“Pantas ... pantas Bian menceraikan kamu, bahkan dia sampai lebih memilih bunuh diri, ketimbang jadi suami kamu!”
Episode 12 : Menolong Rafael
Fina merasa menjadi orang paling jahat setelah meninggalkan Rafael dan memutuskan tak lagi membantu pria itu. Rafael yang sudah sangat berjasa dalam hidup Fina, bahkan membuat derajat keluarga Fina terangkat. Karena selain pertolongan Rafael membuat Fina menjadi satu-satunya sarjana di desa kelahirannya, Fina juga satu-satunya orang yang menjadi guru di desanya, meski masih sebatas guru honorer.
Fina yang awalnya melangkah tegas sekaligus cepat, menjadi ditawan keresahan, seiring langkahnya yang juga menjadi lebih pelan. Kedua tangan Fina sibuk memilin ujung pakaian bagian depannya--hal yang menjadi kebiasaan Fina ketika sedang bimbang. Dan tak lama kemudian, setelah langkah Fina sampai berhenti, wanita itu juga berangsur menoleh ke arah koridor keberadaan Rafael yang sudah tak lagi terlihat, lantaran koridor keberadaan Rafael ada di seberang pertigaan koridor di hadapan Fina.
“Rafael bilang, kakeknya sedang sakit parah? Bahkan sepertinya, Rafael baru datang dari Jakarta? ... kasihan kalau sesuatu yang fatal, sampai menimpa kakeknya. Dan jika itu sampai terjadi, biar bagaimanapun, ... aku salah karena aku enggak mau bantu."
"Padahal, ... Rafael sudah sangat berjasa kepadaku. Bahkan karena bantuan dana dari Rafael pula, aku bisa mengangkat derajat keluargaku,” lirih Fina.
Kendati merasa prihatin dengan apa yang menimpa Rafael terlebih ia juga sedang merasakan hal yang sama yaitu memikirkan kesehatan Raswin, tetapi Fina masih bimbam. Ia kadung trauma setelah pertolongannya pada Bian sekeluarga, justru menjadi awal malapetaka kehidupan Fina.
Setelah menimang rasa nyaris dua menit, akhirnya Fina mengambil keputusan. “Ya sudahlah ... untuk kali ini saja. Setelahnya, Rafael harus serius cari istri biar dia enggak hanya menyewa orang!” pikirnya yang detik itu juga tak lagi memilin ujung pakaian bagian depannya.
Ketika Fina melangkah tegas sekaligus tergesa, tak jauh darinya, dari lorong di seberang, empat orang ibu-ibu yang baru meninggalkan Fitri berikut Teguh, karena keempatnya baru saja menjenguk Bian, tak sengaja melihat kepergian Fina.
“Eh, Bu-ibu, bukankah itu Fina? Oh, iya ... si pak Raswin juga dirawat di sini, kan? Ya sudah kita sekalian jenguk saja, yuk? Kita susul Fina!” ajak salah satu dari mereka.
Sontak, ketiganya menyanggupi usul tersebut. Mereka langsung menyusul kepergian Fina dengan jiwa ibu-ibu yang dipenuhi kepedulian, meski terkadang rasa ingin tahu yang terlampau besar, membuat mereka justru sibuk nyinyir. Dan karena langkah Fina terlalu cepat, mereka pun sampai melongok, berusaha menyeimbangi, sambil terus menatap ke mana Fina pergi.
***
Dengan berat hati, Rafael yang merasa sangat tertekan dan sempat tertunduk pasrah di depan pintu ruang rawat sang kakek, meraih gagang pintu. Ia baru saja menekan gagang pintu untuk membuka pintu di hadapannya, ketika suara lari, berhenti tepat di belakangnya.
“Rafael, tolong tunggu sebentar!” Fina yang ngos-ngosan karena berlari, sampai membungkuk, sesaat setelah mengerem larinya.
Rafael yang refleks menoleh, menatap sekaligus menyambut kehadiran Fina dengan antusias. Matanya sampai berbinar-binar. “Kamu kembali dan datang ke sini, maksudnya, ... akhirnya kamu mau bantu aku?” sergahnya sambil menghampiri Fina. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter.
Fina yang masih membungkuk dan mengatur napasnya sesantai mungkin, berangsur mengangguk.
Rafael tersenyum lepas dan terlihat sangat terharu. Bahkan saking senangnya, ia nyaris memeluk Fina, andai saja Fina tak langsung mendorongnya menggunakan sebelah tangan.
Fina yang sudah kembali berdiri setelah refleks mendorong Rafael yang nyaris memeluknya, segera berkata, “janji, ya, enggak boleh ada adegan aneh-aneh. Cukup sebatas gandengan! Satu lagi, ini yang terakhir kalinya, ya?”
Rafael yang masih diselimuti kebahagiaan, mengangguk dan setuju-setuju saja dengan persyaratan yang Fina berikan.
“Lagian kamu ini aneh! Tinggal nikah, apa susahnya, sih? Apa jangan-jangan, kamu justru pria sekelas Ipul?!” cibir Fina kemudian.
“Eh, omong-omong, kamu nyamain aku sama Ipul, ... Ipul itu siapa?” balas Rafael penasaran. Ia sampai menatap Fina dengan mengernyit. Ada begitu, orang yang benar-benar mirip dirinya?
Fina yang merasa malas membahas Ipul lebih lanjut, berangsur menghela napas sambil bersedekap. Ia menatap Rafael dengan tatapan sebal. “Ya itu, yang tadi tiba-tiba nonjok kamu. Itu namanya Ipul!”
Rafael dibuat tak percaya dengan balasan Fina. Ia sampai refleks mendelik sambil mencebik, memastikan balasan Fina. “Pria item tadi itu ...? Yang cuma kelihatan gigi sama matanya? ... demi apa, kami beda kelas, kali! Heran, bisa-bisanya kamu nyamain aku sama dia!” uringnya sambil bersedekap. Apa yang terjadi pada Fina yang sudah lebih dulu menatapnya sebal juga menimpanya. Ia bersedekap sambil menatap sebal kepada Fina.
“Sudah ... mau dibantu, enggak? Aku enggak punya banyak waktu, karena bapakku juga sedang sakit!” keluh Fina.
Rafael langsung terjaga dan seketika itu juga teringat nasibnya yang akan terjerat perjodohan, andai ia tidak segera mengenalkan calon istri dalam kurun waktu empat puluh delapan jam, sesuai ketentuan sang kakek.
Rafael mengangguk serius. “Baiklah. Tapi, ... kamu enggak ada pakaian yang lebih rapi? Di seberang ada toko pakaian. Kita ke sana buat cari pakaian yang lebih layak!” sergahnya yang kemudian menggandeng sebelah tangan Fina dan nyaris membawanya pergi, andai saja Fina tidak protes.
“Sudah aku bilang, aku enggak ada banyak waktu. Lagi pula, seharusnya kakekmu juga ingat aku,” ucap Fina.
Rafael yang terdiam merenungi balasan Fina, segera mengangguk. “Benar juga, ya? Oh, iya. Dulu, kan, aku juga pernah kenalin kamu ke kakek?”
Kehadiran Fina yang kembali mau membantunya, membuat Rafael merasa sangat lega. Setidaknya, dengan begitu, ia tidak akan terjerat perjodohan, dan tentunya, ia masih bisa memperjuangkan cintanya kepada Fina.
Karena Fina tidak punya banyak waktu, Rafael pun berinisiatif membenarkan tampilan Fina. Setelah mengamati tampilan Fina dari ujung kepala hingga ujung kaki, Rafael nyaris meraih cepolan rambut Fina yang sudah berantakan dan sebagian rambut wanita itu juga terjuntai.
Fina sendiri masih mengenakan seragamnya sebagai guru--batik warna hijau lengan panjang sebagai atasan, sedangkan celana pensil hitam dipilihnya sebagai bawahannya--lantaran setelah Bian memulangkannya, Fina belum sempat mandi atau sekadar ganti pakaian. Jangankan memikirkan mandi atau sekadar ganti pakaian, jangan bunuh diri seperti Bian saja, Fina sudah merasa sangat bersyukur.
“Eh ... eh! Ingat, aku istri orang!” tahan Fina yang menjadi tegang dan refleks menghindari Rafael.
“Tampilanmu enggak sedap pandang!” protes Rafael yang hampir meraih ikat cepolan rambut Fina, tetapi kali ini, Fina kembali menahannya.
Fina menahan tangan Rafael yang sudah ada di kepalanya. Ia berangsur menurunkan tangan Rafael tanpa menatap pria itu, lantaran ia memilih menunduk. Setelah itu, ia mundur, melipir dan balik badan sambil melepas cepolan rambutnya. Dan tak lama setelah itu, Rafael yang terus mengamati apa yang Fina lakukan menjadi cukup gugup ketika rambut tebal lurus berwarna hitam milik Fina yang panjangnya sepunggung, memenuhi pandangannya.
“Kok, kalau seperti ini, mirip banget kayak lihat Sunny dari belakang, ya?” batin Rafael.
“Meski belum mandi, untung aku sudah bahkan baru cuci muka sama gosok gigi,” batin Fina sambil merapikan asal susunan rambut di sekitar wajahnya. Dan tak lama setelah itu, ia balik badan, membuatnya kembali menatap Rafael. Fina siap membantu pria itu.
Meski sempat tak percaya ketika Fina balik badan dan membuat wanita itu menghadap padanya, lantaran tampilan Fina yang tak mencepol rambut membuat wanita itu makin mirip Sunny, Rafael berangsur meraih sebelah tangan Fina kemudian memimpin langkah.
Fina menatap tak percaya gandengan tangan Rafael, di mana kenyataan tersebut membuatnya merasa sedih. “Selama menikah sama Bian yang enggak kurang dari satu minggu, Bian sama sekali enggak menyentuh aku, walau sakadar menggandeng,” batinnya. “Dan sekarang, Rafael menggandengku karena kami sedang pura-pura jadi pasangan,” batinnya lagi dan sudah nyaris menangis.
Fina baru mengikuti tuntunan langkah Rafael, sedangkan Rafael baru saja memegang gagang pintu, ketika ke empat ibu-ibu yang menyusul Fina, tak sengaja melihat Fina. Keempatnya persis di pertigaan koridor keberadaan Fina dan Rafael. Mereka menatap tak percaya pemandangan di hadapan mereka. Fina digandeng pria, sedangkan mereka terlihat sangat dekat!
“Ya ampun, Fina?” seru salah satu dari keempatnya.
Mendengar namanya disebut, Fina refleks menoleh untuk memastikan. Pun dengan Rafael yang memberi Fina kesempatan, di mana ia juga ingin tahu apa yang akan terjadi. Rafael yakin, keempat ibu-ibu itu mengenal Fina.
“Ternyata apa yang diomongin Ipul benar, ya?”
“Kamu begini ...?”
“Pantas ... pantas Bian menceraikan kamu, bahkan dia sampai lebih memilih bunuh diri, ketimbang jadi suami kamu!”
Ketiga ibu-ibu yang tersisa, berucap berestafet sambil menatap tak habis pikir bahkan jijik pada Fina berikut Rafael.
Rafael menatap keempat ibu-ibu di sana dengan mengernyit. Dari yang dimaksud keempat ibu-ibu di hadapannya, ia hanya mengenal Ipul dan itu belum lama lantaran Fina sampai menyamakannya dengan pria hitam yang memiliki watak kasar itu. Namun, mengenai Fina yang diceraikan Bian bahkan Bian lebih memilih bunuh diri ketimbang jadi suami Fina, ini sangat membuat Rafael terkejut. Rafael sampai refleks menelan ludah, terlebih Fina mengaku masih bersuami!
“Ibu-ibu, apa yang Ibu-ibu lihat, tidak seperti yang ibu-ibu kira,” ucap Fina berusaha menjelaskan, tetapi ia lupa dengan gandengan tangan Rafael yang masih menahannya. Rafael masih menggandengnya!
Keempat ibu-ibu itu langsung menatap Fina tajam sekaligus jijik. Bibir bergincu merah mereka juga tak hentinya merapal hinaan lirih pada Fina.
“Bahkan bapakmu sedang sakit, ... kamu masih saja begini?” sambung salah satu dari keempatnya menyayangkan keadaan Fina yang baginya sudah sangat keterlaluan.
Fina yang menggeragap saking bingungnya, menjadi sibuk menggeleng. Dan ketika ia tahu tangannya masih digandeng Rafael, ia segera mengakhirinya.
“Ibu-ibu, ... pria ini, dia saudara jauh saya yang baru pulang dari Jakarta!” jelas Fina.
Namun, keempat ibu-ibu itu tak acuh dan telanjur malas sekaligus jijik berhubungan dengan Fina. Waktu keempatnya terlalu berharga untuk berurusan apalagi mendengarkan penjelasan dari Fina.
Fina melepas kepergian keempatnya dengan hati yang menjadi kembali gamang. “Semuanya seolah sudah diatur. Semua kesalahan untukku yang membuatku cacat di mata semua orang, begitu runtut bahkan sempurna,” batin Fina yang bahkan menjadi ragu menolong Rafael. Ia kadung malu lantaran akhirnya Rafael mengetahui polemik kehidupannya. Tentang sakitnya Raswin, juga Bian yang lebih memilih bunuh diri ketimbang menjadi suaminya.
Meski tidak yakin orang seperti Rafael akan benar-benar peduli terhadap kehidupan Fina, tetapi Fina sudah telanjur merasa hina.
Dengan keadaannya yang kembali menunduk, menyeka air matanya yang telanjur rebas mengiringi rasa perih yang memilih ulu hatinya, Fina berkata, “jadi menemui kakekmu enggak? Tapi sebentar saja, ya?” Ia berangsur balik badan dan membuatnya menghadap Rafael, lantaran ia masih sangat malu.
Sebenarnya, Rafael bingung dengan apa yang harus ia rasakan. Apakah ia juga harus merasa miris kepada Fina layaknya keempat ibu-ibu tadi? Atau, merasa iba terlebih keadaan Fina mendapatkan hinaan tajam, lantaran wanita itu menolongnya?
“Mengenai kejadian tadi enggak usah dipikirkan. Serius, aku enggak punya banyak waktu. Tapi kalau kamu enggak jadi, enggak apa-apa. Aku pergi,” ucap Fina sesaat setelah menghela napas dalam, demi meredam sesak yang lagi-lagi memenuhi dadanya.
“Eh!” sergah Rafael yang kembali menahan sebelah pergelangan tangan Fina, padahal wanita itu baru akan balik badan.
“Tolong jangan sesedih itu, ... kakekku bisa mikir macam-macam, kalau kamu justru sesedih itu,” pinta Rafael.
“Sekarang ini, aku enggak mungkin enggak sedih. Sudah, cepat, ... sebelum aku benar-benar nangis,” balas Fina masih menunduk dan mengelap tuntas air matanya.
Meski masih merasa ragu sekaligus merasa bersalah atas kesedihan Fina, tetapi Rafael berangsur meraih gagang pintu ruang rawat Raden, dan membuat pintu terbuka. Ia menuntun masuk Fina dengan hati yang menjadi berdebar-debar menahan tegang. Entahlah, kenapa ia sampai menjadi tegang, padahal ia dan Fina sudah sepakat untuk pura-pura?
Bagi Fina, ketika ia mengikuti tuntunan Rafael memasuki ruang rawat yang ia ketahui sebagai ruang rawat kakek pria itu, dunianya seolah berputar melambat. Ia yang awalnya hanya harap-harap cemas, menjadi takut. Dan semakin jauh ia melangkah, semakin besar pula ketakutan yang ia rasakan.
“Jika menolong hanya membuatku terjebak dalam kesulitan, kenapa Tuhan menitipiku rasa peduli yang begitu besar? Kenapa Tuhan membuatku tidak bisa menolak setiap hal yang membutuhkan bantuanku?” batin Fina berusaha tegar.
“Tuhan, aku hanya ingin menolong, dan aku ikhlas!” Fina masih berbicara dalam hatinya. Demi meredam sesak berikut kekacauan rasa yang melandanya, ia mengatur napas pelan, mengikuti tuntunan Rafael. Dan sambil terus menunduk, ia melangkah sedikit lebih belakang dari Rafael.
Bersambung .....
Wah ... apa yang akan terjadi? Terus dukung ceritanya, ya! Yang sudah baca jangan pelit like komen ^^. Dan sambil menunggu lanjutan cerita ini, kalian bisa baca novel Author yang lainnya. Ada beberapa, kok. Langsung klik profil Author saja ^^
Salam sayang,
Rositi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Abizar zayra aLkiaana
jjur fina,, gue lama2 takut lue setres, karna terlalu sering ngbatin
2023-05-24
0
Suartatihsb
dasar Mak emak nyinyir
2021-05-03
0
Wavira
emang benar apa yang kita lihat belum tentu kenyataannya seperti itu
2021-05-02
4