Aku terbangun, napasku terengah-engah. Bajuku basah oleh keringat. Tenggorokanku kering. Mimpi. Tadi itu hanya mimpi, namun terasa begitu nyata. Aku mengusap keringat di dahi, duduk bersandar pada dinding. Jam di ponselku menunjukkan pukul 03:00.
Badanku seketika lemas, aku bangun dan mengambil segelas air di ruang depan. Kuhabiskan dalam sekali tenggak. Dan kembali duduk, kuselonjorkan kakiku. Napasku mulai normal.
"Diii, Adiii."
Eh, ada yang memanggil namaku. Suaranya amat pelan. Aku terdiam, kukorek kupingku.
"Adiii. Buka Diii."
Siapa itu?
Jantungku berdegup kencang. Bulu kudukku merinding. Aku bangun dan berdiri. Apa tadi hanya halusinasiku saja? Panggilannya tak terdengar lagi.
"Adiii."
Astaga, siapa malam-malam begini memanggilku? Suaranya berasal dari luar kamarku. Aku tak berani membuka pintu, bahkan mengintip keluar pun aku tak ada keberanian. Jantungku masih berdegup kencang.
"Adiiii, buka Diii."
Lagi, ia memanggil namaku. Aku harus melakukan apa?
"Gue Bagas Diiii."
Hah, Bagas? Apa benar itu Bagas. Suaranya amat pelan dan lemah.
"Adiiii, buka pintu Diiii."
Aku memberanikan diri. Kudekati jendela, perlahan kubuka tirai. Astaga, benar saja. Bagas sedang meringkuk di depan kamarku, dengan tangan menyilang seperti menahan dingin. Kulitnya putih pucat. Aku bergegas membuka kunci, lalu kubuka pintu kamarku sambil kupanggil Bagas.
"Gas, bentar Gas!" teriakku.
Pintu kamar kubuka.
Sangat terkejutnya aku, sosok Bagas tidak ada di depan kamarku. Sepi. Seketika bulu kuduk di tengkuk bergetar. Aku keluar kamar, kulihat sekeliling kost. Sunyi. Pemandangan malam ini tak biasa, ada embun yang membuat jarak pandang menjadi terbatas. Kupicingkan mataku mencari sosok Bagas.
Siapa itu? Bentuk tubuh dan tingginya nampak tak asing. Hanya siluet yang terlihat. Bagas? Ia berdiri di garasi tepat di samping sedan tua.
"Gaass. Bagaaass." panggilku. Kutajamkan pandanganku.
Bagas melambaikan tangannya seperti memanggilku.
"Bagaaass! Sini Gas, lo ngapain di situ?" teriakku.
Kulihat Bagas terus melambaikan tangannya pelan. Aku segera bergerak mendekati Bagas.
"Hooii Di!"
Aku menoleh ke asal suara, Bang Oji memanggilku dari depan kamarnya.
"Ngapain teriak malam-malam gini?" tanyanya.
"Itu ada kawan gue bang. Gue mau samperin." ucapku.
Bang Oji menghampiriku.
"Mana?"
"It.."
"Lah, kemana tuh anak? Tadi dia panggil-panggil gue." mataku terus mencari sosok Bagas.
"Nggak ada siapa-siapa Di. Lo ngimpi ya?" ujar Bang Oji.
"Udah masuk sana. Lo nggak kedinginan?" suruh Bang Oji.
Aku diam tak berkata. Kemana Bagas? Apa tadi hanya perasaanku saja? Tapi sangat jelas itu Bagas. Ia meringkuk di depan kamar, sampai kulihat di garasi, itu benar-benar Bagas.
"Bang, sebenernya di sini ada apa sih?" aku bertanya dengan nada datar ke Bang Oji.
"Eh, maksudnya?"
"Baru beberapa hari di sini, gue udah nemuin hal-hal aneh. Sebenernya di kost ini ada apa?" tanyaku.
"Hal aneh gimana? Udah yuk masuk dulu. Dingin." Bang Oji mendorong tubuhku pelan.
Kami duduk di ruang depan. Tatapanku kosong, sambil duduk bersandar lemas.
"Nih, minum dulu." Bang Oji memberikan segelas air. Kuhabiskan.
"Hal aneh apa maksudnya Di?" Bang Oji bertanya.
"Tadi sore gue lihat kucing, hilang tiba-tiba."
"Hahahahaha. Cuma kucing hilang, aneh dari mana Di? Kan biasanya emang kucing suka pergi kesana kemari." tepis Bang Oji.
"Puluhan bang. Kucingnya ada puluhan. Gimana? Coba lo jelasin?" ujarku.
"Hah, puluhan? Banyak kucingnya?"
"Iya. Tiba-tiba, cling hilang aja." jawabku.
Bang Oji diam. Aku pun diam.
"Bang, rumah dua lantai di depan itu punya siapa?" tanyaku.
"Oh, rumah depan gerbang itu. Itu punya adeknya almarhum Pak Thamrin. Kenapa emangnya?"
"Kok yang punya rumah jarang kelihatan sih? Jarang keluar rumah ya?" tanyaku.
"Eh, kelihatan? Emang kenapa? Lo pernah lihat?" tanya Bang Oji.
"Hari pertama gue kost di sini, habis keluar beli makan, gue lihat si mbak berdiri di depan pintu. Gue tegur, nggak jawab." ceritaku.
Bang Oji diam.
"Terus?" tanyanya kembali.
"Terus dua hari lalu, kawan gue Bagas di sapa sama si mbak dari lantai atas. Kata Bagas, dia duduk di balkon sambil goyang-goyang kaki. Tapi gue nggak lihat." sambungku.
Bang Oji mendengarkan ceritaku.
"Terus? Ada lagi?" Bang Oji kembali bertanya.
"Kemarin, kawan gue Yuda di sapa juga. Dari lantai atas juga. Tapi, lagi-lagi gue nggak lihat."
"Mbak yang punya rumah pemalu ya orangnya?" tanyaku.
Bang Oji hanya diam.
"Di.." ucapnya. Lalu kembali diam.
"Apaan bang?" tanyaku.
"Em gini. Ini terserah lo mau percaya atau enggak sama gue. Tapi, jangan sampai ini bikin lo jadi nggak betah di sini ya. Oke." ujar Bang Oji.
"Apaan sih bang? Emang ada apa?" tanyaku.
"Sebenernya rumah depan itu udah lama kosong."
Deg.
Aku terperanjat. Diam tak bisa berkata.
"Dan yang punya rumah, udah lama meninggal."
Deg. Deg. Deg.
Jantungku berdegup tak beraturan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
Yoni Asih
thor bener2dah kek q ada di cerita horor ini seremnya ngikut
2024-03-31
0
Aeyma Rahma
Deg deg deg........serrr..... sereeeeem
2023-05-31
0
IG: _anipri
reflek ngikut jantungan. wkwkwk
2023-02-02
0