Menjadi Istri Tuanku
Catatan : Maaf kalau bahasanya terlalu baku. Maklum, ini novel aku tulis 3 tahun lalu. Saat itu, aku masih sering kirim tulisan ke koran atau majalah, jadi kebayang kebanyakan cerita yang aku baca itu sastra berat dan tulisanku juga jadinya serba baku. Kalau memang enggak suka bahasa baku, enggak apa-apa, jangan lanjut baca. Di cerita ini kalian bisa emosi, baper, sama ngakak sampai sakit perut kalau sudah kenal : Den Bagus Saepul ^^)
--Menjadi Istri Tuanku--
“Aku menjadi pengganti Lia dan menikah dengan Bian? Dengan kata lain, besok juga aku harus menikah? Namun, kenapa harus aku?”
Episode 1 : Lamaran Dari Orang Tua Bian
Siang itu, matahari terbilang terik, walau di bulan Februari lebih sering turun hujan. Fina menyeringai kepanasan sambil mengelap peluh di wajah berikut sekitar lehernya, menggunakan kedua punggung tangannya.
Menjadi orang yang tidak mahir mengendarai motor di usianya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun, membuat wanita muda itu terpaksa jalan kaki dari sekolah tempatnya mengajar, yang kiranya berjarak nyaris dua kilo meter dari rumahnya.
Sebenarnya, awalnya Fina bisa mengendarai motor. Namun karena Fina sempat menjadi korban tabrak lari, wanita cantik yang memiliki tinggi tubuh seratus enam puluh senti itu menjadi trauma. Selalu saja memilih membonceng jika bepergian. Pun meski yang memboncengnya, adik atau malah orang tuanya, yang tentunya lebih pantas Fina boncengkan.
Kurang dua rumah dari rumahnya, Fina sengaja berhenti melangkah. Ia berhenti tepat di depan rumah Bian sahabatnya, yang sudah dihiasi janur kuning. Dekor khas persiapan hajatan juga sedang dipasang berikut tenda biru yang terlihat menjadi atap di area belakang, dan biasanya menjadi prasmanan.
Bebera pria dan kebanyakan orang tua di sana, sedang ramai-ramainya membuat jenang, selaku makanan menyerupai dodol, yang terbuat dari tepung ketan putih, santan, gula jawa, berikut bumbu lainnya, dan sudah menjadi makanan ciri khas warga tempat Fina tinggal, ketika hajatan.
“Duh, Bu guru … kepanasan, Bu? Sini, mampir ngopi dulu!” sapa salah seorang dari mereka, sambil bahu-membahu mengaduk dan mendorong adonan jenang yang baru setengah jadi. Setidaknya, butuh waktu sekitar tiga sampai empat jam lagi, untuk adonan yang masih berwarna semu putih itu, menjadi jenang yang nikmat.
Fina mengulas senyum menanggapi sapaan berikut semua orang yang tersenyum ramah kepadanya. Dan status Fina sebagai guru di sekolah dasar, memang membuat orang-orang di desa tempatnya tinggal, lebih sering memanggilnya dengan sebutan Bu guru.
“Iya, Pak. Makasih!” balas Fina berusaha sesopan mungkin.
Sebenarnya, yang menarik perhatian Fina tak hanya mengenai jenang di mana ia juga sangat ingin memakannya selagi masih hangat. Sebab riasan pelaminan bernuansa putih yang sedang dipasang, jauh lebih menarik perhatian Fina. Apalagi, dekorasi dari daun kelapa yang masih muda, didekorasi dengan sedemikian rupa dan berhasil membuat Fina takjub. Benar-benar indah, sampai-sampai, Fina terperangah. Bahkan karenanya, Fina juga jadi ingin menikah dengan rias pelaminan tak kalah indah dari rias milik Bian.
“Jadi pengin nikah juga, yah, Bu? Buruan gih, cari calonnya. Biar setelah dari sini, kami njenangnya pindah ke rumah Ibu! Atau kalau enggak, nikahnya sama aku saja!”
Godaan itu masih dari pria yang sama. Ipul--perjaka berusia di akhir kepala tiga, yang pekerjaannya mengembala kambing dan kerbau.
Selain memiliki puluhan kambing dan kerbau berikut sawah luas, Ipul dan keluarganya juga sudah berulang kali melamar Fina. Kendati demikian, Fina dan keluarganya juga sudah berulang kali menolak lamaran dari Ipul.
Alasannya satu, Fina tidak suka dengan Ipul tanpa sebab yang jelas. Intinya, Fina selalu sebal di mana pun Ipul berada, bahkan meski hanya nama pria itu disebut. Layaknya sekarang, meski ingin belajar membuat dekorasi dari daun kelapa muda yang berwarna kuning, Fina memilih pamit dengan santun lantaran ia tidak mau berurusan dengan Ipul.
“Mari, Pak,” pamit Fina sopan sambil mengangguk dan membungkuk ketika melewati kerumunan pria yang sedang membuat jenang.
Terkadang, Fina merasa sikapnya pada Ipul sudah sangat keterlaluan. Namun jika melihat dari usaha Ipul yang pantang menyerah bahkan pria itu juga kerap menyebarkan gosip hubungan palsu perihal Fina, selain sangat kesal dan ingin menyobek mulut Ipul, Fina memang memilih menghindari Ipul, ketimbang Fina menjadi terbawa emosi, dan pastinya semakin menambah dosa. Belum lagi, gara-gara ulah Ipul juga, jadi banyak pria yang takut mendekati Fina. Faktanya, tidak hanya satu atau dua kali, ada yang bertanya pada Fina mengenai kejelasan hubungan Fina dan Ipul. Dan dengan demikian, gosip yang Ipul buat sukses membuat Fina semakin jauh dari jodoh.
“Cukup … cukup! Jangan memikirkan orang gila itu!” batin Fina dalam hatinya dan sengaja mempercepat langkahnya.
Meski kasus yang menimpa Fina terbilang langka, tetapi berada dalam posisi Fina, dikejar oleh pria yang terkesan sangat terobsesi yang tak segan melayangkan cerita palsu, sangat merugikan masa depan Fina sekeluarga. Terlebih menurut oang-orang, Ipul hanya akan menyerah setelah Fina menikah.
Pertanyaannya, Fina harus menikah dengan siapa, sedangkan Fina belum memiliki hubungan serius, atau setidaknya calon suami, lantaran selama ini Fina terlalu fokus dengan pendidikannya? Juga, apakah mungkin, pria nekat seperti Ipul, benar-benar akan melepas Fina bahkan meski Fina sudah menikah?
***
Akhirnya Fina sampai rumah. Wanita beriris mata cokelat itu langsung melepas sepatu flat yang dikenakan, berikut kaos kakinya, sebelum akhirnya menaruhnya di rak sepatu yang letaknya tepat di sebelah pintu masuk rumah. Rumah sederhana bercat putih yang selalu memberi Fina banyak kehangatan.
Yang membuat Fina heran, ketika Fina melayangkan salam bersamaan dengan Fina yang membuka pintu rumah,
yang menjawab serempak, tidak hanya dari suara orang tua Fina. Juga ... bukankah seharusnya, orang tua Fina sedang rewang atau bantu-bantu di rumah Bian, terlebih besoknya merupakan hari hajatan sekaligus pernikahan Bian?
Benar, di sofa ruang tamu tak hanya dihuni Raswin dan Murni, orang tua Fina, sebab orang tua Bian juga ada di sana. Orang tua Bian duduk di sofa panjang persis di hadapan orang tua Fina. Mereka hanya terhalang meja kayu
cukup panjang, yang tak melebihi panjang sofa keberadaan kedua pasang paruh baya itu sendiri. Dan meski orang tua Fina terlihat tegang, tetapi ternyata orang tua Bian terlihat jauh lebih tegang.
Kenyataan tersebut pula yang membuat Fina bingung, terlebih Fitri--ibu Bian, sampai terisak-isak. Fitri yang menangis juga sampai kerap menyeka air matanya. Akan tetapi, demi meredam kebingungannya, Fina berangsur menyalami orang tuanya, kemudian menyalami Teguh--ayah Bian, sebelum menanyakan perihal apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Bi Fitri kenapa? Kok nangis?” tanya Fina sambil menyalami Fitri berikut mencium punggung tangan kanan wanita itu, layaknya ketika ia menyalami ketiga orang yang duduk tegang di sana.
Murni menatap Fina penuh isyarat. Sampai-sampai, yang bersangkutan juga menjadi semakin bingung. “Fina, duduk di sini,” ucap Murni kemudian, sambil menepuk sofa kecil di sebelah Raswin.
Sebenarnya, ada dua sofa kecil yang masih tersisa. Satu di hadapan Fina, satunya lagi di hadapan Murni.
Fina pun berangsur duduk di sofa yang Murni maksud, kendati pandangannya masih mencari-cari maksud dari kebersamaan di sana. Suasana yang diselimuti ketegangan, dan bahkan Fitri sampai menangis. Fitri terlihat sangat bersedih, dan sebelumnya, Fina belum pernah melihat itu terjadi. Namun Fina yakin, pasti ada masalah besar yang telah terjadi!
“I-ini, sebenarnya ada apa, sih? Bu, Pak …?” tanya Fina kemudian saking penasarannya. Fina masih menatap keempat wajah orang di sana, dengan menelisik.
“Fina …?” panggil Fitri kemudian. Fitri masih sibuk mengelap air matanya yang tak terus saja berlinang.
“Iya, Bi?” balas Fina yang menjadi ikut bersedih. “Semuanya baik-baik saja, kan?” Kali ini, Fina menatap keempat wajah di sana, penuh kepastian.
“L-lia ... ham-mil …!” Tangis Fitri pecah.
Dan Teguh yang menjadi menunduk sedih, menepuk-nepuk punggung Fitri, mencoba menenangkan istrinya.
Yang Fina herankan, kenapa kehamilan Lia selaku calon istri Bian, sampai menjadi duka yang begitu berat untuk orang tua Bian bahkan orang tuanya? Jika memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Toh besoknya Bian dan Lia juga akan ijab-qobul? Kalaupun harus ada yang menjadi persyaratan karena Lia hamil di luar pernikahan, itu sudah menjadi risiko dari Lia maupun Bian sendiri.
Lantas, apa yang harus disedihkan? Jangan bilang, orang tua Bian jadi tidak merestui hubungan Bian dan Lia, hanya karena kehamilan itu? Celaka … Fina tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya Bian kalau itu sampai terjadi.
Fina tahu betul, sahabatnya itu sangat mencintai Lia. Terlebih, Bian dan Lia sudah berpacaran semenjak keduanya kelas 2 SMA, di mana Fina sering dijadikan obat nyamuk oleh keduanya demi mendapat izin ketika jalan-jalan ke luar.
Baru juga memikirkan ketakutan mengenai efek buruk yang akan menimpa Bian ketika pria itu tidak jadi menikah dengan Lia, tiba-tiba saja Teguh berkata, “hari ini, Lia sudah ijab-qobul dengan ayah dari anak yang sedang dikandung, Fin!”
“Hah?!” Saking terkejutnya, Fina sampai tidak bisa mengontrol suara berikut ekspresinya.
Mendapati tanggapan Murni dan Raswin yang sampai mendelik kepadanya, Fina berangsur menunduk sambil menekap mulutnya menggunakan kedua tangan. “Maaf ...,” lirihnya kemudian.
“Kok bukan sama Bian? Duh, ... kok bisa? Apa gara-gara sekarang Bian sibuk mengurus bengkel, jadi Lia kesepian dan … ya ampun, kenapa pikiranku jadi sekotor ini!” batin Fina yang masih menunduk.
Fina menjadi sibuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan retaknya hubungan Bian dan Lia. Namun terlepas dari semua itu, Fina benar-benar mengkhawatirkan Bian. Apa yang akan terjadi pada sahabatnya itu, padahal kemarin, mereka baru saja mengobrolkan mengenai rencana bulan madu, yang kata Bian, Lia meminta ke Lombok?
Fina benar-benar sibuk dengan pemikirannya. Andai saja Raswin tidak mencubit lengan Fina, tentu wanita muda berhidung mancung itu masih sibuk melamun. Dan Fina yang sempat refleks mengerang kesakitan, menatap Raswin selaku pelaku pencubitan terhadapnya, sambil mengusap-usap bekas cubitan. Namun karena Raswin memberi Fina kode mata agar menatap Teguh, Fina pun berangsur menoleh dan menatap Teguh seutuhnya.
“Bagaimana, Om?” tanya Fina memastikan. Sungguh, kabar Lia hamil dan justru bukan anak Bian di mana wanita itu juga sudah menikah dengan pria lain, sangat membuat Fina terkejut sekaligus sulit berkonsentrasi.
“Kamu mau, ya, Fin, jadi penggantinya Lia? Kamu yang besok nikah sama Bian!” pinta Teguh sungguh-sungguh.
“Kami mohon, Fin! Kami benar-benar enggak tahu harus bagaimana lagi, sedangkan semua keperluan sudah siap. Besok hari H-nya!” tambah Fitri yang sampai meraung-raung, menatap Fina dengan wajah yang begitu memohon.
Permintaan orang tua Bian membuat nyawa Fina seolah dicabut paksa detik itu juga. Fina benar-benar menjadi lemas, saking tidak percayanya.
“Kedatangan kami ke sini, sengaja untuk melamarmu!” tambah Teguh.
Fina refleks menelan ludah. “Aku menjadi pengganti Lia dan menikah dengan Bian? Dengan kata lain, besok juga aku harus menikah? Namun, kenapa harus aku?” batin Fina yang menjadi bergidik ngeri. Sudah harus menjadi mempelai pengganti, ia juga harus melangsungkan pernikahan besoknya juga, dengan pria yang selama ini sudah ia anggap sebagai saudaranya!
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Meli Anja
mampir kak ros...pasti menarik nih seperti cerita kakak yang lainnya..
2024-05-15
0
Bebby_Q'noy
mampir, sepertinya menarik bakalan marathon baca nya nih
2024-01-25
0
Al Fatih
mulai mampir d karyamu Bun....
2024-01-23
0