“kalau kali ini, kamu kembali gagal, Kakek terpaksa menjodohkanmu dengan wanita pilihan Kakek!”
Episode 10 : Ancaman Perjodohan
Emosi Rafael tersulut dan nyaris melesat dari ubun-ubun. Pria itu segera balik badan dengan cepat, menatap sengit pria yang melayangkan bogem kepadanya. Pria berkulit hitam dan terlihat tidak merawat diri itu, ya, ... Rafael tidak akan tinggal diam. Seumur hidupnya baru kali ini ada yang berani memukulnya. Bahkan orang tua sekaligus keluarganya saja, belum ada yang pernah memukul atau sekadar mencubitnya.
“Dia gangguin kamu, makanya aku berusaha kasih dia pelajaran!” protes Ipul.
Pria bernama lengkap Saiful itu melangkah cepat melalui Fina, dan nyaris menghajar Rafael lagi, andai saja Fina tidak bergerak cepat. Fina meraih tong sampah di sebelahnya, membuka tutupnya kemudian membuangnya asal, sebelum menutupkan tong sampah yang membuatnya menahan beban cukup itu pada kepala berikut tubuh Ipul.
Brak ....
Suara sampah yang berangsur tumpah sukses mengunci langkah Ipul. Ada plastik, masker, seperangkat bekas alat medis, pembalut, bahkan popok bayi berisi *** yang begitu menjijikan dan sampai menyeruakkan bau sangat tidak sedap.
Selain langsung diserang lalat hijau, Rafael yang tidak tahan dengan semua itu juga refleks mencubit hidungnya kemudian mundur beberapa langkah dan menghindar. Bahkan menatap Ipul saja, sebenarnya Rafael jadi merasa jijik.
Namun, Rafael penasaran mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. Baik pada Ipul--pria yang tiba-tiba memberinya bogem, juga Fina--wanita yang tidak asing di ingatannya, tetapi justru mengamuk Ipul, tanpa membuat Rafael balas dendam.
Fina mulai sedikit merasa puas atas apa yang baru saja dilakukan. Mengenai Ipul, perjaka lapuk yang selama ini mencoreng nama baiknya. Perjaka lapuk yang juga membuat masa depannya suram khususnya dalam urusan jodoh.
“Wanita ini lebih galak dari Sunny!” batin Rafael menatap tak percaya apa yang Fina lakukan.
“Yang selama ini gangguin aku itu kamu! Bahkan kamu selalu bikin aib untuk hidupku!” bentak Fina lantang. “Lihat! Bapakku sampai harus dirawat intensif gara-gara mulut busuk kamu!” Napas Fina terengah-engah. “Sembarangan kamu, ... punya mulut asal jeplak!”
Fina bergerak cepat memutari tubuh Ipul yang nyaris tertutup sempurna oleh tong sampah berwarna hitam yang bentuknya menyerupai ember tersebut. Terlebih, tinggi tubuh Ipul nyaris setara dengan tinggi tubuh Fina, tak lebih dari seratus enam puluh senti!
“Fin ... Fin? Jangan begini, Fin. Aku susah napas, pusing, bau, tau!” keluh Ipul sambil mencoba mengangkat tong sampah dari tubuhnya.
Bukannya mengakhiri ulahnya, Fina yang berdiri persis di hadapan Rafael, justru menendang tong sampahnya kuat-kuat, hingga tubuh Ipul terempas sebelum akhirnya guling-guling di lantai bersama tong sampah yang masih turut serta.
“Aduh, Fin ... sakit, Fin!” keluh Ipul.
Rafael yang melihat ulah Fina kali ini juga mendadak kehilangan rasa sakit bekas bogem Ipul. Karena entah kenapa, rasa sakit Rafael benar-benar hilang seiring siksaan kejam yang Fina lakukan kepada Ipul.
Fina tak peduli dengan apa yang ia lakukan pada Ipul. Sebab, apa yang Ipul lakukan padanya sekeluarga selama ini jauh lebih lejam. Bukankah Fitnah jauh lebih kejam dari pembunuhan?
“Tunggu pembalasanku, Pul! Setelah Bapak keluar dari rumah sakit, bakal aku arak kamu keliling desa, kalau kamu enggak minta maaf di depan semua orang!” ancam Fina kemudian. “Boleh, kamu suka atau apa pun ke aku. Aku enggak melarang! Tapi ingat, cinta dan berbicara juga pakai otak! Jangan asal jeplak!” ucap Fina sesaat sebelum berlalu.
“Tapi aku cinta sama kamu, Fin! Aku tulus sama kamu! Kalau kamu mau sama aku, aku kasih semua kambing dan tanahku buat kamu!” racau Ipul yang sibuk berusaha melepaskan tong sampah dari tubuhnya.
“Cinta cinta, ... taiii! Kalau kamu cinta, enggak mungkin kamu bikin orang-orang mengecapku sebagai wanita gampangan bahkan murahan! Steres, kamu!” balas Fina sambil terus melangkah cepat menuju koridor di seberang.
Balasan Fina sukses membuat Rafael menahan tawa. Wanita galak itu pergi begitu saja memasuki pertigaan koridor di depan. Merasa masih butuh bantuan, Rafael pun turut meninggalkan Ipul sambil terus memipat hidungnya. Namun, tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Rafael juga membalas bogem Ipul dengan menendang keras tong sampah bagian kepala yang membungkus kepala Ipul.
“Setttan, setttan! Sudah, Fin, sakit ... ampun!” racau Ipul.
Rafael yang buru-buru lari, terkikik bahagia. Ya, ... Rafael sangat bahagia dengan apa yang baru dilakukannya. Setelah merasa tersesat di puskesmas kunjungannya dan bahkan sampai dibogem tiba-tiba, mengerjai Ipul seperti barusan membuat Rafael seperti mendapatkan secuil kebahagiaan dari surga.
***
Setelah mencari-cari ruangan vip tujuannya, akhirnya Rafael bertemu dengan kakeknya. Pria berkulit kuning langsat itu terbaring sambil menonton televisi dua puluh satu inci yang berada di dinding atas di hadapannya.
“Kalau datang sendiri enggak usah masuk,” ucap Raden--kakek Rafael tanpa mengalihkan tatapannya dari televisi yang sedang menayangkan acara kartun.
Rafael yang baru saja akan menginjakkan kakinya ke ruang rawat Raden, menjadi berhenti dengan keadaan kaki masih menggantung di udara dan memang belum sempat menapak. “Ini maksudnya bagaimana? Kakek ngomong sama siapa? Kakek masih waras, kan? Di ruangan ini enggak ada siapa-siapa?” gumam Rafael menerka-nerka sambil menganati suasana kamar rawat sang kakek yang terbilang sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain, selain dari kakeknya, berikut televisi yang sedang menyala.
“Kakek ngomong sama aku?” tanya Rafael kemudian sambil berangsur menapakkan kakinya. Ia memasuki ruang rawat kakeknya.
Raden menatap sebal Rafael. “Siapa yang kasih izin kamu masuk? Keluar! Kamu hanya boleh masuk kalau bawa calon istri!”
“Ya ampun, Kek ... jangan tua gitu kenapa cara berpikirnya? Cukup usia saja yang tua, enggak dengan cara pikir Kakek!” balas Rafael kesal.
Raden yang masih menatap Rafael berangsur duduk.
“Aku jauh-jauh dari Jakarta, kenapa Kakek justru menyambutku seperti ini?” keluh Rafael yang kemudian duduk di tepi kasur Raden, persis di sebelah kakinya.
Tiba-tiba saja, sebelah kaki Raden menyepak keras pantas Rafael, hingga Rafael terlonjak bahkan jatuh terduduk di lantai.
“Kakek, ... sakit,” keluh Rafael sambil berusaha bangkit.
Raden tak acuh bahkan mendengkus menepis keberadaan Rafael.
“Urusan menikah tenang saja, aku pasti menikah!” ucap Rafael meyakinkan Raden.
“Sampai kapan? Nunggu kamu sampai kakek-kakek?” balas Raden sambil menatap tak habis pikir Rafael.
Rafael terkesiap dan refleks menelan ludah. “Jangan bilang begitu, dong, Kek. Ucapan kan sama saja dengan doa,” lirih Rafael bersedih.
“Lihat dirimu! Sekarang saja, kamu sudah jadi bujang lapuk! Kamu sudah tiga puluh tiga tahun, tetapi calon saja belum ada!”
“Siapa bilang, aku belum punya calon? Aku sudah punya calon, Kek! Dia masih di Jakarta, dan Kakek akan bertemu dengan dia, kalau Kakek ikut ke Jakarta.” Rafael masih berusaha meyakinkan Raden.
Raden mrmbalasnya dengan melirik sinis, sesaat srbelum akhirnya menepis tatapan Rafael.
Rafael menelan ludah. Menghadapi Raden memang tidak mudah, terlebih selama ini, ia sudah terlalu sering berjanji. “Kita pindah, Kek. Kakek ikut aku agar Kakek mendapatkan pengobatan lebih layak dan pastinya ada yang ngurus Kakek!” Ia menatap Raden dengan tatapan yang begitu teduh, masih berusaha meyakinkan sang kakek.
“Kamu enggak lupa, kan, kalau semua aset termasuk kedudukan yang kamu miliki, sebenarnya itu milik Kakek? Kamu enggak mau, kan, kalau semua hotel yang kamu kelola, Kakek ambil alih?” tegas Raden masih dengan suara lirih.
“Lho ... lho, maksud Kakek apa?” Rafael mulai kalang kabut.
“Kakek hanya butuh cucu!” pinta Raden penuh penekanan.
“Y-ya, ... ya butuh proses, kali, Kek! Punya anak kan enggak segampang donload aplikasi. Donload aplikasi saja kalau jaringannya lelet, juga butuh perjuangan.”
“Ya sana cepat donload calon istrimu! Cepat! Kakek kasih waktu dua hari dari sekarang! Kalau memang calonmu ada di Jakarta, dua hari harusnya cukup! Jakarta ke sini enggak sampai dua puluh empat jam, kan?!”
Rafael nyaris kembali melayangkan alasan, tetapi Raden berkata tegas, “kalau kali ini, kamu kembali gagal, Kakek terpaksa menjodohkanmu dengan wanita pilihan Kakek!”
Tentu kenyataan tersebut sangat mengerikan bagi seorang Rafael. Terlebih, lima tahun mengenal Sunny membuat Rafael hanya ingin menikah dengan wanita itu. Namun jika Rafael terus berpikir tanpa bergerak cepat, ia benar-benar akan terjebak perjodohan! Terlepas dari itu, Rafael juga terancam akan kehilangan semua yang Rafael miliki.
Pun meski usaha perhotelan yang dikelola Rafael, sukses karena kerja kerasnya. Raden pasti tidak peduli dan akan tetap mengambil bahkan merampasnya dari Rafael!
“B-baik, lah! Aku akan menghubunginya dan memintanya untuk segera ke sini!” sanggah Rafael tanpa bisa menyembunyikan kegugupan sekaligus ketegangannya.
Raden mengangguk tegas. Kemudian ia memastikan waktu di arloji yang menghiasi tangan kanannya. “Empat puluh delapan jam dari sekarang. Setelah itu, jika kamu masih tetap gagal--” ancamnya tertahan lantaran Rafael langsung berseru.
“Kali ini aku enggak akan gagal, Kek!” Jantung Rafael mulai berdentam kacau. “Bahkan Kakek enggak khawatir ke aku, padahal sudut bibirku memar?” keluhnya kemudian sambil memasang ekspresi sangat memelas. Ia mengelus bekas bogeman Ipul yang memang memar.
“Kamu kan bukan bayi yang harus selalu diurus bahkan dilindungi. Kamu sudah tua! Sudah sana, cepat hubungi calonmu!”
Meski merasa kesal sekaligus nelangsa dalam waktu bersamaan, Rafael bergegas keluar. Dia langsung sibuk menghubungi nomor ponsel Sunny. Sial, sepanjang ia mencoba bahkan nyaris seratus kali di mana ponselnya sampai mati karena kehabisan daya batre, jawaban dari telepon yang dilakukannya masih sama.
Nomor ponsel Sunny tidak bisa dihubungi. Wanita itu bak ditelan bumi setelah agenda kencan yang Sunny jalani. Rafael masih ingat, malam itu ... Sunny yang berdandan sangat cantik, disambut oleh seorang pria di depan hotel miliknya. Sunny bahkan sampai berlari ke pelukan pria itu dan keduanya berpelukan erat sekaligus lama(baca novel : Pernikahan Impian--Rahasia Jodoh).
“Jangan-jangan, Sunny jadi nikah sama calonnya yang sudah pulang dari luar negeri? Terus, ... aku gimana?” lirih Rafael seiring rasa sakit yang tiba-tiba saja menikam hati bahkan kehidupannya, hanya karena pemikirannya.
Ketika Rafael dibingungkan dengan nasibnya, baik percintaan berikut masa depan kehidupannya, di lorong depannya, ia melihat Fina yang melangkah tergesa bahkan ke arahnya. Dan bersamaan dengan itu, otak Rafael langsung bekerja cepat. Mengenai Fina yang begitu tegas bahkan sangar, Rafael merasa Fina bisa diajak bekerja sama untuk mengelabuhi Raden!
Rafael langsung menghampiri Fina. Ia melangkah tergesa dan menghadang langkah wanita itu. “Hai ...? Kita kenal, kan?” ucapnya sambil memasang ekspresi semanis mungkin.
Fina yang berhenti, menatap Rafael sambil mengernyit.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ayuna
ohh ternyata yg jadi bos itu rafael...kirain si Bian
2022-01-28
2
Shabilla Bunga
tertawa bahagia aku thor merasa puas dngn siksaan si ipul
dn bahagia karna fina brtemu dngan pangeran tampan
2021-06-29
0
Hayati
akhirnya setelah sekian episode bs juga ngakak gegara ulah ipul sama fina
2021-06-27
0