Andrew menghela napas pelan, misinya belum bisa dikatakan berhasil. Sekarang ia harus segera keluar dari tempat ini. Sama cepatnya ketika merakit senjata tadi, pemuda itu melepas semua bagian senjata dan memasukkannya ke tempat semula. Ia mengeluarkan ransel hitam dari dalam koper, membuka benda itu dan mengambil sepasang kaos dan celana jeans, juga sebuah kaca mata hitam.
Melepas alat peredam.
Mematikan alat pengacak sinyal.
“Ugh!” erangnya ketika membuka topeng tipis yang membuat wajahnya terlihat seperti seorang kakek tua.
Dengan cepat dan hati-hati, pria itu melepas rambut palsu dan setelan kunonya, lalu memasukkannya ke dalam koper. Ia melepaskan sarung tangan dan menggabungkan benda-benda itu dengan peralatan yang lain.
Dalam sekejap ia terlihat seperti orang yang berbeda setelah berganti kostum. Setelah yakin semuanya sudah beres, ia merapikan kaos hijau army dan celana jeans belel yang. Ia mematut diri di depan cermin dan menyugar rambutnya asal-asalan.
“Perfect,” gumamnya sambil menyeringai puas.
Sambil memanggul ransel, ia menyemprotkan sebuah cairan bening pada gagang pintu dan sisi jendela untuk memastikan tidak ada sidik jarinya yang tertinggal. Ia baru saja menyimpan kembali botol spray ke dalam tas ketika suara ketukan terdengar dari depan pintu kamarnya.
“Room service!”
“Sebentar,” jawab Andrew seraya memindai ponselnya ke pintu.
Seorang pemuda mendorong meja prasmanan masuk, lalu mengangguk sekilas pada Andrew.
“Anda harus keluar sekarang, Kapten,” ujarnya.
“Bawa barang-barang ini keluar, Eric,” balas Andrew seraya meletakkan tas biola dan kopernya di bagian tengah meja yang kosong, “Temui aku di lobby utama secepatnya..”
“Siap, Capt,” balas pemuda berambut pirang itu seraya membetulkan kain putih yang menutupi meja dorongnya.
“Jangan cemas. Bersikaplah seperti pelayan hotel,” ujar Andrew ketika melihat tangan rekannya sedikit gemetar.
Ia bisa merasakan Eric merasa sedikit gugup. Wajar, pemuda itu baru bergabung dengan anggotanya beberapa bulan lalu. Ini adalah misi pertamanya.
“Oke, Capt. Sampai jumpa,” balas pemuda itu.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Eric kembali keluar dan mendorong troli ke bagian pembersihan hotel. Di sana sudah ada rekannya yang akan membawa barang bukti itu keluar dengan aman. Tugasnya hanya meletakkan meja di tempat yang seharusnya, lalu berganti pakaian dan keluar.
Lima menit setelah Eric pergi, Andrew membuka pintu kamarnya dan menyusup ke lorong, berbaur dengan puluhan pengunjung lainnya. Ia sedikit menahan napas ketika mendengar keributan dari depan lift.
Rupanya anak buah para mafia itu bergerak dengan cukup cepat. Memang Radisson Hotel akan menjadi tempat pertama yang dicurigai karena dari sini hampir seluruh kota Moskow terlihat dengan jelas.
Andrew mengangkat dagunya dan berjalan dengan tenang menuju lift, menerobos beberapa pria berpakaian formal dengan tato yang menyembul dari balik kerah baju. Sepertinya mereka adalah orang-orang suruhan pria Jepang yang baru saja dihabisi olehnya. Ia menekan tombol lantai dasar dan menatap lurus ke depan, menunggu hingga terdengar bunyi berdenting dan pintu lift terbuka.
Di lobby utama, ada lebih banyak pria-pria bersetelan serba hitam yang merangsek masuk sembari berteriak dalam bahasa Rusia. Para tamu menyingkir sembari berbisik-bisik, sedangkan petugas hotel berusaha menahan orang-orang itu menerobos masuk. Sedikit kacau, tapi sepertinya masih cukup terkendali. Setidaknya, tidak ada pertumpahan darah atau melibatkan senjata api.
Sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, Andrew berjalan menghampiri Eric yang telah mengganti seragam pelayannya dengan kaos oblong dan celana jogging. Pemuda itu tampak bersandar pada salah satu pilar sambil memerhatikan orang-orang yang berlarian di sekitarnya.
Andrew menepuk pundak rekannya dan berkata, “Ayo, jalan.”
Eric mengangguk dan segera menjajari langkah Andrew. “Tom bilang akan menunggu di—“
“Hei!”
Langkah Andrew dan Eric tertahan ketika tiba-tiba dua orang pria berjas Armani menghadang langkah mereka. Mereka terlihat sangat mengintimidasi, menatap Andrew dan Eric dengan sorot menyelidik.
“Apakah kalian tamu di hotel ini?” tanya pria yang bertubuh lebih besar dari rekannya.
“Kami?” balas Andrew, “Tentu saja kami adalah tamu di sini.”
“Kamar nomor berapa?”
Andrew mengedarkan pandangan dan menyadari orang-orang bersetelan hitam itu melakukan hal yang sama pada tamu hotel yang lain.
Ia menghela napas pelan dan menjawab, “Maaf, siapa Anda? Ada keperluan apa menanyai kamar kami?”
“Kau hanya perlu menjawabnya saja,” ujar pria jangkung dengan kumis tipis sambil melipat tangan di depan dada.
Andrew mendengkus pelan dan menatap Eric dengan sorot penuh arti.
“Bagaimana kalau kamu langsung berikan saja akses ke kamar kita pada mereka?” ujarnya sambil mengedipkan mata.
“Oh … tentu saja. Dengan senang hati,” balas Eric.
Pemuda itu melakukan gerakan seolah-olah hendak mengambil sesuatu dalam tasnya. Namun, secepat kilat ia memutar cincin platinum di jari tengahnya dan menekan bulatan biru yang terlihat seperti mata cincin.
Boom!
Boom!
Boom!
Tiga ledakan berturut-turut membuat semua orang panik. Para tamu hotel berhamburan keluar, berdesakan dan berlarian menuju pintu. Andrew segera memanfaatkan situasi itu. Dengan cepat ia menyerang ulu hati si pria bongsor dan melayangkan pukulan pada pangkal tenggorokan si jangkung hingga dua orang itu terjerembab ke belakang. Tanpa menunggu lama, ia segera menarik tangan Eric dan berlari menjauh.
“Hei! Hei, berhenti!” teriak dua orang yang menghadang mereka tadi, tapi tubuh mereka terhimpit di antara tamu yang berdesakan.
“Hentikan dua orang itu!”
Andrew masih sedikit mendengar suara teriakan si Bongsor pada rekan-rekannya sebelum ia berhasil melewati pintu.
“Cepat!” seru Andrew pada Eric yang beberapa kali menoleh ke belakang.
“Sial. Di mana Tom?” tanya Eric dengan panik ketika belum melihat temannya di posisi yang seharusnya.
“Ayo!” teriak Andrew.
Ia kembali menarik dan menyeret anak buahnya menjauh. Untuk saat ini, tetap menunggu di depan hotel bukanlah hal yang bijak. Untunglah ia sudah memberi instruksi untuk memasang alat peledak berkekuatan ringan untuk mengalihkan perhatian jika mereka berada dalam situasi terdesak. Bom-bom mini itu dipasang di ruang peralatan dan laundry yang jarang dipakai. Ia cukup yakin bahwa tidak ada korban jiwa dalam ledakan tadi.
Dua orang pemuda itu menyusup di antara tamu hotel yang masih panik dan mencoba menemukan lokasi ledakan. Andrew mengabaikan suara-suara dan percakapan penuh spekulasi yang berdengung di sekitarnya. Ia terus berlari di depan, ke arah gedung-gedung yang berjajar di sisi kanan Hotel Radisson. Eric mengikuti di belakangnya dengan napas tersengal.
Tin!
Tin!
Tiiin ….
Suara klakson yang keras menarik perhatian Andrew dan Eric. Serempak mereka menoleh ke belakang dan mengembuskan napas lega ketika melihat Tom yang melambai dari dalam mobil sport merah. Mobil itu berhenti tepat di samping Andrew, kemudian pintunya otomatis terbuka.
“Jalan!” perintah Andrew setelah ia dan Eric duduk di kursi penumpang.
“Kenapa lama sekali?” gerutu Eric dengan wajah memucat. Jantungnya hampir ikut meledak tadi.
“Sorry, GPS-ku tidak berfungsi,” jawab Tom sambil mengangkat tangan kirinya.
Andrew mengacuhkan percakapan mereka. Berhasil lolos dari kejaran mafia Rusia tadi sudah lebih dari cukup. Ia menoleh sekilas pada keramaian di belakang sana. Puluhan mobil sedan hitam dan range rover mulai memenuhi halaman hotel Radisson dan jalanan kota. Suara teriakan dan gumaman tidak jelas perlahan memudar dari gendang telinganya ketika mobil yang ia tumpangi semakin menjauh. Pemuda itu mengambil ponsel dari saku celana dan mengirim pesan singkat.
Mission completed.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Mimilngemil
menegangkan
2023-10-16
0
🍃❄️ WAHYUNINGTIYAS❄️🍃
sniper 😍
2022-02-07
0
Ayuna
lawannya sekarang lebih kejam....yakuza😎
2022-02-01
1