“Fina, masuk kamar. Jangan menangis lagi. Air matamu terlalu berharga untuk pria tak bertanggung jawab seperti dia!”
Episode 7 : Istri yang Tak Diharapkan
Kepulangan Fina yang dibonceng Bian langsung disambut hangat oleh Fitri dan Teguh. Senyum lepas tak pernah putus menghiasi wajah keduanya yang sampai berdiri di depan pintu demi menyambut pengantin baru yang akhirnya kembali bersama.
Siang itu, langit dikuasai mendung dengan embusan angin dingin yang membuat nyeri di hati Fina semakin tidak bisa dibendung. Hati Fina telanjur sakit sesakit-sakitnya. Kendati demikian, Fina masih berusaha bersikap tenang, memasang wajah sebahagia mungkin meski senyum yang wanita ayu itu hasilkan hanya senyum tipis.
Kendati mata Fina terlihat begitu sembam, tetapi baik Fitri maupun Teguh tidak mempermasalahkan hal tetsebut. Bagi mereka, kepulangan Bian dan Fina yang akhirnya kembali bersama-sama, sudah lebih dari cukup.
Berbeda dengan Fina yang rajin mengulas senyum--senyum sakit yang bagi Teguh dan Fitri justru senyum karena tersipu--Bian justru tak acuh dan langsung pergi ke belakang, ke arah dapur.
Fina yang lagi-lagi diabaikan bahkan tak dianggap suaminya sendiri, langsung pamit kepada orang tua Bian yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Fina masuk ke kamar Bian.
Bagi Fina, keputusan Bian ingin menceraikannya, tak lain karena pria itu tidak mau menambah luka, melainkan karena Bian masih sangat mencintai Lia. Namun, semenjak di bengkel tadu, Fina sudah tidak mau berharap lagi untuk hubungannya dengan Bian, apalagi berharap kepada Bian. Jadi, maksudnya masuk ke kamar Bian juga karena ia ingin merapikan barang-barangnya yang kebetulan memang hanya sedikit.
Barang-barang Fina ada di ransel jinjing yang keberadaannya ada di sebelah ranjang tidur persis di sebelah meja di sana. Ransel jinjing yang sempat akan Fina gunakan untuk kabur sebelum hari pernikahannya.
Ransel tersebut hanya berisi beberapa setel pakaian berikut kosmetik termasuk buku dan perlengkapan kerja Fina. Lantaran Bian belum memberikan lampu hijau untuk hubungan mereka, Fina memang sengaja tidak mengeluarkan barang-barangnya apalagi mencari tempat untuk menyusunnya. Sedangkan mengenai barang-barang seserahan berikut kado pernikahan, demi Tuhan, Fina juga tidak berani membongkarnya. Yang Fina lakukan hanya sebatas membersihkan setelah menyusunnya rapi di sudut kamar. Begitu juga mengenai pernak-pernik bingkai foto kebersamaan Bian dan Lia, semuanya masih tersusun rapi, Fina benar-benar sebatas membersihkan.
Sadar tak ada lagi barang miliknya yang perlu dirapikan, Fina mengamati suasana kamar Bian. Tak lupa, Fina juga memastikan tidak ada barang Bian yang meletak di tubuhnya. Dan ternyata, masih ada barang milik Bian yang masih melekat di tubuhnya. Ya, cincin emas yang berdiameter kebesaran di jari manis tangan kanannya.
Sambil mengulas senyum sakit berikut mata yang kembali berkaca-kaca, Fina melepas cincin itu. Kemudian ia mendekati meja dan meletakkan cincin tersebut di depan bingkai putih berisi foto Bian dan Lia.
Di foto itu, Bian dan Lia bergandengan di antara hamparan ilalang sambil tersenyum lepas ke arah kamera. Nyatanya, kendati keduanya terlihat saling mencintai, kenapa Lia harus mengkhianati cinta mereka? Satu lagi, ... ada satu hal yang bahkan sangat penting dan baru saja Fina sadari. Mengenai milik Bian uang tertinggal dalam dirinya--ya, luka yang tidak pernah Fina duga, dan entah bagaimana Fina menyembuhkannya.
Dari belakang, Fina dikagetkan oleh jerit tangis Fitri disusul suara pecah yang terdengar sangat keras, dari dapur. Fina yang sempat menoleh ke belakang, yakin, Bian sudah menceritakan semuanya.
Perihal perceraian, yang sangat ingin pria itu berikan kepadanya. Nyatanya, lamanya waktu kebersamaan berikut kedekatan yang sudah sangat mengikat, tidak membuat Bian menaruh simpati apalagi berempati pada Fina. Bahkan meski Fina sudah memohon atas nama keluarganya ... demi kesehatan orang tuanya. Cinta Bian pada Lia jauh lebih besar. Bian telah dibutakan oleh cintanya. Baik mata, bahkan hati berikut naluri Bian.
Fina memilih tak ikut campur. Ia berangsur melangkah tak bersemangat dan duduk di tepi kasur. Fina kapok menolong hal yang berhubungan dengan pernikahan. Cukup sekali saja.
***
Selepas Mahrib, Bian mengantar Fina pulang. Fina membawa ransel jinjingnya sendiri. Karena masih terpukul dan tidak bisa menerima keputusan Bian, orang tua Bian yang marah bahkan malu, tidak mau mengantar Fina. Jadi, Bian terpaksa mengantar Fina sendiri.
Tak beda dengan Teguh dan Fitri, kepulangan Bian dan Fina juga disambut antusias oleh Murni dan Raswin yang awalnya sedang di dapur. Namun, lantaran Rina berteriak, mengabarkan kedatangan Fina dan Bian melalui suara cemprengnya penuh antusias, Murni dan Raswin juga menjadi tak kalah antusias.
Murni dan Raswin yang awalnya sedang makan, sampai tunggang-langgang meninggalkan makanan mereka dan sebatas mengelap asal tangan mereka yang kotor--lantaran mereka makan dengan tangan kosong--menggunakan lap.
Bian tak langsung masuk karena pria itu menerima panggilan masuk di ponsel. Hal tersebut membuat Fina menelan ludah dan terasa sangat getir, lantaran selama satu minggu terakhir, panggilan teleponnya tidak pernah Bian gubris, tetapi sekarang, di saat mereka terjerat hal yang bagi Fina sangat penting, Bian justru lebih memilih teleponnya. Fina sangat kecewa pada Bian yang tak sekadar tidak menghargainya, melainkan juga keluarga terlebih orang tua Fina.
Tak mau merasa semakin lelah, Fina memilih duduk di sofa ruang tamu. Sofa yang juga menjadi keberadaan orang tua Bian melamarnya.
“Bian dibuatkan minum dulu. Atau langsung ajak makan, ke belakang,” tegur Murni.
“Nanti saja. Toh, anaknya masih di luar. Kalian giliran nginep di sini, ya, sampai bawa ransel lagi?” ujar Raswin yang langsung duduk pada sofa panjang di hadapan Fina.
Anggapan Raswin sukses membuat Murni antusias. Wanita bertubuh mungil itu juga sampai duduk di sebelah Raswin. “Beneran kalian mau menginap di sini?”
“Mbak ... aku masak sayur kletek sama kecambah dikasih rebon, lho. Jos pokoknya!” seru Rina yang bahkan sampai memamerkan semangkuk penuh sayur kulit melinjo yang dimaksud.
Fina membalasnya dengan seulas senyum. Seulas senyum yang terlihat begitu dipaksakan. Padahal biasanya, Fina dan Rina akan selalu saling sikut hingga membuat rumah sangat rame walau hanya berisi keduanya. Bahkan untuk masalah sepele sekalipun, akan menjadi bahan perdebatan yang dipenuhi kejahilan dari keduanya. Kenyataan tersebut pula yang membuat Rina, berikut Raswin dan Murni menerka-nerka bahkan curiga atas kepulangan Fina.
“Mbak, enggak ada masalah, kan?” tanya Rina hati-hati sambil nyempil dan duduk di sebelah Murni. Ia menatap Fina dengan menelisik, kemudian berganti pada Bian yang masih berbincang dengan sambungan telepon di luar.
Harap-harap cemas menjadi pemandangan mencolok di raut wajah ketiga orang di hadapan Fina. Dahi mereka kompak berkerut, mereka menatap Fina penuh kepastian.
Fina mengulas senyum dengan seiring kesedihan yang terlihat begitu jelas di wajahnya. “Maaf ...," lirih Fina sangat menyesal.
Kata maaf yang baru saja keluar berikut air mata Fina yang sampai sibuk berlinang, membuat hati ketiga irang di hadapannya menjadi terbesit. Sungguh, melihat Fina yang mrminta maaf sambil berlinang air mata layaknua sekarang, begitu melukai mereka. Hati mereka terasa begitu sakit, di mana mereka juga tak kuasa menahan air mata mereka untuk tidak mengalir.
Dari awal menikah bahkan hingga sekarang, Fina langsung menjadi bahan pembicaraan di desa mereka tinggal. Bukan lagi mengenai prestasi Fina, melainkan hubungan Fina dengan Bian.
Desas-desus Fina yang dicap merebut Bian dari Lia, bahkan Fina diisukan hamil di luar nikah. Dan terakhir, mengenai Fina yang sudah menikah tapi masih sering berjalan kaki tanpa diantar jemput oleh Bian, selain Bian yang jadi jalan pulang dan dikata sengaja menghindari Fina.
Ketika Bian masuk, suasana berbeda mulai menyelimuti kebersamaan. Fina segera menyeka air matanya dan mengusir jauh-jauh kesedihannya walau itu mustahil. Hatinya saja tak hentinya berdesir dan terasa sangat perih.
Bian berdeham dan duduk di sebelah Fina. Bian jelas sedang basa-basi dan berusaha menyudahi ketegangan yang menyelimuti. “Pak, Bu ... kedatangan saya ke mari ... sebenarnya, saya ingin ... memulangkan Fina.”
Ucapan Bian sukses membuat ketiga orang di hadapannya nyaris jantungan. Ketiganya tak hanya terkesiap sekaligus tersentak, karena baik Murni maupun Teguh, refleks mencengkeram erat dada mereka. Lain halnya dengan keduanya, Rina bahkan sampai menjatuhkan mangkuk berisi sayur kletek dan kecambah kedelai yang menjadi sayur favoritnya dan Fina.
Mereka benar-benar tak percaya, Bian tega memulangkan Fina yang dengan kata lain, pria itu menceraikan Fina. Padahal sedari awal, Fina selalu berkorban. Namun, apa yang pria itu lakukan? Hanya memperburuk masa depan Fina saja!
“Maksud Nak Bian memulangkan Fina apa? Tolong diperjelas? Apakah anak saya masih kurang baik di mata Nak Bian, setelah semua yang anak saya lakukan?” tegas Raswin tak terima.
Bian tertunduk menyesal. “Maaf, Pak. Tapi, saya ....”
“Kata maaf tidak bisa mengembalikan nama baik Fina, Nak Bian! Kalau kata maaf bisa menyelesaikan masalah, untuk apa ada polisi dan hukum?!” sela Raswin makin geram.
“Kalau memang tahu tidak bisa, kenapa tidak dari awal saja? Panggil orang tuamu dan semua yang menjadi saksi di pernikahan kalian. Kalau memang Nak Bian menyesal, minta maaflah di depan mereka!” Nada suara Raswin semakin meninggi. Pun dengan tatapannya terhadap Bian yang semakin tajam.
“Fina, masuk kamar. Jangan menangis lagi. Air matamu terlalu berharga untuk pria tak bertanggung jawab seperti dia!” tegas Raswin kemudian.
Linangan air mata kesedihan mengikat Rina dan Murni yang tertunduk sakit. Namun tak lama setelah itu, Rina menjadi menatap Bian penuh kebencian.
Tanpa pamit, Fina bergegas meninggalkan kebersamaan, berlalu melewati Bian, sambil mati-matian menghalau tangis berikut sesengggukan yang membuat dadanya semakin sesak. Fina meninggalkan kebersamaan tanpa membawa ranselnya. Tatapan Fina benar-benar dipenuhi kesedihan. Jangankan pamit dan bersikap santun layaknya biasa, melirik orang-orang yang ada di sana saja, tidak.
“Mas Bian jahat! Enggak punya hati! Nyesel aku sudah bujuk bahkan maksa Mbak Fina menikah sama Mas!” cibir Rina sarat kebencian kemudian menyusul kepergian Fina. Tak peduli pada semangkuk sayur kesukaannya yang bahkan hasil masakannya dan baru saja ia banggakan pada Fina.
Sialnya, ketika Rina berusaha masuk kamar Fina, pintu kamar bercat putih itu dikunci dari dalam. Sungguh, Rina tidak bisa membayangkan betapa sakitnya menjadi Fina. Menjadi istri yang tak diharapkan bahkan dipulangkan--diceraikan di usia pernikahan yang masih hitungan jari!
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Itha Fitra
smoga fina dpt pengganti laki" yg tepat,lebih baik n lebih kaya dr bian
2024-05-15
0
🥰Siti Hindun
emosi aku bca'y Ka..🤭
2023-10-09
1
Bekti
Fina 😭😭😭😭😭 smg km bs lalui cobaan ini dgn ikhlas 🥲🥲 biarkn laki2 g tau diri n g ad akhlak bin g ad tggjwb itu pergi 😠😠
2022-12-04
0