Suara geraman masih menyertai kami turun dari tangga darurat lantai lima. Napasku mulai terengah-engah, keringat mengucur membasahi dahi, dengkulku mulai pegal. Bagas tak sedetik pun menoleh ke arahku, ia berada di posisi depan. Kami terus berlari menuruni anak tangga.
Lantai dua.
Ayo sedikit lagi! Aku menyemangati diriku. Napas Bagas tersengal-sengal, aku mendengar dengan jelas. Suara geraman dan dentuman masih mengikuti kamu turun.
Hingga sampailah kami di lantai satu. Bagas mendorong kuat pintu tangga darurat. Aku membantunya dari belakang. Astaga, pintu ini berat sekali. Hanya bergeser sedikit. Sementara suara geraman terdengar makin mendekat. Bagas menendang kuat pintu darurat, kugunakan lenganku mendorong pintu.
Dan, akhirnya terbuka. Secepat kilat kami keluar, dan Bagas langsung menutup kembali pintu tersebut.
Aku terlentang di lantai, Bagas duduk bersandar pada dinding. Kami saling menatap. Tak sepatah kata pun keluar dariku, juga Bagas. Kami mengatur napas perlahan. Seorang petugas kebersihan heran melihat kami.
"Hei, kalian kenapa?" tanya si petugas.
Bagas hanya menggeleng, aku cuma acuh.
"Di, lo sehat Di?" tanya Bagas.
"Hah, sehat Gas. Hah hah," jawabku dengan terengah-engah.
"Lo gimana Gas?"
"Gila, berasa mau mati gue Di!"
"Ke warkop samping kampus yuk Di!" ajak Bagas.
Aku menyeka keringat di dahi, kemudian menjawab.
"Yuk! Tenggorokan gue kering."
"Kita omongin di warkop aja ya Di." ucap Bagas. Aku hanya mengangguk.
Kami pun berlalu menuju warkop. Sepanjang perjalanan kami hanya diam membisu. Tak ada obrolan. Beberapa mahasiswa terlihat masih lalu lalang di sekitaran kampus. Lampu-lampu jalan satu persatu menyala.
"Kang, es teh manis satu. Lo apa Di?" Bagas memesan.
"Sama deh."
Warkop di penuhi mahasiswa. Samping kampus memang tempat favorit mahasiswa, karena banyak warung makan dan tempat nongkrong macam kedai kopi. Banyak pula warnet dan rental komputer, serta foto copy.
Kami duduk di bangku kayu panjang, tak berapa lama dua gelas es teh manis pun datang. Bagas menyedot sampai tersisa setengah gelas.
"Di, lo juga denger kan?" tanya Bagas.
"Denger banget gue. Menurut lo itu apa?"
"Nggak tau gue Di. Gue awam soal begitu. Ini pengalaman pertama gue Di." ujar Bagas.
"Ya sama Gas."
"Kayaknya gue kapok balik sore-sore dari kampus Di, apalagi deket-deket waktu magrib." ucap Bagas.
Kakiku masih terasa pegal. Kemeja basah oleh keringat. Begitu pun Bagas, ia terlihat lemas. Sesekali menyedot es teh manisnya.
Terdengar azan magrib dari masjid besar di seberang kampus.
"Di, gue boleh nggak numpang nginep di kost-an lo?" tanya Bagas.
"Jam segini udah nggak bus ke arah rumah gue."
"Boleh Gas, masa nggak boleh. Gue juga kayaknya butuh temen sih gara-gara kejadian ini." kataku.
"Besok lo pake baju gue aja. Kalau kemeja, gue banyak."
"Makasih banyak Di." ucap Bagas sembari tersenyum.
Setelah shalat magrib, kami pun pergi menuju kost-ku. Banyak yang kami bicarakan sepanjang perjalanan, namun tak lagi menyinggung kejadian sore tadi. Kami berjalan memasuki gang.
"Gila, jalan ke kost lo gelap banget Di."
"Iya sih, tapi kalau lo jalan pagi-pagi enak banget. Sejuk." ujarku.
Tak berapa lama, sampailah kami di depan gerbang.
"Eh Di, itu rumah siapa?" tunjuk Bagas ke rumah mungil di depan gerbang kost-ku.
"Nggak tahu gue Gas, kan gue baru pindah kemaren."
"Emang kenapa?" tanyaku sembari membuka gerbang.
"Ah nggak apa-apa."
Aku meminta izin ke Nek Iyah karena Bagas menumpang tidur malam ini di kamarku. Beruntung Nek Iyah memperbolehkannya.
"Untung di bolehin ya, kalau enggak gue bingung tidur dimana Di."
"Iya, alhamdulillah."
Aku membuka pintu kamar. Setelah mengucap salam dan melepas sepatu, aku masuk.
"Masuk Gas!"
"Di, kost lo enak banget suasananya. Sepi, tentram banget rasanya." kata Bagas.
"Iya, beruntung gue dapet ini kost. Harga juga lumayan terjangkau, ya karena gue tinggal sendiri sih."
"Bagus deh kalau harganya terjangkau. Buat mahasiswa perantau penting banget itu Di."
"Iya dong."
"Seru nih kalau acara bakar-bakar di sini Di. Halamannya lumayan luas kan." ujar Bagas.
"Wah, sayangnya di sini nggak boleh bakar-bakar Gas." jawabku seraya memberi kain sarung dan kaus untuk Bagas.
"Eh, nggak boleh. Kenapa Di?" tanyanya.
"Nggak tau tuh ibu kost gue. Pas gue tanya alesannya, dia cuma bilang kalau nggak boleh ya nggak boleh." jelasku.
"Gitu doang?" tanya Bagas kembali.
"Iya, gitu doang,"
"Nih sarung sama baju, buat lo shalat sama tidur. Mandi duluan sana!" suruhku.
"Oke, makasih ya Di." Bagas mengambil kain sarung dan kaus lalu mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
IG: _anipri
tapi serem. wkwkwk
2023-01-30
0
IG: _anipri
kenapa ya di mana-mana tuh kalau surup nggak boleh keluar rumah lah nggak boleh ini itu lah. benar-benar aneh
2023-01-30
0
Berdo'a saja
semoga tidak denger apa2 lagi pas ada bagas
2022-11-03
0