Kamu anak pertama, dan bahumu harus sekuat baja, meski kamu seorang wanita.
Episode : Amarah
Raswin henti jantung dan hal tersebut membuat ketiga wanita di sana kalang kabut bahkan nyaris gila.
Dengan air mata yang tak henti mengalir, Fina terus memompa dada Raswin menggunakan kedua tangannya, sedangkan Rina Fina utus untuk mencari mobil.
Raswin harus segera mendapatkan penanganan medis intensif. Harus dibawa ke klinik atau puskesmas yang letaknya ada di kecamatan dan jaraknya membutuhkan waktu tempuh nyaris satu jam dari rumah Fina jika menggunakan mobil.
“Pak, ... Pak, jangan begini, Pak! Bangun, Pak! Kami sayang Bapak, Pak! Kami masih sangat butuh Bapak!” racau Fina sambil terus memompa dada Raswin menggunakan kedua tangannya. Tak hanya air matanya yang terus mengalir, sebab buih keringat juga mengalami hal serupa, terlepas dari Fina yang sampai mandi keringat
Sedangkan Murni yang juga tak hentinya menangis di hadapan Fina dan hanya tersekat tempat tidur keberadaan Raswin, justru terlihat lemas tak berdaya.
***
Di luar, Rina lari tunggang-langgang sedangkan di belakangnya ada sebuah mobil kijang yang mengikuti.
“Rin, ada apa?” tanya seorang wanita yang rumahnya persis di depan rumah Rina. Wanita itu setengah berlari mendekat, menghampiri Rina.
Rina refleks berhenti dan kemudian balik badan menatap wanita itu. Sedangkan mobil di belakangnya juga berangsur berhenti di halaman depan rumah Rina yang terbilang luas dikelilingi pohon kelapa.
“Bapak sakit, Bi!” tegas Rina yang menjadi kembali menitikkan ait mata. Wanita di hadapannya adalah Weni, tetangganya yang boleh dibilang sangat peduli dan tahu betul mengenai keluarga Rina, tanpa terkecuali gosip jahanam yang selalu Ipul layangkan pada Fina.
“Bukan gara-gara gosip yang disebarkan si Ipul, kan?” sergah Weni makin menatap cemas Rina.
Rina benar-benar tidak bisa menjawab, apalagi tadi, Raswin ayahnya sampai henti jantung. Pikiran Rina kadung kacau.
Lantaran Rina justru terisak-isak kebingungan dan terlihat sangat nelangsa, Weni pun merangkul remaja itu, menuntunnya memasuki rumah.
***
Fina yang masih terlihat nyaris hilang akal, mengembuskan napas lega, sesaat setelah Raswin terbatuk-batuk. Pria paruh baya berkulit sawo matang itu akhirnya kembali bernapas dan sukses membuat tangis Fina dan Murni pecah.
Sambil terisak-isak, Fina memeluk erat Raswin diikuti juga oleh Murni. Dan pemandangan tersebut sukses membuat Rina yang baru datang bersama Weni, ikut mengikuti. Rina yang baru berusia sembilan belas tahun itu sesengggukan mendekap kedua kaki Raswin.
“Yang sabar, Mur ... Na ... Rin. Ayo kita siap-siap ke puskesmas apa klinik buat cek kesehatan bapak,” ujar Weni berusaha menguatkan ketiga wanita di hadapannya.
Mendengar teguran Weni, baik Rina, Fina berikut Murni, menjadi terjaga. Dibantu Weni, ketiganya bahu-membahu hendak mengangkat tubuh Raswin, tetapi langsung diambil alih oleh sopir mobil yang Rina panggil berikut Sukir suami Weni, yang baru saja datang.
Tanpa banyak persiapan, Fina hanya mengambil dompet, kemudian langsung menyusul kepergian Raswin yang sudah diboyong masuk ke mobil.
“Fin, kamu harus lebih kuat. Kamu anak pertama, dan bahumu harus sekuat baja, meski kamu seorang wanita. Bapak sudah sering sakit-sakitan, sedangkan Rina harus kuliah!” batin Fina menyemangati dirinya sendiri. Fina duduk mengapit Raswin bersama Murni, sedangkan Rina duduk di sebelah sopir. Sementara di belakang sana, tampak Weni dibonceng Sukir mengikuti mobil mereka.
Fina dan Murni tak hentinya memijat lengan Raswin yang terlihat begitu lemas. Sesekali, mereka juga akan mengelap buih keringat di wajah berikut sekitar leher Raswin, menggunakan tisu yang tersanding di hadapan mereka.
***
Raswin harus dirawat inap di puskesmas, karena selain darah Raswin yang sangat rendah, hasil cek darah Raswin baru akan keluar hari besoknya.
Ketika Fina memilih keluar dari ruang rawat Raswin, meninggalkan Rina dan Murni yang masih ditemani Weni--ketiganya duduk di tikar yang digelar di sebelah ranjang rawat Raswin, Fina mendapati Fitri dan Teguh sudah ada di hadapannya, tepat ketika Fina baru saja duduk di bangku tunggu.
Fitri dan Teguh menatap sedih Fina. Bahkan, Fitri yang sampai berlinang air mata langsung dudk dan memeluk Fina.
“Yang tabah, ya, Na! Kami benar-benar minta maaf!” isak Fitri masih memeluk Fina.
Fina menghela napas pelan kemudian menengadah. Membuatnya mendapati wajah Teguh yang diselimuti raut serba-salah. Bahkan, Teguh terlihat tidak berani memenatap Fina. Di mana, Fina memang tidak bisa bersikap baik-baik saja, apalagi sopan layaknya biasa, tanpa terkecuali kepada orang tua Bian yang selama ini selalu ia hormati.
Kini, Fina benar-benar sedang dikuasai amarah. Fina ingin membersihkan nama baiknya beserta keluarga. Juga, menemui Ipul dan memberi pria itu pelajaran. Fina benar-benar sudah tidak bisa diam apalagi berita buruk yang menyangkut nama baiknya sudah sampai berimbas pada kesehatan Raswin.
Fina sama sekali tidak membalas Fitri, pun meski menyapa untuk sekadar basa-basi. Mungkin setelah lima menit berlalu, akhirnya Fitri mengakhiri pelukannya.
“Paman, ... Bibi ... tanpa mengurangi rasa hormat, aku mau, Paman dan Bibi, ... bahkan Bian, menjelaskan kenyataan yang sebenarnya kepada orang-orang!” Fina mengatakan itu tak lama setelah Fitri mengakhiri pelukannya. Ia berangsur menatap kedua manik mata Fitri dan Teguh, penuh keseriusan.
“Aku ingin nama baik keluargaku bersih dari fitnah, karena dari awal, niat kami hanya ingin menolong keluarga Paman dan Bibi,” lanjut Fina. “Tanpa harus menyayangkan apa yang telah terjadi, dan tanpa harus membuatku mengeluhkan apa yang menimpaku sekeluarga, seharusnya Paman dan Bibi juga sudah tahu!”
Fitri dan Teguh dilanda kerisauan. Keduanya saling lirik dan tidak bisa tenang. Tak lama setelah itu, tanpa pamit termasuk basa-basi, Fina pergi meninggalkan kebersamaan.
Hanya melihat dari tampang berikut sikap Fina saja, Fitri dan Teguh tahu, wanita muda yang mereka gadang-gadang sebagai menantu idaman itu sangat kecewa sekaligus marah pada mereka. Terlebih, demi menolong mereka, seperti apa yang Fina tuntutkan, nama baik Fina sekeluarga memang langsung tercoreng.
***
Langkah Fina berhenti di lorong puskesmas yang sepi dan ketika Fina dapati, itu merupakan lorong ruang bersalin. Fina memilih menyendiri di sana mengingat selain suasana di sana sepi dan sepertinya memang tidak ada orang lain selain dirinya, Fina juga sedang sangat butuh ketenangan.
Demi meredam amarah yang sampai membuat tubuhnya meremang, Fina benar-benar membutuhkan tempat yang tenang. Ia duduk di bangku tunggu yang di sebelahnya ada tong sampah dan tingginya sekitar satu meter.
“Sori ... eh, maksud saya, maaf!” sergah suara seorang pria dan Fina dengar dari sumber kedatangan, tak lama setelah Fina duduk.
Fina mendapati sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang begitu mengkilap, persis di sebelah tong sampah selaku sumber suara si pria.
“Mbak, saya mau tanya, ruang rawat VIP, ... di mana, ya?” lanjut suara itu masih dengan napas memburu.
Dari suara pria itu, Fina mendengar nada suara yang sama sekali tidak disertai logat jawa kasar layaknya logat suara orang kebanyakan di tempat Fina tinggal. Bahkan ketika Fina memastikan sosok tersebut lebih rinci, penampilannya juga sangat berbeda dari warga di sana.
Setelan jas hitam bahkan sampai berdasi gaya orang kantoran sekaligus penting. Pria itu terlihat sangat berkelas. Wajah tampan dan kulit bersih.
“Eh, ... kok wajahnya kayak enggak asing, ya?” batin Fina yang menjadi menatap pria itu sambil mengernyit. Ia yakin, keyakinannya tidak salah. Ia mengenal pria di hadapannya.
***
Setelah hampir dua belas jam mengarungi perjalanan dari Jakarta ke salah satu desa yang masih masuk wilayah kabupaten Cilacap-Jawa Tengah, Rafael Veanso justru tersesat di puskesmas kunjungannya.
Kabar mengenai sang kakek yang sakit memang membuat pria bertubuh bidang itu ada di sana. Hanya saja, karena suasana di bagian puskesmas sangat ramai, Rafael tidak sempat bertanya mengenai keberadaan kamar rawat kakeknya dan belum ia ketahui lokasinya.
“Sampai sekarang Sunny masih belum bisa dihubungi. Bisa-bisanya, dia kencan sampai lupa waktu! Kalau kakek tiba-tiba maksa aku buat nikah, sedangkan Sunny justru menghilang, bagaimana?” gumamnya sambil mengantongi kembali ponselnya ke saku sisi celana hitam yang dikenakan, sesaat setelah telepon yang ia lakukan pada kontak Sunny kembali tidak terhubung.
Sambil terus melangkah, Rafael menyadari jika dirinya justru memasuki lorong puskesmas yang sepi. Dan ketika ia memastikan papan keterangan deretan ruangan di sana, ternyata ia berada di area ruang bersalin.
“Et, dah ... mana mungkin juga, kakek di rawat di sini, apalagi kakek enggak mungkin bunting!” cibirnya lirih sambil menggeleng tak habis pikir. Namun, ketika ia akan berlalu, ada sesosok wanita yang terduduk dan nyaris tidak terlihat karena terhalang-halangi tong sampah di sebelah bangku tunggu keberadaan wanita tersebut.
Rafael pun berniat bertanya kepada wanita pengena batik lengan panjang warna hijau di hadapannya. Wanita yang juga menyepol tinggi rambut hitamnya.
“Sori ... eh, maksud saya, maaf!” sergah Rafael sungkan. Ia sampai membungkuk demi menyeimbangi tinggi si wanita yang masih tertunduk dan tampak begitu lemas.
“Ini beneran orang, kan? Bukan setan apalagi siluman? Kok, ... suasananya mendadak horor begini?” batinnya yang mendadak merinding. Sambil menganati suasana sekitar yang sangat sepi dan sepertinya hanya berisi dirinya dan sosok wanita di hadapannya, Rafael juga kerap mengusap lengan berikut tengkuknya.
Ketakutan Rafael kian melebar lantaran si wanita hanya diam. Namun, perlahan-lahan Rafael mendapati wanita itu mengangkat wajah berikut tatapannya.
“Mbak, saya mau tanya, ruang rawat VIP, ... di mana, ya?” lanjut Rafael basa-basi dan berusaha bersikap sesopan mungkin. “Eh, kok, kayak enggak asing?” batin Rafael ketika melihat wajah wanita itu.
“R-rafael ...?” ucap si wanita dan semakin membuat Rafael yakin, mereka memang kenal.
Namun, belum juga Rafael mengenali si wanita, seseorang justru menarik sebelah lengan Rafael dari belakang, disusul bogem panas yang mendarat di wajah Rafael di mana kemudian, tubuh Rafael tersungkur ke lantai.
“Stt! Apa-apaan, ini?!” batin Rafael geram sambil menyeringai kesakitan terlebih sudut bibirnya sampai mengeluarkan darah ketika ia merabanya untuk memastikan.
“Saeful, cukup! Kamu ini memang enggak waras, ya?!” teriak suara seorang wanita dan Rafael yakini sebagai suara wanita yang sempat ia tanyai. Juga, wanita yang baginya tidak asing. Terlepas dari itu, wanita tersebut juga sampai mengetahui namanya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Whatea Sala
Kasihan orang tua fina..niat hati nolong dengan menutup aib dengan menikahkan fina dan bian,eh malah jadi aib sendiri,ayo.. pak raswin jadi orang tua yang kuat untuk anak2mu,seharusnya yang sakit si fina,maka nya toh..jangan suka memaksakan kehendak gini kan jadinya.coba mulutnya ipul di raupi cabe level 100😠😛
2024-05-15
0
Bekti
duh hubby Rafael br jg nongol ud dibogem sm Ipul 🤭🤦🤦 balas Fina tuh Ipul yg emg mnt dicabein level dewa 💪💪
2023-01-03
1
meyryuren
koc nyampe Cilacap y.. author wong Cilacap?
2021-05-06
0