Kamar No.11B
Sore ini aku masih berjalan mengelilingi kampus, mencari kamar kost. Tentu saja aku mencari kamar kost yang memiliki harga terjangkau, agar tak memberatkan ayah dan ibuku. Tak kupungkiri, pekerjaan ayah di kampung hanya seorang guru agama sekolah dasar. Sedangkan ibu, cuma seorang ibu rumah tangga biasa. Jadi, kami sebagai anak yang harus mengerti keadaan orang tua.
Aku Adi, mahasiswa tingkat satu sekaligus perantau yang baru menginjakkan kaki di kota besar ini. Sudah dua minggu sejak perkuliahan di mulai, aku belum mendapatkan kamar kost yang sesuai. Rata-rata, harga sewa kamar kost di sekitaran kampus lumayan mahal.
Sudah sekitar setengah jam aku mengitari daerah belakang kampus, namun tak menemukan kamar kost yang sesuai. Peluh membasahi dahiku, kemejaku basah oleh keringat, kaki pun mulai pegal.
Matahari memancarkan sinar jingga, langit pun perlahan-lahan mulai gelap. Suara mengaji dan shalawat terdengar saling bersahutan dari masjid dan mushola. Ah, sebentar lagi maghrib.
Aku berjalan tepat di belakang kampus, sebelah kiriku tembok kampus dan terlihat di dalamnya gedung tujuh lantai menjulang. Temboknya tinggi, penuh coretan dan gambar. Jalan ini tak terlalu besar, sebelah kananku sebuah lapangan rumput dan kebun kosong, lebat dengan pepohonan. Di ujung jalan kulihat sebuah mushola kecil, catnya putih, dan sebagian atapnya tertutup pohon besar.
Adzan berkumandang, syahdu dan menenangkan. Beberapa pria berpeci terlihat jalan menuju mushola. Segerombolan anak kecil berlarian saling canda, dan sekelompok wanita memakai mukena masuk ke dalam mushola.
"Ah, sebaiknya shalat maghrib dulu deh." pikirku. Aku pun berjalan menuju mushola.
Tak sengaja, mataku tertuju ke sebuah gang kecil di sebelah kanan jalan. Tak ada gapura, jalannya sedikit menurun dan nampak gelap. Di sisi kanan dan kiri hanya ada kebun kosong, namun di ujung jalan kulihat sebuah tiang lampu. Langkahku terhenti di depan gang, kulihat sebuah papan usang bertuliskan KOST PAK THAMRIN. Papannya terpaku di sebuah pohon, berwarna coklat. Tulisannya berwarna putih. Setelah shalat, aku harus ke kost ini.
Aku bergegas menuju mushola. Berwudhu lalu melaksanakan shalat maghrib, syukurnya aku tak tertinggal untuk berjamaah. Selesai shalat, aku menuju gang kecil tadi.
drrrrtttt.. drrrrtttt...
Ponselku bergetar. Mas Gun menelpon.
"Ya mas," kujawab telpon dari Mas Gun. Oiya, terhitung mulai di laksanakan OSPEK mahasiswa baru sampai saat ini, aku menumpang tinggal di kontrakan Mas Gun, kakak kelas sewaktu nyantren dulu. Namanya Mas Guntur, panggilan akrabnya Gun. Badannya tinggi dan gempal, kepalanya botak plontos, janggutnya lebat, kulit putih. Ia kakak kelas yang tegas sewaktu nyantren dulu.
"Dimana lo Di?" tanya Mas Gun.
"Ini lagi muter-muter nyari kost. Baru selesai maghriban nih. Kenapa mas?"
"Oooh, ngapain sih nyari kost? Udah di bilang kita barengan aja di sini." ucap Mas Gun.
"Hehehehehe.." aku tertawa.
"Yo aku ndak enak mas . Sampeyan, tiap hari banyak kawan yang dateng kesana. Aku takut ganggu." jawabku.
"Yowes sakarepmu ae. Lo nyari kost dimana Di?" tanya Mas Gun kembali.
"Ini di belakang kampus banget, yang ada lapangan kosong," jawabku sembari berjalan menuju gang Kost Pak Thamrin. Aku berhenti tepat di depan gang.
"Ooh di situ. Itu kan daerah sepi Di. Nggak banyak juga kost-kost-an disana." jelas Mas Gun.
"Ini dapet mas, cuma emang belum tanya-tanya sih. Baru aja mau kesana, eh sampeyan telpon."
"Ooh yowes. Kalo mau balik, kunci kamar gue taro di bawah keset ya. Gue mau ke warnet"
"Oke mas, suwun yo." aku menutup pembicaraan.
Aku pun berjalan memasuki gang ini. Jalannya sedikit menurun dan gelap, di ujung jalan ada sebuah tiang lampu penerangan. Lalu jalan berbelok ke kiri, tak ada rumah yang berdekatan di sini. Sekitar lima puluh meter dari tiang lampu di sebelah kanan, ada sebuah rumah kecil tak berpagar. Lampu terasnya tak menyala. Tanaman di depan rumah itu tak terurus, ilalang tumbuh tinggi. Namun terlihat belasan bahkan puluhan ekor kucing di terasnya. Aku lanjut berjalan melewati rumah kecil itu, dan sampailah di sebuah rumah dengan pagar pendek sedada berwarna hijau tua.
Rumahnya cukup besar dua lantai, tapi lantai atas nampak gelap tak ada lampu atau pun penerangan. Halamannya besar, banyak tanaman hias dalam pot kaleng. Di sebelah kiri teras ada sebuah pohon mangga besar, daunnya lebat. Aku berdiri di depan gerbang, melihat sekeliling. Sepi.
"Assalamualaikuuuumm!" aku mengucap salam cukup keras.
Sunyi. Tak ada jawaban.
"Assalamualaikuuuumm. Pak! Bu! Permisiii," teriakku kembali.
Lagi, tak ada jawaban.
"Assalamualaikuuuuuuuummm," kali ini aku teriak lebih keras.
Pintu depan terbuka. Ah, akhirnya. Seorang nenek keluar dari dalam. Ia berjalan ke arahku yang berdiri di depan gerbang. Jalannya pelan sedikit tertatih. Tubuhnya sedikit bungkuk. Rambutnya putih dan di konde. Ia mengenakan daster panjang berwarna hijau motif batik.
"Kamu yang teriak salam?" tanya si nenek.
"I..i..iya nek. Maaf nek." jawabku gugup. Si nenek melihatku tajam.
"Maghrib, jangan teriak-teriak! Nanti ada setan." ucap si nenek. Aku sedikit terhenyak.
"Ada apa?" tanya si nenek.
"Iya maaf nek. Saya mau tanya kost nek, apa ada kamar kosong?" tanyaku.
Si nenek diam. Melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya masih tajam.
"Mau kost sendiri apa bareng sama temen?" tanya si nenek.
"Kebetulan sendiri aja." jawabku.
"Ada yang kosong. Mau lihat?"
"Boleh nek. Tapi, saya mau tanya, kira-kira berapa ya sewanya?"
"Sendirian ya? Kamu kuliah apa kerja?"
"Kuliah nek. Mahasiswa baru." jawabku.
"Empat ratus lima puluh ribu, kalau kamu kost sendiri" jelas si nenek.
Nah, Ini harga yang lumayan cocok untukku.
"Mau lihat kamarnya nggak?" tanya si nenek kembali.
"Mau nek. Mau banget." si nenek lalu membuka gerbang.
Si nenek mempersilakan masuk, kami melewati pohon mangga besar, lalu berjalan ke arah kiri teras rumah. Ada garasi dan sebuah mobil sedan tua berdebu, di sebelah mobil sedan tertumpuk karung-karung besar, penuh botol dan gelas plastik bekas. Kami berjalan melewati garasi, ke arah belakang rumah.
Lalu sampailah kami di depan kamar kost. Ada lima kamar berjejer, memanjang. Di depan kamar terdapat area parkir motor cukup luas. Lalu, di depan kamar paling ujung kiri terdapat tangki air di atas tiang besi dan di sebelahnya terdapat tanah kosong dengan tiga pohon besar. Tiga kamar terlihat gelap, mungkin tiga kamar ini yang kosong. Ah, di tiap pintu kamarnya tertera nomor kamar.
Suasananya sepi dan tentram. Masih terdengar suara jangkrik. Ini yang aku suka, sedikit banyak suasana pedesaan ada di sini. Udaranya pun masih dingin, mungkin karena banyaknya pepohonan di daerah sini. Aku melihat-lihat sekeliling, kamar kost ini persis di belakang rumah dua lantai.
Dan si nenek, membuka kamar kedua, kamar nomor 11B.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
Dul Karim
hai
2023-11-25
0
Laura putri
bagus
2023-11-21
0
gresia Baun81
Mayan ikut merinding
2023-08-28
0