berusaha untuk menikmatinya. Tapi ternyata, papa sudah menjodohkan saya, tanpa kabar, tanpa informasi apapun. Beliau pasti tahu, saya akan menentangnya jika diberitahu duluan," ceritaku.
Wajah anak itu menatapku serius. Entah kenapa terlihat ganteng. Aku jadi grogi dibuatnya.
"Jadi, kenapa Miss pingsan kemarin karena merasa terkejut?" tanyanya.
"Hmm... sepertinya, iya!"
Aku baru sadar memang ia memiliki rahang yang kekar, dengan dagu yang sedikit lancip. Bibirnya terlihat kecil dan lebar namun berisi. Alisnya cukup tebal dengan sudut kemiringan yang pas sehingga proporsional dengan hidung mancungnya.
"Boleh saya yang bertanya sekarang?" tanyaku.
Ia mengangguk saja.
"Apa kamu sudah siap untuk menjadi kepala keluarga? Untuk menjadi suami dan ayah untuk istri dan anak kamu?" tanyaku to the point, karena menurutku inilah inti dari keluarga. Calon pengantin harus bisa bertanggung jawab untuk masing-masing peran di kehidupan pernikahan mereka, bukan?
Aku menatap wajahnya. Ia tampak melihat ke langit seolah mencari jawaban di sana. Kemudian membalas tatapanku, tajam sekali.
"I do!" ujarnya singkat.
"By what? Dengan cara apa kamu meyakinkan calon istri kamu untuk bisa memastikan bahwa kamu adalah orang yang bertanggung jawab itu?"
"I know, bukan perkara yang mudah untuk menjadi suami dan ayah. Tetapi jika dalam diri ini sudah memiliki komitmen kuat, dan mengetahui persis seperti apa tanggung jawab dari peran-peran itu, tentu harusnya bisa melakukannya dengan ikhlas," jawabnya.
Hmm, ternyata cukup dewasa juga pemikirannya nih. Padahal dia masih mahasiswa semester lima.
"Pernikahan adalah pembelajaran sepanjang hidup, kita bisa belajar sambil menerapkannya, kita bisa memperbaiki sesuatu jika memang tercipta kesalahan. Tidak ada pernikahan yang sempurna, karena semua bisa mencoba, berbuat salah, memperbaiki, dan mencoba lagi kemudian bisa jadi berhasil," tambahnya lagi.
"Jadi inilah alasan kedua saya! Saya merasa kalau saya bisa memikul tanggung jawab itu, untuk menjadi suami, sahabat, partner kerja, dan umm..., juga menjadi ayah dari anak-anak saya di waktu yang bersamaan," lanjutnya, kata-kata di akhir agak mencurigakan dari nadanya. Ia terdengar ragu-ragu.
Akan tetapi ternyata sedewasa itu pemikirannya. Kenapa aku jadi terharu? Lalu dimana alasan dan tujuan pernikahanku? Sepertinya aku yang belum dewasa. Aku masih memikirkan diri sendiri.
Aku berdehem.
"Nice answer (Jawabannya bagus)! Pemikiran kamu ternyata lebih dewasa dari apa yang saya kira. Maaf!"
"It's okay, Miss! Wajar saja, kita belum mengenal lebih dekat. Orang memang selalu memandang dari jilidnya dulu bukan?"
Aku tersenyum kecil. Sepertinya aku bisa menerima dia secara perlahan.
"Saya boleh tanya lagi?" tanyaku ragu.
Ia mengangguk sambil memperbaiki posisi duduknya. Sepertinya ia merasa tegang.
"Ini terkait masalah nafkah. We both know (kita berdua tahu), saya seorang dosen tetap, dan kamu mahasiswa. Sementara kamu nanti akan jadi imam saya, yang berkewajiban memberi nafkah baik lahir maupun batin kepada istrinya. Saya belum mengetahui secara detail apa aktivitas kamu, dan apakah memang kamu sudah punya pekerjaan? Okelah, orangtua kita sama-sama pebisnis sukses, tapi kita harusnya bisa lebih mandiri bukan?!"
Ferdian tampak sekali sedang menelan ludahnya. Wajahnya terlihat menegang.
"Mmhh..., saya sebenarnya sudah ada usaha yang menghasilkan, ya, meskipun hasilnya belum banyak. Akan tetapi saya bisa mengusahakan untuk terus menafkahi istri saya nanti, karena saya sadar itu adalah kewajiban saya setelah menjadi suami. Bahkan hal itu harus lebih saya prioritaskan daripada kuliah.
Saya juga akan berusaha untuk tidak meminta kepada orangtua, kecuali keadaan darurat. Menurut saya, hal itu justru akan menjatuhkan harga diri saya di depan istri," tambahnya lagi.
"Kamu bisa kasih tau apa pekerjaan kamu? Just be honest (jujur aja), saya akan menghargai apa yang kamu kerjakan selama itu halal," ujarku agar membuat dia percaya diri.
Gerak-geriknya menjadi lebih rileks kali ini.
"Saya punya usaha kafe. Kadang-kadang saya juga magang di perusahaan ayah. Kalau lagi senggang atau mood bagus, saya kontrak dengan agensi untuk pemotretan produk fashion," ungkapnya. Dugaanku tepat, dia seorang model.
"Hmm.... very nice (bagus banget)! Kafe apa nih?"
"Kafe untuk mahasiswa, pasarnya untuk kelas menengah ke bawah. Jadi harga produknya ga terlalu mahal. Alhamdulillah sejauh ini sejak tahun lalu berdiri selalu ramai," terangnya santai.
"Keren banget!" pujiku tulus.
"Makasih," ujarnya tersipu.
"Saya apresiasi kamu. Berarti memang kamu mempersiapkan masa depan kamu dengan baik," pujianku benar-benar membuat matanya berbinar.
"Thanks, Miss! Jadi apa Miss benar-benar mau nikah sama saya?" tembaknya membuat jantungku sepertinya akan melompat ke tangannya.
"Mmm..., sejauh ini, boleh lah!" jawabku menahan lisan.
Matanya makin berbinar dan senyumannya melebar. Rasanya baru kali itu aku melihat seorang laki-laki bahagia, seperti sedang jatuh cinta.
Apa? Jatuh cinta?! Apa dia jatuh cinta denganku yang berumur lebih tua darinya?
"Apa kamu gak mempermasalahkan saya yang jauh lebih tua dari kamu?" tanyaku.
"No, not at all (Gak sama sekali)! Saya malah seneng bisa dijodohkan dengan Miss Ajeng yang dewasa dan mandiri, dan juga, ehemm, cantik."
Hmm, bisa juga nih gombalnya! Tapi, boleh deh, aku terima gombalan jujurnya.
\=\=\=\=\=
Jangan lupa like & vote yaa
Tinggalkan komentar juga untuk kasih masukan yang membangun
Terima kasih ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 311 Episodes
Comments
Sartika Fajar
aku nongol lagi nhe thor. ini adalah kali keduanya aku baca karyamu yg ini thor, yg pertama kali aku baca itu tahun lalu thor dan masih di hp yg lama. aku tetap suka bacanya walaupun sudah tau jalan ceritanya and endingnya smp' ke cerita anak mereka berdua, tpi tetap gag buat aku bosan thor. semangat y thor, nunggu karya yg baru lagi aku nya thor💪💪💪💪💪😁😁😁🥰🥰🥰😘😘😘😍😍😍
2022-05-24
1
Nacita
aduhhhhh gemesa sm ferdian 😂
2022-02-24
0
Quen Linya√~°^
baper makkk
2021-06-01
0