Mobil yang dikendarai Andrew memasuki halaman hotel. Pemuda itu memarkir mobil dan dan keluar dengan tergesa. Clark berusaha mengimbangi kecepatan sahabatnya dengan berlari kecil di belakangnya. Mereka berdua berjalan menuju lift yang berada di dekat pintu masuk. Keadaan sekitar cukup sepi, hanya ada beberapa petugas hotel dan security yang berpapasan dengan mereka. Andrew menekan angka 15 dan berdiri dengan tenang ketika lift bergerak naik.
“Ada apa dengan wajahmu? Kenapa terus ditekuk seperti itu?” tanya Clark ketika menyadari sahabatnya terlihat sedikit tidak fokus.
Andrew hanya melirik sekilas, kemudian kembali menatap ke depan. Ia sedang tidak berminat menanggapi kekonyolan Clark. Saat ini, ia hanya ingin menghindar sejauh mungkin dari ayahnya.
“Aku hanya bercanda soal pacar khayalanmu tadi, jangan marah padaku. Oke? Aku janji tidak akan menyuruhmu tidur dengan siapa pun lagi. Bahkan kalau kamu tidak menikah seumur hidup, aku tidak akan mengomentarinya sama sekali,” celoteh Clark sambil menggerak-gerakkan tangannya di udara.
Andrew hanya bisa menghela napas panjang dan memijit keningnya yang mendadak terasa pening. Ia menggertakkan gigi dan menggeram. Namun, hal itu sama sekali tidak menghalangi niat Clark untuk terus menggoda sahabatnya itu. Pengaruh alkohol membuatnya seolah mendapat keberanian ekstra.
"Sebenarnya, Jovanka cukup seksi. Kau tahu ... kalau aku yang--"
“Tutup mulutmu!” serunya dengan nada mengancam.
Clark menutup mulut dengan kedua tangannya secara refleks, tetapi hanya bertahan sebentar. Detik selanjutnya, pemuda itu kembali membuka mulut dan memberondong Andrew dengan ocahan-ocehannya yang tidak masuk akal, membuat Andrew sangat ingin mencekik pemuda itu dan membenturkan kepalanya ke tembok. Akan tetapi, ia hanya bisa memendam semua keinginan itu karena tahu sahabatnya sedang dalam pengaruh minuman di club tadi. Ya ... Clark memang menjadi 100 kali lebih menjengkelkan jika sedang mabuk.
“Apa kamu yakin bisa menemukannya? Maksudku ... gadis itu ... di dunia yang begini luas, apakah kalian—“
“Demi Tuhan, Clark ... aku akan menyumpal mulutmu dengan sepatu kalau kamu tidak bisa diam,” geram Andrew sambil menatap sahabatnya dengan nyalang.
Tanpa diingatkan pun ia sudah cukup pesimis dan frustasi. Ia sendiri selalu bertanya-tanya dalam hati, apakah gadis itu benar ada? Atau hanya bagian dari khayalannya ... delusi, seperti kata ayahnya.
“Aku minta maaf, seharusnya aku tidak mengatakan hal itu,” ujar Clark sambil menunduk, persis seperti seorang bocah yang melakukan kesalahan.
Andrew membuka mulut, hendak membalas ucapan Clark. Namun, bersamaan dengan itu lift berdenting dan terbuka. Semua kalimat yang ingin ia ucapkan pada sahabatnya itu menguap entah ke mana, berganti dengan keterkejutan yang membuatnya membeku sejenak.
“Alfred?” gumamnya, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi atau salah mengenali orang.
“Anak Muda,” balas Alfred seraya menekan tombol agar pintu lift tidak tertutup, “Mr. Roux sudah menunggumu.”
Andrew mendongak, menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat. Ia menghadap dinding besi, mengepalkan tinju dan menghantam benda itu beberapa kali sebelum akhirnya merapikan kemejanya dan berjalan keluar.
“Pergi dan bersiaplah. Aku akan segera menyusul,” ujarnya ketika melihat Clark akan mengikutinya. Ia tahu, akan terjadi perdebatan panjang dan melelahkan.
Clark menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian berjalan mendahului sahabatnya sambil menggerutu. Ia tetap pergi meski kesal, sungguh tidak ingin terjebak dalam drama keluarga yang sudah dilihatnya sejak kecil.
Sementara itu, Andrew berjalan mengikuti si Tua Alfred dengan rahang mengeras. Otaknya sibuk mencari cara agar bisa melarikan diri lagi kali ini. Namun, jika ayahnya masih tetap memaksanya untuk pulang dan mengurus bisnis keluarga, mungkin ia akan menarik pistol dan menembak kepalanya sendiri.
“Silakan, Anak Muda,” ujar Alfred seraya membukakan pintu kamar untuk Andrew.
Pemuda itu menatap Alfred dan daun pintu bergantian, matanya memicing dan memancarkan sorot yang bercampur antara terkejut, kesal, dan penuh keluhan. Ia tahu dua orang tua itu sengaja memesan kamar tepat di sebelah kamarnya untuk memamerkan kemampuan mereka, dan tentu saja ... untuk membuatnya merasa terintimidasi.
Huh. Dasar rubah tua licik, gerutu Andrew dalam hati sebelum melangkah masuk.
Marco Roux bersandar pada sofa di dekat jendela sambil berpangku kaki. Matanya yang sedikit terpejam terlihat malas, persis seperti rubah tua yang licik dalam benak putranya. Rambut hitamnya yang biasanya rapi terlihat sedikit berantakan, membuat helai-helai putih keperakan tersembul di beberapa bagian. Tubuhnya yang dulu atletis dan membuat gentar, sekarang terlihat lebih berisi dengan tumpukan lemak di perut dan lengan.
Melihat penampilan ayahnya itu membuat Andrew menelan kembali semua keluhannya dan duduk dengan patuh di hadapan pria itu.
“Apa kabar, Ayah?” tanyanya sambil melonggarkan dasi yang mendadak terasa mencekik lehernya.
Marco mencebik dan menggerutu, “Masih berani menanyakan kabarku, anak kurang ajar ... apakah kamu akan menunggu sampai aku mati baru kamu akan datang mengunjungi jasadku?”
Andrew hanya terdiam dan membalas tatapan ayahnya dalam diam. Memangnya apalagi yang bisa ia katakan. Ayahnya tidak akan menerima alasan apa pun.
“Kenapa diam saja? Katakan sesuatu!” hardik Marco dengan tidak sabar.
Andrew menghela napas dan menyugar rambutnya pelan. Nada suaranya terdengar sangat lelah ketika bertanya, “Apa yang Ayah ingin aku katakan?”
“Kamu?!”
“Aku terlalu lelah untuk berdebat. Katakan saja apa yang Ayah inginkan,” gumam Andrew sambil menunduk, dengan tidak sabar menatap jam di pergelangan tangannya yang terus berputar. Waktunya hanya tersisa setengah jam lagi.
Marco melemparkan kartu kamar hotel dengan nomor yang berbeda sambil berkata, “Cecille menunggumu. Urusan pernikahan kalian bisa diurus kemudian. Gadis itu setuju. Pergilah. Beri aku keturunan sebelum aku mati.”
Kedua tangan Andrew yang bertaut di atas lutut terkepal erat. Ia sungguh tidak menyangka ayahnya akan bertindak sejauh ini. Ia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi ini benar-benar sudah keterlaluan. Pemuda itu menatap ayahnya tanpa gentar sedikit pun.
“Aku tidak punya waktu untuk semua omong kosong ini, Mr. Roux. Ada tugas yang harus aku selesaikan,” ucap pemuda itu dengan penekanan pada tiap katanya.
“Ingat janjimu, Anak Muda,” ujar Marco tak kalah keras kepala, “Aku sudah memberimu waktu selama sepuluh tahun. Sekarang saatnya kamu menepati janjimu. Cecille sudah bersabar denganmu begini lama, apalagi yang kau tunggu?”
“Aku akan menepatinya, Ayah ... tapi tidak dengan cara seperti ini,” balas Andrew sembari melihat arlojinya lagi, “Dan lagi, aku tidak pernah memintanya untuk menunggu.”
Ia bangun dan berpamitan, “Maaf, waktuku sudah habis. Aku janji akan segera kembali ke Paris setelah misi kali ini selesai. Kita bisa membicarakannya lagi nanti.”
“Andrew!” teriak Marco, mencoba menahan putranya.
“Maafkan aku, Ayah” kata Andrew sambil membungkuk dalam-dalam sebelum berjalan menuju pintu.
Andrew berjalan cepat ke dalam kamarnya, mengambil koper yang tersimpan daIam lemari, memeriksa barang-barang lain di kamar mandi, lalu melangkah keluar. Ia mengeluarkan ponsel khusus anggota EEL dan mengirim pesan untuk Clark.
Temui aku di tempat parkir.
Ia benar-benar harus segera melarikan diri dari ayahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Mimilngemil
Bapak mu itu 😅
2023-10-16
0
Mimilngemil
😅
muncul juga Alfred, dah dibuang ke tong sampah padahal HP nya
2023-10-16
0
Mimilngemil
Clark = Billy
😆
2023-10-16
0