"Hey! Aku pikir kamu sudah sampai!" seru Clark sambil menepuk pundak Andrew cukup keras, membuat sahabatnya itu terkesiap dan berbalik cepat ke arahnya.
"Aku melihatnya ...," ucap Andrew dengan suara hampir tak terdengar. Tatapannya tidak fokus, kembali memindai manusia-manusia yang melintas di seberang jalan.
"Siapa?" tanya Clark seraya menengok ke kanan dan kiri. Namun, tidak ada seorang pun yang dikenal olehnya atau pun Andrew.
"Gadis itu ... dia ... dia seperti peri musim gugur yang muncul dari dalam lukisa ...."
Jawaban Andrew membuat Clark ikut mencari dalam kerumunan manusia di hadapannya. Ia sudah melihat wajah gadis itu selama bertahun-tahun, sejak Andrew mulai mengabadikan setiap mimpi dan penglihatannya dalam sebuah kanvas. Jadi, Clark merasa bisa mengenali gadis itu jika memang benar dia ada di sini sekarang. Akan tetapi, tidak ada satu orang pun yang terlihat seperti gadis itu.
Clark menggoyangkan tangan di depan wajah Andrew yang masih sedikit linglung, lalu menjentikkan jarinya untuk menarik perhatian pria itu.
"Tidak ada siapa-siapa, Drew," ucapnya lirih.
"Tadi ada. Aku melihatnya," balas Andrew. Ia tetap tidak merasa salah mengenali orang.
"Buddy, aku rasa itu hanya pengaruh jetlag. Ayo, kalau kamu tidak ingin menghabiskan waktu istirahat di trotoar ini, sebaiknya kita bergegas kalau kamu masih ingin ke sana," ujar Clark sambil menunjuk ke arah gedung museum yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter di hadapan mereka.
Andrew menarik napas panjang dan mengusap wajahnya perlahan. Clark benar, ia hanya akan membuang-buang waktu jika tetap berada di sini. Akhirnya ka melangkah di sisi Clark, meski sesekali masih mencoba mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hey!" teriak Clark ketika melihat Andrew ingin menyeberang meski lampu lalu lintas untuk pejalan kaki masih berwarna merah.
"Kamu ingin mati?" desisnya lagi dengan mata melotot, "Apa yang kamu pikirkan?"
"Oh ... sorry," gumam Andrew pelan, "Aku tidak melihatnya."
"Kenapa kamu tiba-tiba jadi ceroboh seperti ini?" seru Clark seraya menahan lengan Andrew agar tidak terpisah darinya.
"Lepaskan!" desis Andrew seraya menarik tangannya hingga lepas dari cekalan Clark.
Ia mendelik ketika melihat sahabatnya itu mengulurkan tangan ke arahnya lagi. Hal itu membuat Clark mengurungkan niatnya meskipun dengan hati yang sedikit kesal.
"Diam di situ," perintah Clark sambil beringsut ke depan, berjaga-jaga kalau Andrew kembali melamun.
Ketika lampu akhirnya berubah hijau, Clark lebih dulu berjalan di depan. Sesekali ia menoleh untuk memastikan Andrew tidan tertinggal atau terdistraksi lagi. Ia benar-benar khawatir melihat keadaan sahabatnya itu. Mereka sudah seperti saudara.
Lebih muda satu tahun membuat Clark menganggap Andrew adalah kakak kandungnya sendiri. Sama-sama terlahir sebagai anak tunggal membuat mereka lebih mudah beradaptasi satu sama lain. Selain itu, Clark memang sudah menjadikan Andrew sebagai panutannya sejak mereka pertama kali bertemu di pesta Thanksgiving yang diadakan oleh keluarga Roux di Paris.
Ada terlalu banyak hal yang telah mereka lalui bersama. Mungkin itu pula alasan mengapa Clark mengikuti Andrew yang memutuskan untuk bergabung dengan EEL. Ia tetap memaksa mendaftarkan diri meski Andrew mati-matian mencegah niatnya itu. Walau kadang bersikap sedikit menyebalkan, Andrew selalu membela dan melindunginya sejak kecil.
Jadi, jika sesuatu terjadi pada Andrew, mungkin Clark adalah satu-satunya orang yang paling merasa kehilangan. Begitu pun sebaliknya. Meskipun Andrew selalu bersikap cuek dan dingin, Clark tahu sahabatnya itu akan selalu melindunginya dengan sangat baik.
Tiba-tiba Andrew berhenti melangkah dan menarik tangan Clark yang masih berjalan di depannya sambil berseru, "Awas! Perhatikan langkahmu, Bocah!"
"Apa yang kau pikirkan?" seru Andrew ketika melihat Clark masih mematung.
Pria yang memakai sweater biru dongker itu menatap tak percaya pada pilar besar yang hampir ditabraknya kalau Andrew tidak menghentikannya tepat waktu. Clark menatap benda itu dan Andrew bergantian. Bisa-bisanya ia pun melakukan hal bodoh seperti itu setelah memarahi Andrew tadi. Sungguh memalukan ....
"Aku sedang memikirkanmu," ujar Clark dengan ekspresi serba salah, sedikit kedal melirik pada Andrew yang sedang mengulum senyum dan menatapnya dengan sorot mengejek.
"Apa maksudmu?" tanya Andrew dengan kening mengernyit.
"Sudahlah, lupakan. Ayo, masuk."
Clark mengabaikan tatapan keheranan dari sahabatnya dan berjalan menuju loket untuk memindai barcode tiket masuk dengan ponselnya. Andrew melakukan hal yang sama, lalu mengambil brosur museum seni yang tersedia sebelum menyusul Clark.
Mereka berdua berjalan bersisian menuju museum seni yang cukup terkenal di Jepang itu. Sebenarnya Clark tidak memiliki minat terhadap seni sama sekali. Namun, ia pun enggan berjauhan dengan Andrew. Oleh karena itulah ia selalu mengikuti sahabatnya itu ke museum atau tempat kesenian yang lain meskipun tidak terlalu menyukainya.
"Pulanglah kalau kamu bosan," tegur Andrew ketika menangkap basah Clark yang sedang menguap, "Kamu bisa tidur di rumah singgah, kenapa harus terus membuntutiku?"
"Mana bisa?" balas Clark dengan enteng, "Aku bisa mati kesepian kalau tidak ada kamu."
"Menjijikkan. Menjauhlah dariku! Orang-orang bisa salah paham dan mengira kita adalah pasangan kekasih," desis Andrew seraya berjalan cepat ke lorong sebelah kanan.
Clark terbahak sampai hampir menangis. Untunglah siang itu tidak ada banyak pengunjung sehingga tidak ada yang memarahinya karena membuat kegaduhan.
"Hey! Tunggu aku!" teriaknya dengan nada suara yang tidak terlalu keras ketika menyadari Andrew sudah tidak ada di tempat semula.
Ia segera berlari menyusul ke tempat Andrew berbelok tadi, tapi pria itu sudah tidak terlihat lagi. Beberapa saat lamanya Clark menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari sosok sahabatnya. Namun, ia hanya melihat sepasang turis Asia yang sedang melihat beberapa pajangan dengan ekspresi serius.
"Sial!" umpat Clark pelan, "Kenapa jalannya cepat sekali? Aku mengkhawatirkannya, tapi dia justru meninggalkanku seperti ini. Benar-benar kejam."
Clark tidak tahu kalau Andrew telah naik ke lantai dua. Setelah berbelok tadi, ia kembali memilih arah kanan dan menemukan sebuah lift di sana. Tanpa mengulur waktu, ia segera masuk dan menekan angka dua. Berada terlalu lama di dekat Clark bisa membuatnya sakit kepala.
Setelah pintu lift berdenting dan terbuka, Andrew melangkah keluar dan berjalan menuju deretan patung-patung berbentuk kepala manusia dalam sebuah aula yang cukup luas. Ruangan itu terlihat sepi. Mungkin karena ia berkunjung di jam kerja sehingga tempat itu tidak terlalu ramai. Atau, mungkin juga karena minat orang-orang pada hal-hal semacam ini sudah semakin berkurang.
Ia mengangkat brosur di tangannya dan mencocokannya dengan patung-patung yang ada. Pria itu cukup merasa terkesan karena dalam kemajuan teknologi yang sudah sangat canggih seperti sekarang, museum Furukawa masih mempertahankan cara lama yang terkesan "kuno".
Suara dering ponsel yang cukup keras dari balik tubuhnya membuat Andrew berbalik dengan cepat. Ia hendak membuka mulut untuk menegur pemilik ponsel itu. Akan tetapi, lidahnya mendadak kelu. Bagaimana bisa ia marah jika mata bulat seperti kelinci yang polos dan lugu itu menatap ke arahnya dengan sorot penuh permohonan maaf.
"Sumimasen.1"
Gadis itu memegang ponselnya di depan dada dan sedikit membungkuk hingga rambutnya yang tergerai berhamburan ke depan.
Brosur di tangan Andrew terlepas dan merosot ke lantai. Pria itu terlalu terkejut dan gugup untuk berbicara. Ia bahkan terlalu takut untuk berkedip.
Andrew khawatir jika ia memejamkan mata meski hanya selama sepersekian detik, gadis di hadapannya itu akan menghilang dan kembali masuk ke dalam lukisan.
***
Note:
Sumimasen\= maaf (Jepang)
***
makasih banyak untuk yang udah kasih tips😍😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Mimilngemil
akhirnya 😍
2023-10-16
1
Mimilngemil
😆😄😅
2023-10-16
0
Rasikha Qotrun Nada Nada
gimna ya seaksi keiko,,,
2022-03-17
0