“Apakah aku seburuk itu? ... apakah aku benar-benar tidak pantas menjadi seorang istri, sampai-sampai, sahabat yang menjadi suamiku memilih menceraikanku tanpa mau memberiku kesempatan?”
Episode 8 : Imbas Talak Dari Bian
Apa yang Bian lakukan tak ubahnya hinaan yang tidak akan pernah keluarga Fina lupakan. Hinaan yang bahkan telah membuat Fina sekeluarga cacat. Belum lagi, jika mereka harus membayangkan bagaimana tanggapan orang-orang khususnya tetangga yang sudah mengecap Fina merebut Bian dari Lia.
“Hanya karena enggak bisa mencintai Mbak Fina, ... hanya karena Mas enggak bisa melupakan Lia bahkan merasa trauma setelah apa yang Lia lakukan, kamu menceraikan Mbak Fina tanpa perasaan, Mas?!” umpat Rina sesaat setelah mendengarkan alasan yang Bian berikan kepada orang tuanya. Pria itu mengatakannya tepat ketika ia kembali setelah menyusul Fina, tetapi Fina memilih mengunci diri di dalam kamar tanpa mengindahkannya.
Rina tidak menyalahkan keputusan Fina, meski apa yang kakaknya lakukan membuatnya semakin cemas. Karena Rina sendiri tidak yakin akan baik-baik saja, jika ia ada di posisi bahkan menjadi Fina. Bisa jadi, Rina malah sudah bunuh diri karena tidak kuat menanggung kenyataan terutama malu. Di kasus ini, yang salah adalah Bian. Pria di hadapannya yang sempat ia gadang-gadang bisa menjadi pasangan sekaligus suami untuk Fina malah tidak memiliki nyali.
Fina melangkah tegas sambil menatap Bian penuh kebencian. Ia sama sekali tidak bisa mengendalikan apalagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus kemarahannya, lantaran Fina kakak sekaligus saudara semata wayangnya diperlakukan dengan sangat tidak adil bahkan tidak manusiawi!
“Kenapa kamu sangat tidak manusiawi, Mas? Ke mana hati dan ingatanmu? Kamu lupa, siapa kalian sebelum ini?” bentak Rina. “Kalian sangat dekat, ... kalian saling menyayangi!” Rina terus meledak-ledak. Bahkan bukannya duduk atau berdiri berjarak, ia sengaja mendekat, jongkok di hadapan Bian dan sampai mencengkeram baju bagian dada pria itu dengan cukup mengangkatnya. “Mbak Fina enggak bersalah. Dia sudah banyak berkorban. Mbak Fina korban dari keegoisan kalian! Jadi bukan alasan yang tepat kalau kamu tiba-tiba menceraikannya, Mas!”
Rina mengempaskan tahanan tangan berikut tubuh Bian hingga pria itu terempas, tertunduk tak berdaya seperti sebelum ia mencengkeram baju bagian dada pria itu. “Seharusnya kalau Mas enggak bisa menjalani pernikahan dengan Mbak Fina, karena Mas trauma dan semua alasan yang Mas katakan, ... seharusnya Mas enggak usah menikahi Mbak Fina apa pun alasannya!” raung Rina sambil terduduk di sebelah Bian, menunduk menghadap pria itu tanpa bisa menyudahi isak tangisnya.
“Jangan karena kesalahan seseorang, kamu menyamakan semua orang akan melakukan kesalahan yang sama kepadamu, Bi.” Murni berucap terisak-isak sambil mencengkeram dadanya. Ia menatap Bian sarat kekecewaan sekaligus luka.
Lain halnya dari Rina dan Murni, Raswin yang kadung kecewa justru memilih bungkam. Baginya, sampai kapan pun, pria seperti Bian tidak bisa membahagiakan Fina. Pria berjiwa lemah dan bahkan tidak punya pendirian. Hanya satu yang Raswin inginkan, Bian harus membersihkan nama baik Fina yang sudah kadung tercoreng hanya karena menikah dengan Bian.
“Setelah ini, jangan pernah ada, apalagi mendekati Fina lagi. Tapi sebelumnya, bersihkan nama baik Fina yang telanjur tercoreng karena menikah denganmu!” ucap Raswin tanpa sudi menatap Bian, sesaat sebelum berlalu meninggalkan kebersamaan.
Hanya isak tangis yang menghiasi kebersamaan seperginya Raswin yang memilih masuk ke dalam kamar, mengurung diri layaknya Fina.
Bian masih terdiam dengan beban seluruh penghuni kehidupan yang seolah bertumpu di kedua pundaknya. Sungguh, apa yang ia rasakan begitu berat. Ia tak hanya ditinggal Lia, melainkan harus mengorbankan Fina.
Kendati demikian, ia juga tidak menyalahkan keluarga Fina, terlebih apa yang mereka katakan tidak salah. Namun sekali lagi, Bian tidak punya nyali, ia juga tidak bisa menjamin Fina akan baik-baik saja jika tetap bersamanya.
Juga, ia yang merasa trauma dengan ketakutan yang membuatnya merasa sangat tertekan. Bahkan akhir-akhir ini, Bian memiliki keinginan kuat untuk bunuh diri lantaran ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya.
Lia dan Fina—kedua wanita itu sama-sama memiliki posisi penting dalam hidupnya. Lia sebagai wanita yang ia cintai tetapi justru mengkhianatinya, serta Fina sahabatnya yang memiliki posisi penting untuk hidup Bian, tetapi justru harus berkorban.
“Demi Tuhan dan demi apa pun, Mas! ... seumur hidup Mas, Mas enggak akan pernah bisa menemukan apalagi mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Mbak Fina!” tegas Rina. “Pergi, Mas! Jangan pernah ada apalagi mengganggu keluarga kami lagi!” usirnya kemudian tanpa sudi melihat Bian yang sedari awal hanya tertunduk bak orang bodoh.
Bagi Rina, Bian sudah tidak punya akal. Sebab, kalau Rina jadi Bian, Rina tidak akan lagi memikirkan Lia yang jelas-jelas sudah mengkhianatinya, membenci bahkan melupakan wanita itu, kemudian hidup bahagia bersama Fina.
“Maaf, Bu. Rin. ... tolong sampaikan juga permintaan maafku kepada bapak dan juga Fina. Maaf karena aku sudah membuat kalian kecewa. Maaf untuk semua kekacauan ini ....” Tak lama setelah itu, Bian yang sampai membungkuk sangat lama pada Murni, berlalu dengan langkah terseok-seok.
Tubuh Bian terlihat sangat lemas, seolah tidak ada tenaga yang tersisa dan mampu menopangnya, mengendalikan kehidupannya layaknya biasa. Padahal sebelumnya, sebelum mendapatkan pengkhianatan dari Lia juga menikah dengan Fina, Bian merupakan pria muda bergairah yang selalu menghabiskan waktunya penuh keceriaan.
Pria ramah yang awalnya sudah seperti anak Raswin dan Murni. Juga, kakak terbaik bagi Rina. Itu juga yang membuat Rina sangat mendukung dan tak hentinya membujuk Fina, ketika Fina diminta menjadi pengganti Lia, menikah dan menjadi istri Bian. Karenanya, kini Rina menyesali keputusannya.
Andai, ketika Fina berusaha kabur dari jendela untuk menghindari pernikahan, ia tidak sampai menahan bahkan meyakinkan Fina untuk mantap menikah dengan Bian.
***
Di kamar, kendati hanya diam di tengah tatapannya yang kosong, Fina yang meringkuk di kasur, tak hentinya menangis. Fina meringkuk tanpa berselimut, sedangkan kedua tangannya tertumpuk di depan wajah. Di ingatannya kini sedang terputar kebersamaannya dengan Bian, ketika pria itu melayangkan talak kepadanya, di hari pertama setelah mereka menikah.
“Apakah aku seburuk itu? ... apakah aku benar-benar tidak pantas menjadi seorang istri, sampai-sampai, sahabat yang menjadi suamiku memilih menceraikanku tanpa mau memberiku kesempatan?” batin Fina yang kemudian mengelap air matanya menggunakan sebelah punggung tangannya.
Sungguh, apa yang Bian lakukan begitu menyakitkan untuk Fina. Ia yang awalnya belum pernah berkomitmen menjadi trauma apalagi jika harus kembali menjalani pernikahan.
“Aku capek. Tuhan, ... aku capek, jadi tolong, jangan izinkan aku menangis apalagi menangisi pria seperti Bian,” gumam Fina yang menjadi sibuk menyeka air matanya. Fina takut menghadapi hari esok berikut kenyataan tanggapan orang-orang atas statusnya yang sudah dicerai Bian.
Fina tidak sanggup bahkan meski hanya membayangkannya. Itu juga yang membuat air matanya tak hentinya berlinang, mewakili deretan luka yang tak kunjung berhenti mendera.
***
Pagi menjelang siang, Fina yang baru bangun dibuat tak percaya lantaran ia terbangun tepat pukul sebelas pagi. Fina menggeleng tak habis pikir kemudian mengakhiri tatapannya dari beker di hadapannya yang letaknya ada di nakas sebelah kasur tempatnya tidur.
Fina segera beranjak meninggalkan tempat tidur terlebih kedua matanya terasa sangat panas sekaligus kaku. Mungkin karena semalaman menangis, matanya jadi bengkak parah terlepas dari kepalanya yang terasa sangat pening. Fina berniat mengompres matanya menggunakan es batu.
Karenanya, meski tubuhnya juga masih terasa sangat lemas, bahkan berjalan pun sampai sempoyongan, membuatnya kerap berpegangan pada dinding juga benda di sekitar yang ia jumpai, ia memaksakan diri ke dapur.
“Jangan jadi wanita pemalas, Na! Jangan jadi wanita lemah! Ingat, kamu anak pertama! Kamu harus bisa jadi contoh sekaligus kebanggaan keluarga! Terus-menerus menangis enggak akan mengubah kenyataan. Yang ada, kamu justru terlihat semakin menyedihkan. Belum lagi mengenai perasaan bapak dan ibu!” batin Fina sambil berpegangan pada pintu dapur yang terbuka sempurna layaknya biasa.
Di dapur, Rina dan Murni sedang duduk bersebelahan di bangku yang di mejanya merupakan tempat lauk berikut sayur tersimpan, ditutupi tudung saji. Keduanya saling berhadapan bahkan Fina dapati menangis. Keduanya terlihat sedang saling meyakinkan. Hal tersebut pula yang membuat Fina menghentikan langkah menghampiri keduanya. Fina merasa bertanggung jawab atas kesedihan yang tengah menimpa ibu dan adiknya.
Dengan tubuh yang masih lemas, Fina duduk di bangku yang keberadaannya di depan Rina dan Murni. Mereka hanya tersekat meja panjang yang dihiasi dua tudung saji di bagian tengahnya.
Kehadiran Fina sukses mengejutkan Rina dan Murni. Keduanya yang terlihat kebingungan, buru-buru menyeka air mata mereka.
“Bu, ... Rin, sudah. Jangan dipikirkan lagi. Terus-menerus menangis juga enggak akan mengubah keadaan. Yang ada, kita malah tambah capek!”
“M-mbak!” ucap Rina kemudian dengan cukup berseru sambil menatap serius Fina yang kebetulan berada persis di hadapannya.
Fina balas menatap serius Rina. “Katakanlah,” ucapnya yang kemudian mengangguk memberi persetujuan.
“Mbak,”
Rina belum sempat berbicara, tetapi Fina mendapati Murni mencubit perut Rina dan membuat adiknya itu buru-buru tutup mulut. Gerak-gerik mencurigakan keduanya membuat Fina berspekulasi buruk. Fina yakin, ada hal penting yang sengaja keduanya sembunyikan darinya.
“Na,” ucap Murni mengambil alih.
Murni yang terlihat gelisah membuat kerut di dahi Fina kian bertambah. “Katakan saja. Aku baik-baik saja.”
“Mbak, Mas Bian overdosis dan sekarang ada di rumah sakit! Tapi gara-gara itu, orang-orang jadi percaya kalau Mbak hamil anak si Ipul! Ipul kembali berulah, Mbak!” sergah Rina geram. Kedua tangannya mengepal erat di atas meja.
Pengakuan Rina sungguh mengejutkan Fina. Bukan hanya perihal Bian yang dikata overdosis, melainkan Ipul yang lagi-lagi berulah bahkan lebih parah!
“Sebenarnya, salahku apa sih, ke Ipul? Kurang ajar banget, tuh orang! Bikin gara-gara terus!” Fina benar-benar sudah tidak tahan. Ia yang awalnya lemas tak bertenaga seolah mendapatkan banyak kekuatan untuk bangkit. Fina berjalan tergesa meninggalkan kebersamaan.
Ketika Rina yang menyusul terlihat begitu mendukung, tidak dengan Murni yang terlihat gelisah. Karenanya, ia terpaksa membangunkan suaminya yang sejak sore mengurung diri di kamar.
Ketika Fina dan Rina nyaris menutup pintu dan siap meninggalkan rumah, tiba-tiba dari dalam, Murni berteriak, “Na ... Rin ... bapak pingsan! Bapak enggak bernapas!”
Jerit ketakutan Murni sukses membuat Rina dan Fina panik bahkan nyaris jantungan. Keduanya tunggang-langgang, kembali memasuki rumah.
Bersambung ....
Banyak yang nungguin kisah ini, enggak? Ada yang enggak sabar juga, nunggu pertemuan Fina dengan bos nyebelin sekelas Rafael, juga si cowok romantis Daniel?
Oke, tetap dukung ceritanya, ya.
Salam sayang,
Rositi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Linda Wati
Seharusnya Fina mengajukan pembatalan pernikahan..
Bian memang laki" bodoh bikin kesel
2024-02-05
2
꧁𓊈𒆜🅰🆁🅸🅴🆂𒆜𓊉꧂
biang kerok nya kemana yang udah hamil duluan bikin masalah keluarga
2024-01-30
0
Evy
wah .. jadi janda kembang dong...
2023-11-04
0