Kiki dan irawan menoleh. Terperanjat mendengar ucapan Livia. Mereka menatap Livia yang menerima telpon sambil berurai air mata.
“Hu hu hu hu…. Ibu sakit apa, Pak? Astagfirullah. Ibu pingsan?” Livia mendengarkan suara di seberang. “Iya, Pak. Iya…”
Melihat Via berlinang air mata, Kiki buru-buru menyikut Ira. “Kasih tisu, Ra. Tuh si Via nangis bombay.”
“Tisu Kiki mana?”
“Habis. Tadi gue pake lap habis boker.”
Ira memeriksa tasnya dan ternyata masih punya tisu. “Tersisa selembar tisu ini dalam hidupku, eh di dalam tas eike.”
Ira menyodorkan selembar tisu ke Livia. “Pakailah the last tissue ini untuk penghapus derita, penghapus air mata yeiy Livia cintaku sayangku.”
Livia menerima tisu dari Irawan dan mengelap air matanya. Tapi karena ar matanya banyak. Tisu selembar itu pun langsung basah.
“Aih tisu selembar pun basah basah basah sekujur tisu. Ah ah ah, tisunya habis.” Irawan niruin lagu dangdut ‘Mandi Madu’.
Livia masih nangis sesenggukan sambil nerima telpon. “Iya, Pak. Ini Via langsung pulang ke kos beresin baju.” Mendengarkan lagi suara di seberang. “Bapak jemput Via di rumah kos?” Nada suara Livia rada heran. “Iya, Pak. Bapak tunggu aja disana.”
Livia menutup pembicaraan.
“Kenapa, Via? Ibu lo sakit apaan?” Kiki tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Gak jelas juga sih. Tadi itu Pak Salman, bapak tiri gue yang telpon. Katanya ibu gue pingsan habis pulang dari bantu masak di hajatan tetangga. Jatuh terantuk di teras sampe kepalanya berdarah. Ini Ibu gue masih gak sadar sampe sekarang.”
Livia mencoba menelpon nomer hand phone ibunya. Ternyata tidak aktif.
"Nomer hape Ibu gue juga gak bisa dihubungi!'
“Ya iyalah Cyinn. kan ibu yeiy pingsan.”
“Gue mau pulang dulu ke Cirebon deh. Khawatir gue. Takutnya ibu gue kenapa-napa.”
“Jadi lo gak masuk kuliah Pak Ismail?” Tanya Kiki.
“Ya terpaksa enggak.”
“Kalo gak ada kuliah Pak Ismail sih gue anterin lo balik ke kosan pake motor.”
“Gak usah, Ki. Biar gue naik angkot. Udah ya. Gue mau beresin baju dulu di tempat kos, terus ke Cirebon.”
Livia pun pergi buru-buru. Kiki dan Ira menatap Livia pergi dengan haru.
Bergegas Livia jalan kaki ke depan kampus. Ia terus menyeberang jalan. menuju halte di dekat kampus menunggu angkot. Sambil jalan Livia kembali nangis.
BRRMMM! Sebuah motor mendekati Livia. Motor itu memelankan lajunya di samping Livia.
“Kenapa lo nangis?”
Livia menoleh. Ternyata Norman di atas motornya.
“Gak. Gak ada apa-apa.” Sahut Livia pendek.
“Lah, Cuma ditanya kenapa nangis gak mau jawab.” Norman heran. “Lo mau kemana?” Ia tahu Livia berjalan kaki menuju halte di depannya.
“Pulang ke rumah kos.” Livia akhirnya menjawab.
“Gue anter aja kalo gitu.” Norman menghentikan motornya di samping Livia. “Ayo, naik…!”
Livia menimbang-nimbang, tak langsung mengiyakan tawaran itu.
“Udah, naik. Lo kayaknya benci banget sama gue, sampe diantar pulang aja gak mau!” Mata lelaki itu menatap tajam Livia. Ekspresi sedih sehabis menangis jelas kelihatan di wajah Livia. “Mata lo sampe bengkak kebanyakan nangis. Lo lagi ada masalah?”
Livia diam saja. Ngapain lo tau urusan gue, batin Livia.
“Ditanya diam aja!” Norman jadi jutek. “Udah, naik. Lo pasti lagi ada masalah berat. Biar gue anter lo ke rumah kos!”
Mata lelaki di depannya menatap lurus wajah Livia. Ah, Livia baru sadar mata Norman tajam dan alis mata lelaki ini lebat. Tapi ada ketulusan di mata itu saat menatap Livia.
“Naiklah....” Norman memelankan suara. Menunjuk ke arah boncengan motornya.
Akhirnya Livia naik ke boncengan motor Norman. BRRRRMMM! Motor Norman kembali melaju. Namun tidak kencang. Mungkin karena Norman tau Livia sedang sedih.
Siang itu lalu lintas di sekitar kampus macet. Sambil mengendarai motornya Norman bertanya.
“Lo mestinya masih ada kuliah kan? Kenapa lo pulang?”
Tak enak hati sudah diantar, Livia pun menjawab pertanyaan Norman. “Ibu gue pingsani. Kepalanya berdarah. Ini gue mau pulang ke Cirebon nengokin.”
“Lo mau naik apa ke Cirebon?”
“Entar dijemput sama bapak tiri gue di rumah kos. Dia yang tadi ngabarin ibu gue pingsan.”
“Aneh? Kalo dia yang ngabarin? Kok sekarang dia bisa jemput lo di Jakarta?”
DEEGG! Livia baru mikir. Tadi ia sangat sedih sehingga tak berpikir jernih. “Mungkin bapak tiri gue lagi ada urusan di Jakarta. Dia dikabarin tetangga gue di Cirebon juga kali.”
Norman tak bertanya lagi.
Sepuluh menit kemudian motor Norman tiba di rumah kos Livia.
Di depan rumah ada sebuah mobil Avanza terparkir berplat E tanda kendaraan asal Cirebon. Mobil itu masih mulus dan baru. Heran Livia melihatnya. Bapak tirinya punya mobil baru. Padahal ibunya kemarin mengabarkan sudah tak sanggup membiayai kuliah Livia.
Livia tau Bapak tirinya sering menghabiskan harta almarhum ayahnya. Dan kini lelaki pengangguran itu punya mobil baru!
“Lo jangan pergi dulu. Gue curiga ama bapak tiri gue.” Livia berbisik kala turun dari motor Norman.
Alis mata kanan Norman menaik. “Kenapa?”
“Gue gak bisa bilang sekarang.” Livia menyahut pendek. “Tolong nomer hand phone lo. Entar Gue kabarin kalo ada apa-apa. Asli gue takut ama bapak tiri gue ini. Dulu dia pernah masuk penjara.”
DEEGG! Norman kaget juga melihat jelas kecemasan di wajah Livia. Segera Norman menyebutkan nomer hand phonenya. Livia menyimpan nomer itu di hapenya.
“Gue miss call ke nomer lo. Tolong save nomer gue.” Livia melakukan miss call ke hand phone Norman. Lelaki itu segera menyimpan nomer hape Livia.
Keluar dari mobil yang terpakir, Pak Salman, seorang lelaki berumur sekitar 45 tahunan. Penampilannya cukup rapi dan tampan. Norman mengamati lelaki itu yang Iangsung tersenyum melihat Livia.
Kenapa lelaki itu santai saja dan senang melihat Livia muncul? Tak terlihat raut sedih di wajah lelaki itu. Padahal istrinya sedang sakit dan tak sadarkan diri di Cirebon. Syak wasangka bermain di kepala Norman.
Lelaki itu bicara dengan Livia. Intinya harus buru-buru ke Cirebon saat ini juga. Livia mengangguk meski setengah bingung.
“Kamu ngapain masih disini?” Lelaki itu menatap Norman. “Livia mau pulang ke Cirebon sama saya!” Suaranya ketus.
“Oke, saya pamit dulu Livia. Mari, Pak.” Norman mengangguk ke Bapak tiri Livia.
Wajah Livia agak cemas kala melihat Norman pergi.
*
Sepuluh menit kemudian Livia sudah berada di dalam mobil Bapak tirinya.
“Bapak kan lagi di jakarta? Terus siapa yang ngasih tau Ibu sakit di Cirebon, Pak?” Livia sebenarnya sungkan bicara ke Bapak tirinya. Tapi ia penasaran ingin tau.
“Pak Surip.” Lelaki itu menyebut nama tetangga Livia.
DEEGG! Livia kaget.
Livia tau Pak Surip sudah meninggal 3 hari lalu karena Ninis, seorang teman akrabnya di Cirebon adalah anak Pak Surip. Dan Ninis anaknya Pak Surip mengabarkan itu kala 3 hari lalu menelpon Livia.
Semakin curiga Livia kala mobil yang dikendarai Bapak tirinya tidak masuk jalan tol yang mengarah luar kota. “Kita kok gak masuk tol, Pak?”
“Mau ambil uang di ATM sebentar.” Pak Salman menyahut.
Mobil lalu berhenti di depan sebuah ruko yang rada sepi. Livia heran karena tak melihat ada tanda ATM di dekat situ.
Tiba-tiba Pak Salman mengambil sebuah sapu tangan dari tas yang dibawanya. Dibekapkannya sapu tangan itu ke wajah Livia dengan kuat. Livia kaget. Ia meronta namun kalah kuat dari lelaki itu.
Ada bau aneh menyengat di sapu tangan itu yang membuat Livia hilang kesadaran. Kepalanya sangat pusing. Perlahan-lahan tubuh Livia pun lemas Gadis itu terkapar tak sadarkan diri di dalam mobil!
BERSAMBUNG…..
Happy reading. Silakan kasih LIKE, VOTE dan KOMEN jika berkenan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Livia Cirebon nya Dimana..???aq dari MAJALENGKA..
2021-06-11
0
ALMOZA KITA
normaaann slametin livia
2021-04-23
0
CebReT SeMeDi
bapak tiri g ada akhlak banda bpknya dihabisin anaknya mau dijual pasti
2021-04-19
0