Mahasiswaku Calon Suamiku?
Pagi itu matahari bersinar hangat. Udara sejuk Kota Bandung yang pernah dahulu aku hirup, kini telah berganti oleh sesaknya polusi di jalanan yang padat. Namun begitu, bunyi kicauan burung dan decitan serangga masih bisa terdengar di kala mentari menyapa. Kabut dan asap polusi bercampur menjadi satu, yang kemudian beberapa menit lagi akan pudar seiring bertambahnya waktu.
Hari ini seperti hari lainnya. Aku berangkat ke kampus di pagi hari, karena ada jadwal mengajar di jam pertama. Jalanan padat dipenuhi berbagai macam kendaraan. Jaket kulit andalanku ini selalu bisa menangkal bau polusi yang akan mencemari pakaianku. Maklum saja, aku selalu mengendarai motor modern bergaya klasik jika harus pergi ke kampus. Ya, demi meminimalisir terjebak kemacetan, aku harus pandai mengendarai motor dengan lihai, menyalip kendaraan-kendaraan besar atau kecil agar bisa cepat tiba di kampus kesayangan.
Kaca mata dan helm bergaya antik kulepas setibanya di halaman parkir fakultas tempatku mengajar. Sebelum masuk ke dalam kelas, aku harus mengabsen di ruang jurusan. Ah, rasanya aku selalu menjadi perhatian pusat banyak orang yang kulintasi. Apalagi penampilan seperti yang kupakai hari ini. Sepatu ankle boots, rok merah suede selutut, kemeja hitam dengan rompi berwarna coklat pasti terlihat sangat fashionable. Ditambah lagi rambut panjangku yang dicat warna merah, membuat penampilanku semakin menawan.
Aku mengaplikasikan sedikit bedak dan lipcream, serta parfum sebelum aku mengajar. Sip, penampilanku sudah sempurna, dan aku siap mengajar dengan percaya diri.
Aku berdandan dan berpenampilan menarik bukan untuk menarik perhatian orang banyak. Melainkan hanya karena aku suka, dan aku merasa lebih percaya diri. Aku sering mendengar beberapa orang yang tidak menyukaiku, katanya aku keganjenan, sok cantik, atau tebar pesona. Whatever lah! Yang penting, aku sudah menjadi diriku sendiri dan aku tidak peduli dengan omongan mereka semua.
Aku berjalan melewati koridor gedung C, dimana nanti aku akan mengajar.
"Good morning (Selamat pagi), Miss Ajeng!"
Mahasiswa-mahasiswa rajin yang telah duduk menunggu kelas menyapaku. Aku senang mereka menyapaku dengan ramah, merasa mereka menghormatiku. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman.
Ruangan kelas 304 di lantai tiga sudah dipenuhi oleh sekitar 30 orang mahasiswa, jika semua hadir tentunya.
"Good morning, everybody (Selamat pagi semuanya)!" Sapaku setibanya di kelas.
Banyak pandang mata tertuju padaku, terbaca olehku, mereka terkesima denganku. Those are nice (Bagus)! Aku bangga dengan diriku sendiri.
"Okay, now please open your Grammar Book page 25 (Oke, sekarang silakan buka Buku Grammar halaman 25)! ujarku dengan semangat.
Yes, aku adalah seorang dosen Sastra Inggris di salah satu kampus swasta elit di Kota Bandung. Usiaku 25 tahun, still young? Of course (Masih muda? Tentu saja)! Aku sudah diangkat menjadi dosen tetap tahun ini. Hal ini membuatku lebih semangat dan enerjik. Karir ini membuatku selalu bahagia. Di kelilingi banyak orang, sambil mengajarkan apa yang sudah kupelajari, aku merasa bermanfaat untuk orang banyak. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk tampil menarik dan enerjik, agar energiku bisa kutebarkan pada mereka semua, mahasiswa-mahasiswaku, teman-teman dosenku, dan siapa saja yang kutemui.
Tak jarang, aku mendapatkan pelecehan seksual secara verbal. Namun aku tak peduli, kuanggap angin lewat. This is my life, so I must stand for my own life (Ini hidupku, jadi aku mesti kuat) .
"Absennya sudah isi semua?" tanyaku memastikan sebelum mereka pulang.
"Ferdian, kamu udah absen belum?" tanyaku, hanya anak itu biasanya yang sering lupa mengabsen di jam pelajaranku.
Seorang mahasiswa bertubuh tinggi, mungkin sekitar 180-an centimeter berdiri dari bangkunya. Wajahnya tampan, kulitnya putih bersih, dan bahunya lebar. Ia tampaknya punya pekerjaan sebagai model. Gaya berpakaian dan rambutnya rapi. Ia berjalan ke depan, menuju tempat absensi digital.
"Kebiasaan deh, minggu depan jangan sampai lupa lagi ya?!"
Ia mengangguk, lalu men-scan barcode dari map yang kubawa untuk absensi digitalnya. Lalu kembali berjalan menuju tempat duduknya.
"Okay, thanks for today! Don't forget to do your assignment! See you later, bye! (Baiklah, terima kasih untuk hari ini! Jangan lupa kerjakan tugasnya, ya? Sampai jumpa lagi, daaah!)"
"Bye!!" mahasiswa serempak membalas.
\=\=\=\=\=
Hari yang melelahkan. Meskipun hanya dua kelas saja jadwalku hari ini. Namun terasa meletihkan.
Tiba-tiba ponselku berdering selepas mengajar.
"Halo? Ada apa, Ma?" tanyaku pada Mama yang menelponku tiba-tiba saja.
"Nanti malam kamu ke rumah ya? Papa kedatangan sahabatnya nih, sekalian kita semua silaturahmi!"
"Sepenting apakah acaranya?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju parkiran.
"Really really important! For your dad, Mom, and of course, yourself (Sangat sangat penting! Untuk papa, Mama, dan kamu tentunya)!"
"Really (Benarkah)?!" Tanyaku memastikan.
"Tentu, Sayang! Ini sahabat papamu udah lama banget ga ketemu. Dulu dia yang selalu bantu kita untuk bangkit dari keterpurukan hidup. Bahkan dia juga yang membiayai sekolahmu sampai keuangan bisnis papa benar-benar stabil!"
"Hmm... okay, I'll be there (Baiklah, aku akan disana)!"
"Datang sebelum jam 7 malam ya?!"
"Okay, Ma!"
Aku mendengus kesal. Padahal aku sudah berencana untuk membuat penelitian untuk jurnal review terbaruku. Tetapi aku sudah mengiyakan, artinya aku tidak boleh beralasan untuk tidak hadir.
Malam itu tepat pukul 18.30 aku tiba di rumah papa. Kakakku yang tinggal di Jakarta, Nadya, ternyata juga datang bersama suaminya, Mas Bima dan anak mereka yang lucu, Alice. Ah, sepertinya memang tamu kali ini benar-benar penting.
"How are you (Apa kabar), Sayangnya Papa?" tanya Papa sambil mengecup pipiku.
"Aku baik, Pa! Papa sehat kan?"
Papa mengangguk. Meskipun sama-sama tinggal di Bandung, aku jarang datang berkunjung ke rumah Papa dan Mama, sesekali saja jika memang jadwal terasa longgar.
"Temuin Mama kamu, gih! Dia punya sesuatu untuk kamu!" ujarnya.
Aku berjalan menuju kamar Mama. Ia tampak cantik sekali meskipun keriput wajahnya sudah terlihat.
"Hai, Ma! Kata papa, Mama ada sesuatu untukku?" sapaku langsung, sambil mencium mama.
"Iya, ini nih, dipakai sekarang ya!" ucapnya, sambil menyodorkan sebuah gaun berwarna peach dengan panjang sebetis dan lengan bermodel sabrina.
"For me? Wearing this, right now (Untuk aku? Pakai ini sekarang)?"
Mama mengangguk mantap.
"Tapi untuk apa? Memang acara apa hari ini?" tanyaku penuh heran.
"Udah pakai aja, Mama bantu pakai ya?"
Dengan terpaksa aku melepas semua outfit andalanku, dan menggantinya dengan gaun itu. Terlihat cantik memang dan sangat cocok untukku. Tetapi kenapa aku harus memakainya? Ditambah mama mengalungkan sebuah kalung emas putih, dengan liontin permata berwarna maroon seperti warna rambutku.
"Wow, you look so beautiful, darling (Wow, kamu sangat cantik, Sayang)! Nadya! Coba deh liat sini, gimana penampilan Ajeng menurut kamu?"
Nadya datang sambil menuntun putrinya.
Ia menutup mulutnya dengan mata yang melebar.
"Stunning (Menawan)!" katanya singkat.
Sebenarnya, aku merasa kurang nyaman dengan gaun ini, terasa dingin karena bahuku terekspos.
"Mama! Tamu kita sudah datang!" teriak Papa memanggil kami semua.
Kami semua bergegas keluar menyambut tamu spesial papa, yang ternyata adalah keluarga dari Om Gunawan. Tak kusangka, Om Gunawan yang sering Papa temui ternyata donatur utama keluarga kami. Biasanya ia terlihat bugar dengan tubuhnya yang gagah. Namun yang kulihat malam ini begitu berbeda. Ia terlihat lemah dan pandangannya sayu, duduk di kursi roda yang didorong oleh pelayannya. Di sampingnya berjalan istrinya yang cantik dengan rambut panjang bergelombang, Tante Bella. Lalu, di belakangnya tampak berjalan seorang pemuda tinggi dan tegap mengenakan setelan tuksedo. Rambutnya rapih dan mengkilat seperti sepatu pantofelnya. Wajahnya begitu familiar di mataku, hanya saja dimana aku pernah bertemu dengannya?
"Selamat datang di kediaman kami, sahabatku, Tuan Gunawan!" sapa Papa di hall room rumah kami.
Papa memeluk erat sahabatnya itu dengan tangis, sepertinya memang hubungan mereka begitu dekat.
"Cepatlah sembuh, Pak!" ujar papa, sambil mengusap matanya.
Om Gunawan mengangguk-angguk. Ia sepertinya kesulitan berbicara karena haru.
Kami menyalaminya satu persatu. Begitu juga dengan Tante Bella. Aku baru tersadar akan pria itu, ketika melihat wajahnya jelas di hadapanku.
"Kamu, Ferdian?"
\=\=\=\=\=\=
Jangan lupa support dengan klik like dan vote ya untuk author <3
Jangan lupa juga klik favorit biar notifnya masuk saat cerita ini diupdate ^^
Terima kasih :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 311 Episodes
Comments
Ni made Sulastini
dicari- cari eh bru ketemu lgi sama nie novel. TDK ngebosenin baca lgi😃😃
2022-05-05
1
ilis hayuwen
baca lagi kedua kalinya niih
2022-02-24
0
lia
wow bagus banget ceritanya emang noveltoon emang bagus
2021-12-27
0