Sungguh Livia tak menyangka Pak Bagus akan mengatakan itu.
Ditatapnya lelaki putih bersih, bertubuh kecil dan berkaca mata di depannya. Pak Bagus seorang lelaki yang serius. Kiki dan teman-temannya bilang Pak Bagus 'garing'. Dan lelaki garing ini tiba-tiba membicarakan pernikahan dengan livia. Dia ingin Livia jadi istrinya!
Livia tergagap. “Nggg….”
Sungguh Livia tak tahu harus berkata apa.
“Saya serius! Setahun lagi saya akan datang ke orang tuamu buat melamar kamu jadi istri saya!” Bagus Ardiyanto membetulkan kaca matanya. Sikapnya penuh percaya diri.
*
“Terus lo jawab apa?” Kiki penasaran.
Cewek gendut itu pulang mengantarkan Livia ke rumah kosnya. Tempat tinggal Livia yang tak terlalu jauh dari kampus bukanlah rumah kos-kosan dengan banyak kamar. Hanya sebuah rumah biasa dengan 3 kamar yang disewakan oleh sepasang suami istri pensiunan. Selain Livia, ada 2 cewek fakultas lain dari Universitas Megajaya kos disitu.
Dan Kiki tertahan ngobrol di kamar Livia gara-gara ingin mendengar langsung dari Livia tentang kejadian di ruang dekan. Kiki melongo kala Livia cerita tentang Pak Bagus yang seusai kejadian mengajak Livia menikah.
“Lo bilang iya ke Pak Bagus? Lo mau jadi istrinya?” Kiki mencecar karena Livia tak langsung menjawab.
“Enggak.”
“Hah?” Kiki terbelalak. “Lo langsung nolak dia?!”
“Bukan. Maksud gue gak gue jawab pertanyaannya.” Jujur Livia. “Gue diam aja. Gue gak bilang ‘iya’ke Pak Bagus. Gue juga gak bilang ‘enggak’.”
“Padahal nikah kata orang enak lho….” Mendadak Kiki menggaruk bagian pangkal pahanya yang tiba-tiba terasa gatal.
“Kenapa lo? Masa ngegaruk-garuk barang terlarang gitu?” Livia kaget memperhatikan kelakuan Kiki.
“Gak tau kenapa. Kalo dengar orang ngomongin nikah atau mau nikah, apem gue gatel.” Kiki menjawab polos. “Sebenarnya gue rada jealous kalo orang lain mau menikah. Di otak gue kepikir, enak bener yang mau nikah. Mungkin karena itu apem gue berasa gatel. Berasa cenat-cenut.”
Asli. Livia mau ngakak mendengar jawaban Kiki. Tapi ditahannya.
“Aneh lo, Ki.” Livia masih menahan ketawa dengan susah payah.
“Emang gitu.” Gadis gemuk itu menjawab lugu. ”Kemarin sepupu gue ngomongin dia sudah mau nikah. Dia dilamar sama pacarnya. Eh, gue langsung jealous. Ngiri ngebayangin dia bakal nikah terus ***-*** sama suaminya. Apem gue mendadak gatel banget, cenat-cenur terus sampe lama gue garuk baru hilang cenat-cenutnya!”
“Ha ha ha ha….!” Livia kini tak bisa menahan tawanya. Ia tak menyangka Kiki yang terkesan polos ternyata menyimpan fantasi tersendiri tentang orang yang menikah.
“Iiih, lo malah ngetawain teman lo sendiri!” Kiki kesal.
“Habis lo aneh. Perasaan orang lain gak gitu deh.”
“Ya kan orang bawaannya beda-beda. Eh, lo gak usah bilang-bilang ke orang lain kalo apem gue suka gatel kalo dengar orang lain bahas pernikahan!” Kiki serius.
Livia menghentikan tawanya. “Enggak lah. Kayak kurang kerjaan aja gue bahas itu ke teman lain.” Dia menatap Kiki. “Lo tadi bahas Pak Bagus malah jadi ngomongin apem.”
“Eh iya.” Kiki ingat topik pembicaraan semula. “Lo kan diam aja gak jawab waktu Pak Bagus bilang setahun lagi bakal ngelamar. Nah, dia pasti ngartiin lo setuju dengan omongan dia, Via. Pak Bagus kan garing orangnya. Tipe orang dari masa lalu. Dia anggap kalo lo diam artinya lo bilang iya.”
“Gue juga mikir gitu,” kata Via.
“Tapi gak ada salahnya sih lo nerima Pak Bagus jadi calon suami lo. Orangnya cakep, pinter, bakal jadi suami yang baik gitu. Kebayang lah gue kalo dia jadi suami lo." Kiki mendadak terdiam. "Nah kan, apem gue mulai cenat-cenut lagi.”
Kiki mulai garuk-garuk kembali bagian pangkal pahanya.
“Sudah ah jangan garuk!” Livia menunjuk ke tangan Kiki yang asik garuk-garuk. “Entar gue pikirin nikah kalo gue udah tamat kuliah! Sekarang sih gak kepikiran gue mau jadi istri orang.”
*
Irawan tengah ngobrol dengan 2 orang mahasiswi di koridor gedung A. Mereka sudah mau pulang.
“Eh, cyyinn, tau gak? Meli Melon sama Babang Tamvan Norman habis disidang di ruang dekan. Mereka mau dipecat jadi mahasiswa disini!”
“Tau dari mana lo?”
“Aiihh, Ira kan pusat segala data. Pusat informasi terkini dan terpercaya. Pokoknya Ira tauuuu aja. Mereka sudah dipecat lho sebenarnya Cyyinn! Tapi Meli Melon nangis-nangis minta jangan dipecat. Sampe nangis lebay gitu dia. Nyembah-nyembah Pak Dekan. Minta gak diberhentiin kuliah!”
“Nggg… jangan ngomong gitu, Ra. Entar orangnya dengar…” Salah satu cewek melirik ke samping. Ada Meli dan Norman lagi ngomong serius disitu.
“Aih, orangnya sudah pulang kaleee…” Irawan terus nyerocos. “kalo Eike sih malu kayak Meli Melon gitu. Sama Livia galak, zolim tiada tara. Bengis kayak iblis. Eh, di depan dekan ngemis-ngemis nangis kayak pengemis!”
JREEENGGG! Tiba-tiba ada seseorang perempuan berdada besar menghadang Irawan.
Irawan terkesiap.
“Mulut lo kayak mulut bawah perempuan ya? Bawel bener!” Meli memaki Irawan.
“Aih, beda lah. Kalau mulut bawah yeiy kan bau ikan asin. Mulut eike mah harum pake pengharum nafas…”
“Ngomong lo!!”
PLAAAKKK! Irawan ditampar Meli.
“Aiiihh, sadisnya dikau wanita iblis.”
PLAAAKK! PLAAAKK! PLAAAKKK!
Muka irawan ditempeleng kiri kanan beberapa kali oleh Meli kayak mainan. Irawan sampe keliyengan. Pusing dan kesakitan.
“Masih kurang?!” Meli menatap garang ke Irawan.
“Sudah, sudah. Kita ada urusan lain. Ngapain ngurusin mahluk bertulang lunak kayak dia!” Norman yang dari tadi diam aja menarik Meli menjauh.
“Habis nyebelin bener tuh benc*ng! Gue pites entar bijinya biar dia jadi perempuan beneran.” Meli masih sewot.
“Udah lah. Kita kan harus ganti lap top si Livia biar gak dipecat kuliah disini. Pikirin gimana caranya kita ganti lap top itu!”
“Lo aja yang gantiin laptop dia. Ogah gue ngurusin cewek nyebelin itu. Sudah jelas Livia ngintip kita. Malah kita disuruh ganti laptopnya. Ogah gue…! Meli cemberut.
*
Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Livia gak ke kampus. Biasanya ia sibuk mengurusi penjualan online sebagai reseller baju muslimah dan hijab.
Bu Hartini, Ibu kosnya yang sudah berumur enam puluhan sedang memangkas tanaman pagarnya di halaman rumah. Livia menghampirinya.
“Sini, Bu. Biar Via yang mangkasin.”
“Lho. Kamu gak ngurusin jualan online mu?” Bu Hartini heran. “Biasanya Sabtu kamu sibuk karena banyak pesanan.”
“Laptop saya rusak, Bu. Makanya bingung ini gak bisa jualan.” Livia sedih. “Sudah Bu. biar Via bantu mangkasin tanamannya.”
“Ya sudah kalo kamu mau bantuin. Ibu mau nyapu di dalam. Eh, itu mawar jangan dipangkas juga ya. Cukup tanaman pagar aja yang dipangkas.”
“Iya, Bu.” Livia menerima gunting tanaman dari Bu Hartini. Ia lalu memangkas tanaman pagar berdaun rimbun. Bu Hartini lalu masuk rumah.
Livia sibuk memangkas tanaman.
BRRRMMM! Ada seorang lelaki berjaket jins naik motor. Lelaki itu mengenakan helm sehingga wajahnya tak terlihat. Lelaki itu memelankan motornya memperhatikan beberapa nomer rumah didekat rumah ibu kos. Sepertinya ia mencari nomer rumah tertentu.
Livia kaget kala mengenali sosok itu. Ia hapal tubuh kekar itu. Livia yang masih memangkas tanaman sampe gak sadar sudah bergeser ke kiri. TRRAAPP! Gunting tanaman di tangan Livia memotong batang mawar.
“Lho? Bunga mawarnya kok dipangkas?!” Suara Bu Hartini terdengar.
“Maaf, Bu. Gak sengaja.” Livia jadi gak enak hati.
Lalu motor itu mendekat ke rumah kos Livia. Lelaki di motor melepas helmnya.
“Ngapain kamu kemari?!” Sambut Livia dengan jutek.
BERSAMBUNG…..
Lanjutin gak nih ceritanya? Kalau berkenan kasih LIKE, VOTE dan KOMEN di cerita ini ya. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Muhammad Iqbal
cerita anak kampus.... hm bagus... penulisan 👍👍👍👍👍👍👍👍.
2023-02-04
0
weny
waduh kiki 😂
2021-05-20
0
CebReT SeMeDi
ya awoh kiki ngakak w mah apalgi ma ira wkwkwk
2021-04-19
0