Andrew bangun dengan kepala sedikit pengar karena jetlag. Sepuluh jam penerbangan cukup menguras tenaga. Apalagi ia belum cukup beristirahat di Moskow.
Setelah meregangkan tubuh, Andrew bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia mandi dan berganti pakaian dengan cepat lalu berjalan menuju pintu kamar. Ruangan itu cukup luas dengan satu lemari besar yang berada di antara dua ranjang queen size.
“Mau ke mana?” gumam Clark dengan mata setengah terpejam. Pemuda itu masih bergulung di atas ranjangnya. Pengaruh alkohol yang diminumnya semalam membuatnya seperti baru saja terjun bebas dari luar angkasa.
“Mencari makan,” jawab Andrew singkat sebelum menutup daun pintu.
Clark melirik jam dindin sekilas dan berdecak dengan malas. Masih ada waktu tiga jam untuk tidur. Ia benar-benar butuh tidur. Setelah ini mungkin ia tidak akan bisa menikmati tidurnya dengan tenang sampai misi di negeri matahari terbit ini selesai.
Andrew mengedarkan pandangan pada bangunan bergaya klasik yang ditempatinya itu dengan penuh minat. Semuanya terlihat indah dan sempurna. Mulai dari warna, arsitektur, hingga ornamen-ornamen tradisional yang menghiasi lemari kaca. Ia baru tahu EEL menyiapkan fasilitas berupa rumah singgah semenarik ini di Nagoya. Di negara lain, biasanya ia akan ditempatkan di hotel atau salah satu fasilitas militer.
Ia membuka lemari pendingin, mencari sesuatu yang bisa dimakan atau setidaknya bisa mengganjal perutnya sebentar. Tadi malam ia hanya sempat minum segelas wine dan sekarang lambungnya memberontak minta diisi. Matanya memicing ketika melihat aneka frozen food di freezer dan beberapa jenis daging beku.
Tatapan Andrew terpaku pada sebuah kemasan makanan cepat saji. Entah mengapa sebungkus dumpling ayam itu menarik minatnya. Sepertinya ia pernah melihat benda itu di suatu tempat. Pria itu meraih bungkus makanan itu dan membaca petunjuknya dengan teliti.
“Hanya perlu dikukus,” gumam Andrew sambil menimbang-nimbang.
“Sepertinya enak,” ujarnya lagi seraya membuka bungkusan itu.
Dua tahun bergabung dalam militer sebelum memutuskan untuk menjadi anggota EEL membuat Andrew terbiasa melayani dirinya sendiri. Untuk ukuran seorang laki-laki, ia cukup cekatan di dapur. Memanaskan makanan beku dan membuat secangkir kopi bukanlah perkara yang sulit. Tidak sampai setengah jam kemudian harum daging kukus yang lezat bercampur dengan harum kopi yang cukup tajam menguar dari dapur, berarak hingga ruang tamu dan kamar tidur.
Clark mengerjap pelan ketika hidungnya menangkap aroma yang menggugah selera itu. Ia berguling cepat dari atas kasur hingga terjungkal di atas lantai karena salah satu kakinya terlilit selimut.
“Sial!” umpat pemuda itu sambil melompat-lompat keluar kamar. Meski matanya masih sedikit terpejam, ia tahu dengan persis harus mencari sumber makanan itu.
Andrew sedang serius mempelajari berkas yang baru saja dikirim oleh Jovanka lewat sinyal yang memantulkan hologram di tengah ruangan. Meski Jovanka sedang berada di rumah singgah yang lain, ia seperti sedang berhadapan langsung dengan wanita itu.
Dari penjelasan Jovanka, Andrew mengetahui jika pria Jepang yang mereka eksekusi di hotel Radisson kemarin hanya salah satu anak buah yang diutus untuk mewakili bosnya. Sang mafia yang sesungguhnya masih berada di negara ini, sedang mempersiapkan sesuatu untuk melakukan serangan balasan. Itulah sebabnya Mr. X, begitu nama panggilan pimpinan tertinggi EEL, meminta Jovanka dan tim penyerang di Moskow kemarin datang ke sini untuk menuntaskan misi.
“Apa yang kau lakukan?” desis Andrew ketika sudut matanya menangkap gerakan Clark yang hendak mengambil kudapannya di atas meja.
Clark menyeringai lebar dan mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan.
“Aku lapar. Aroma makanan ini membuatku tidak bisa tidur lagi,” jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
Andrew melotot dan menepis tangan sahabatnya dengan keras. Ia mengabaikan Clark yang mengaduh sambil meniup jari-jarinya yang menghantam ujung meja.
Clark mengerucutkan bibir dan menggerutu, “Pelit sekali. Aku hanya ingin meminta sedikit.”
“Pergi!” usir Andrew sambil meraih mangkuk dumpling miliknya yang masih tersisa separuh.
“Benar-benar menjengkelkan,” omel Clark sebelum berbalik dan mencari sarapan untuk dirinya sendiri.
Andrew mematikan pemancar hologram miliknya dan menghabiskan sisa dumpling di piring. Aneh. Meski baru pertama kali mencicip makanan itu, terasa sangat cocok dengan lidahnya. Pria itu meneguk habis kopi pahit miliknya dan membersihkan peralatan bekas makan.
“Kamu mau pergi?” tanya Clark ketika melihat sahabatnya mengambil jas abu-abu yang tersampir di atas kursi.
“Hum,” jawab Andrew sambil memakai sepatu pantofelnya.
“Ke mana? Aku ikut! Tunggu sebentar!” seru Clark kemudian berusaha menenggak habis teh hijau yang baru saja dibuat olehnya.
“Aw! Panas!” pekiknya lagi ketika cairan yang masih panas itu membakar lidah dan bibirnya.
“Dasar bodoh!” gerutu Andrew melihat tingkah temannya itu, “Aku hanya ingin melihat-lihat sebentar.”
Ketika memanaskan dumpling tadi, Andrew sudah mencari tahu di Google mengenai museum terdekat yang berada di sekitar rumah singgahnya. Furukawa adalah yang paling dekat, hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki.
“Aku akan berada di museum Furukawa kalau kamu ingin menyusul,” ujar Andrew sambil berjalan keluar.
“Baik! Aku akan datang!” teriak Clark dengan bersemangat.
Ia mengembalikan semua perabotan ke tempat semula, tidak jadi memanaskan dumpling seperti Andrew.
“Aku akan membeli makanan di pinggir jalan saja,” gumamnya seraya berlari ke kamar mandi.
Sementara itu, Andrew berjalan perlahan di antara orang-orang yang berlalu-lalang, menikmati setiap momen menenangkan yang ada sebelum semua adrenalinnya terpacu saat melakukan tugas. Baginya, dua hingga tiga jam yang diberikan pada anggota tim untuk beristirahat sebelum memulai misi baru adalah golden time. Ia bisa berkeliling dan melihat-lihat di museum seni terdekat. Minatnya pada seni tidak pernah hilang.
Melangkah di antara bangunan-bangunan tinggi, bersisian dengan orang-orang asing yang belum pernah ia temui sebelumnya membuat Andrew merasa bebas dan tenang. Tidak ada tekanan dari ayahnya, tidak ada gangguan dari Alfred atau pun Cecille, bahkan pimpinannya di EEL sekali pun.
Ketika pria itu menoleh untuk menikmati keindahan daun-daun berwarna merah dan oranye di seberang jalan, manik hitamnya menangkap siluet sosok yang belum pernah ditemuinya, tapi juga seolah sangat dikenalnya seumur hidup.
Dalam balutan blouse putih dan jeans denim, gadis itu menerobos kerumunan orang-orang dengan cepat, sesekali menyelipkan anak rambutnya yang berantakan ke balik telinga. Melangkah di antara daun yang berguguran, gadis itu terlihat seperti … seperti ….
“Kinara Lee?” gumam Andrew tanpa sadar. Ia mengerjap beberapa kali dan kembali memfokuskan pandangan pada ….
“Di mana dia?”
Andrew mengedarkan pandangan dengan linglung. Gadis itu tidak terlihat lagi. Setengah berlari ia mengejar ke depan sambil terus menatap ke seberang jalan, tapi gadis itu benar-benar telah menghilang. Atau … mungkinkah ia hanya berhalusinasi?
Andrew terpaku di tengah jalan hampir selama dua menit hingga beberapa pejalan kaki menatapnya dengan kening berkerut.
Bum!
Bum!
Bum!
Perlahan tangan Andrew terangkat untuk menekan dadanya yang seakan hampir meledak. Sepertinya saraf-saraf dalam tempurung kepalanya kacau, mengirimkan sinyal dan potongan-potongan informasi dengan acak hingga membuatnya kesulitan bernapas.
Kinara Lee ….
***
Tinggalkan like dan komen yg banyak yaa biar makin semangat update-nya😍😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Mimilngemil
kesukaan Kinara Lee
2023-10-16
0
Rasikha Qotrun Nada Nada
jdi GK sabar menunggu mereka saling tatap,,,
2022-03-17
0
Ayuna
mudah2n endingnya bahagia yah...menegangkan
2022-02-01
0