“Sebelum semuanya semakin telanjur jauh, Na. Sekarang juga, aku talak kamu.”
Episode 5 : Talak
Menyadari sang ayah kebingungan, sedangkan Fina juga masih berusaha menjaga perasaan Fitri berikut pakde Bian yang mengantar mereka, wanita muda yang baru saja menikah itu pun segera mengambil sikap.
Fina yang berdeham kemudian berkata, “kamar Bian sempit, Pak. Terlalu banyak barang seserahan termasuk kado. Jadi aku mau tidur di kamarku dulu. Tadinya sih, Bian mau ikut. Tapi dia malah ketiduran. Bapak tahu, kan, Bian kalau sudah tidur, susah urusannya?”
Mendengar alasan yang dikatakan Fina, Raswin menjadi sedikit lega. Kendati demikian, entah atas dasar apa, pulangnya Fina membuat hatinya waswas. Bahkan rasa perih turut memilin ulu hatinya.
Apalagi, entah atas dasar apa, ia yang biasanya selalu ketiduran dan memang tipikal yang gampang tidur, justru tak hentinya dilanda kerisauan. Bahkan sempat terpikir oleh Raswin, apakah keputusannya memaksa Fina menikah dengan Bian salah?
Fina segera berdiri di belakang Raswin, menghadap Fitri berikut pakde Bian. Sambil mengulas senyum kendati sakit di hatinya sama sekali tidak berkurang, ua berkata, “Bu, aku tidur dulu. Ibu juga tidur, ya. Aku yakin, Ibu pasti capek banget. Oh, iya, Pakde. Makasih, ya,” ucap Fina kemudian, masih berusaha mencairkan suasana.
Fitri mengulas senyum. Jauh di lubuk hatinya, ia tak hentinya bersyukur lantaran Fina begitu bijak dan mau berlapang dada, menutupi kesalahan Bian. Tak salah, ia memilih Fina sebagai menantu sekaligus pendamping Bian. “Mimpi indah, ya, Na!” ucapnya melepas Fina yang seketika itu mengangguk.
“Ya sudah, Mas Raswin, kami pamit dulu. Maaf malam-malam sudah mengganggu. Aku pastikan, lain kali kejadian ini tidak akan terjadi lagi.” Fitri sengaja basa-basi.
Raswin mengangguk kaku lantaran hatinya seolah memberontak, menolak fakta yang diberikan oleh Fitri maupun Fina. “Iya, Fit. Selamat malam,” balasnya mengakhiri kebersamaan.
Setelah Fitri dan pakde Bian pergi, Raswin pun berangsur menutup pintu. Sedangkan Fina yang ada di belakangnya juga kembali pamit. Kendati Raswin ingin kembali meminta penjelasan kepada Fina, tetapi pria itu justru semakin merasa bersalah.
Jadi, Raswin terpaksa melepas Fina dan membiarkan anak perempuannya itu masuk kamar. Raswin sendiri masih tidak bisa tidur, sekalipun ia memaksa, memejamkan matanya sambil meringkuk di sebelah Murni yang tiba-tiba juga membuka matanya.
“Pak, Bapak enggak bisa tidur juga?” tanya Murni lirih.
Raswin yang meringkuk di hadapannya mengangguk tak bersemangat. Kemudian, tatapan suaminya itu berangsur merangkak naik hingga akhirnya bertemu dengan tatapannya.
“Aku merasa sangat bersalah, Bu, kepada Fina. Kok, kita terkesan jahat banget, ya, asal menerima lamaran dan memaksa Fina menikah dengan Bian?” ucap Raswin sarat penyesalan dan masih tak bersemangat.
Murni mengangguk dan terlihat sangat gelisah. “Tadi, seharian ini apalagi pas mau ijab qobul, Bian terlihat enggak ada niat, Pak. Fina juga kelihatan enggak bahagia. Yang ada, Fina kelihatan sangat tertekan.”
“Seharian ini, Fina dan Bian terlihat sangat asing. Mereka yang biasanya sangat akrab, malah lebih sering diam.”
“Belum lagi, desas-desus dari orang-orang, ... mereka menganggap Fina hamil anak Bian dan sengaja merebut Bian dari Lia.” Murni mengatakan semua unek-uneknya sambil berlinang air mata.
Bersamaan dengan itu, jauh di dalam ingatannya juga sampai dihiasi ingatan mengenai kejadian hari ini, layaknya semua yang baru saja ia katakan.
Mengenai Bian yang terlihat tidak ada niat menikahi Fina. Bian yang terlihat jelas terpaksa menikahi anak perempuan mereka. Juga, Fina yang terlihat hanya pura-pura bahagia dan terlihat sudah susah-payah mengimbangi Bian.
Terlepas dari itu, yang membuat Murni semakin sakit, tak lain mengenai desas-desus Fina yang dikabarkan hamil anak Bian dan sengaja merebut Bian dari Lia. Bukankah Fina yang sebenarnya korban? Kenapa justru Lia yang digadang-gadang sebagai korban dan sangat dikasihani?
Raswin menelan ludah dan entah kenapa terasa sangat getir hanya karena ia mendengar cerita Murni yang membuatnya teringat kejadian hari ini. Seperti apa yang Murni katakan, untuk Bian, ... apa yang anak itu lakulan khususnya hari ini, sangat membuatnya kecewa. Belum lagi mengenai Fina yang tiba-tiba pulang tanpa Bian, dan itu semakin membuat Raswin tidak tenang.
“Sudah, Bu, kita berdoa yang terbaik saa buat Fina. Semoga Alloh kasih yang terbaik buat Fina.” Raswin mengelap air mata Murni.
Murni mengangguk-angguk, mengiyakan keyakinan suaminya. Raswin sendiri sengaja tidak menceritakan mengenai kepulangan Fina. Ia tak mau istrinya semakin cemas bahkan akhirnya tertekan.
Sebagai orang tua yang telah membuat Fina memasuki pernikahan, sedangkan apa yang Bian lakukan sangat membuat mereka kecewa, membuat Raswin dan Murni merasa sangat bersalah.
Murni dan Raswin merasa sangat bertanggung jawab sekaligus takut, Bian tidak bisa memperlakukan Fina dengan baik. Belum lagi, selama ini, Bian memang terlibat sangat mencintai Lia. Namun, apakah sesal mereka bisa menjamin kebahagiaan Fina?
***
Di kamarnya, Fina terjaga, duduk di tengah-tengah kasur sambil menekuk lutut. Dalam diamnya, Fina menuangkan semua kesedihannya melalui linangan air mata yang seolah tak akan pernah putus.
“Meski kita sudah menikah, tetapi aku enggak mungkin mencintaimu, Na!” Kata-kata Bian tak hentinya terang di ingatan Fina dan itu semakin membuat Fina terluka.
“Semoga, kata-kata seperti itu enggak akan terulang, ya Bi. Selanjutnya, kita akan kembali seperti sebelumnya. Kita akan menjadi keluarga yang langgeng dan hanya ajal yang bisa memisahkan,” batin Fina sambil menunduk, menyimpan wajahnya di atas kedua lutut yang ia tekuk.
***
Pagi-pagi buta, selain memang tidak bisa tidur, Fina sengaja beres-beres. Ia mengerjakan pekerjaan rumah. Dari menyapu lantai, mencuci tumpukan gerabah berikut pakaian di kamar mandi, dan terakhir memasak. Setelah semuanya beres, Fina langsung mandi dan bersiap pergi ke sekolah untuk mengajar. Pastinya, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Jadi, sebelum berangkat, Fina sengaja ke rumah Bian.
“Kok, mbak Fina bisa di rumah? Siapa yang bukain pintu?” tanya Murni terheran-heran dan memang tidak sempat bertanya langsung pada Fina yang buru-buru pamit.
Rina yang menjadi lawan bicara Murni dan memang baru bangun, juga tak kalah bingung. “Bukan aku. Aku beneran baru bangun, Bu. Semalam aku kecapaian,” ucapnya sambil mengangkat kedua bahunya.
Murni mengerutkan dahi. “Lah, terus siapa? Ibu juga enggak bukain pintu buat mbak-mu, lho, Rin?” Ia menatap heran Rina yang justru meninggalkannya. Anak perempuannya itu memasuki dapur.
“Mungkin Bapak, Bu,” ucap Rina yang tiba-tiba saja berseru, “eh ... semuanya sudah rapi, lho, Bu. Gerabah, masakan, lantai juga bersih. Nah, baju juga sudah dijemur!”
Apa yang Rina katakan memang benar. Semuanya sudah beres dan itu pasti ulah Fina. Murni yakin itu. Namun, jika memang Raswin yang membukakan pintu untuk Fina, seharusnya ia tahu, apalagi semenjak suaminya masuk kamar, Murni juga tetap sulit tidur.
Namun, masa, iya, Fina pulang sebelum Raswin ke kamar? Dan jika memang itu yang terjadi, dengan kata lain, Fina justru tidur di rumah? Tidur di rumah tidak bersama Bian?
Memikirkan Fina tidur di rumah tanpa Bian, keduanya tidur terpisah, membuat Murni semakin stres. Kenapa Bian tetap tidak mau mengalah, padahal Fina sudah banyak berkorban?
***
Masih setengah enam pagi, ketika Fina sampai rumah Bian dan kebetulan pintu sudah dibuka. Dua orang ptia paruh baya selaku pakde Bian juga sedang menikmati kopi hitam sambil menyantap sisa pacitan di meja. Keduanya langsung menyambut Fina dengan senyum semringah dan dibalas hal yang sama juga oleh Fina.
“Pagi, Pakde?” sapa Fina kemudian. Fina sudah mengenakan batik lengan panjang warna hijau selaku seragamnya mengajar yang dijodohkan dengan rok panjang warna hitam. Sebuah tote bag hitam menghiasi pundaknya, sedangkan didekapan tangan kanannya ada beberapa map berikut buku pelajaran.
Yang membuat Fina lega, tak lain karena baru dua kali mengetuk pintu kamar Bian, pintu tersebut sudah dibuka dari dalam. Bianlah pelakunya dan itu langsung disambut antusias oleh Fina. Pria yang selama ini menjadi sahabatnya, selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah, kini menjadi suaminya.
Hal tersebut pula yang membuat hati Fina menjadi berbunga-bunga. Fina merasa jauh lebih aman, karena dengan kata lain, akan ada yang melindunginya melebihi siapa pun bahkan orangntuanya sendiri. Selain itu, Fina juga telah menemukan tempatnya bergantung sekaligus mengabdikan diri.
“Kamu sudah bangun? Hari ini, kamu mau sarapan apa?” sergah Fina sedangkan Bian sudah lebih dulu masuk.
“Kunci pintunya,” pinta Bian sambil terus berjalan tanpa menoleh atau melirik Fina.
Fina melakukan perintah Bian. Menutup dan mengunci pintunya, kemudian menyusul Bian yang sudah duduk di tepi kasur.
Seperti ucapannya semalam, di kamar Biam memang penuh barang seserahan untuk Fina berikut kado pernikahan mereka. Hanya saja, mengenai sempitnya kamar Bian, tentu tidak sepenuhnya benar, karena ranjang tidur Bian saja dua kali-lipat dari ranjang tidur di kamar Fina.
“Semalam, aku benar-benar enggak bisa tidur,” ucap Bian.
Fina menurunkan tasnya dan meletakannya di kasur Bian. Pun dengan map berikut buku yang awalnya Fina dekap. Semuanya disisihkan di sebelah tas.
“Kalau semalam kamu enggak biaa tidur, berarti seharusnya kamu dengar aku sama ibu bangunin kamu, dong?” ucap Fina menatap Bian sambil mengerutkan dahi.
Bian mengangguk kemudian menoleh dan menatap Fina. Hal yang langsung membuat Fina semakin bertanya-tanya. Apa alasan Bian mengabaikannya bahkan mengabaikan ibunya sendiri?
Fina sengaja menghela napas pelan berikut membasahi bibir ranumnya guna meredam ketegangan yang seketika berbaur dengan rasa kesal. Ia terus menatap Bian, menunggu penjelasan lanjutan dari pria itu.
“Aku enggak bisa melanjutkan semua ini, Na!” ucap Bian sarat penyesalan sambil menggeleng. Ia menatap Fina penuh keyakinan.
Fina yang detik itu juga menjadi kembali bersedih pun berkata, “kita coba dulu. Sudah telanjur. Seharusnya kalau memang kamu enggak yakin, itu dari awal, bukan sekarang.”
Bian menepis tatapan Fina dan terlihat jelas tidak mengharapkan balasan tersebut keluar dari mulut lawan bicaranya.
“Aku enggak menuntut macam-macam. Kita cukup jadi suami istri sewajarnya. Kalau memang sekarang masih sulit, seenggaknya kita melakukannya demi orang tua. Nama baik mereka.” Nada suara Fina benar-benar lirih sekaligus pelan.
Bian kembali menatap Fina. “Sebelum semuanya semakin telanjur jauh, Na. Sekarang juga, aku talak kamu.”
Balasan Bian sukses membuat Fina kebas bahkan menitikkan air mata. Fina menatap tak percaya pria di sebelahnya.
“Aku yakin, kamu tahu alasanku melakukan ini. Aku benar-benar belum siap. Kehilangan Lia saja, sudah membuatku sangat hancur,” racau Bian yang terlihat begitu tersiksa, seolah-olah, semua beban penghuni kehidupan dilimpahkan padanya, sampai-sampai, pria itu merasa paling menderita hanya karena ditinggal menikah oleh Lia. Padahal, jelas-jelas Lia sudah mengkhianati Bian.
“Lalu bagaimana dengan aku?” ucap Fina sambil menatap Bian penuh kepastian.
“Bi, tolong, ... mulai sekarang, kamu juga memikirkan aku. Aku ini istri sah kamu, sedangkan Lia hanya mantan, masa lalu kamu, jadi kamu jangan asal talak!”
Meski masih berucap lirih, tetapi Fina benar-benar marah. “Dan alasan orang tuamu memintaku menjadi istrimu, karena Lia sudah menikah dengan pria lain. Karena Lia hamil anak pria lain! Dan kalau kamu cari siapa yang menjadi korban? Akulah yang menjadi korban kalian!” Fina menatap Bian penuh peringatan.
Lagi-lagi, Bian menepisnya dan terkesan sengaja menghindari kenyataan berikut tuntutan Fina. Kontras dari Bian yang selama ini Fina kenal.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nining Moo
terlalui labil sibian
2025-01-04
0
Ernadina 86
ya salah besar
2024-03-19
0
Sabaku No Gaara
astagaaa...bangke ini bian ...tgu penyesalan mu
2024-01-28
0