Andrew masih bergelantungan dengan kepala di bawah sambil melakukan sit up ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Keningnya mengernyit. Seingatnya, tidak ada satu orang pun keluarga atau kenalannya yang mengetahui keberadaannya di kota Dinan, kecuali Clark, sahabatnya yang paling mengerti kegilaannya. Apakah pemuda sinting itu datang berkunjung?
“Tunggu sebentar!” teriak Andrew seraya berputar dan bertumpu pada titian, kemudian melompat dan mendarat di atas lantai.
Ia meraih handuk kecil untuk mengeringkan keringat di leher dan wajahnya sebelum berjalan menuju ruang depan. Lagi-lagi keningnya berkerut dalam ketika menyadari siapa yang berdiri di depan pintunya. Jelas orang itu bukan Clark, tapi si Tua Alfred, begitu Andrew memanggil pria yang sekarang sedang berdiri di terasnya. Pria tua itu adalah tangan kanan Marco Roux, ayahnya.
Alfred telah bekerja untuk Marco selama hampir seumur hidupnya. Da ikut mengurus Andrew sejak pemuda itu masih bayi. Pria tua dengan rambut keperakan yang tipis itu sepertinya menyadari Andrew sedang menatapnya melalui lubang kunci. Dia melambaikan tangan seraya menyeringai lebar.
Andrew memutar anak kunci dan menarik gagang pintu hingga sedikit terbuka.
“Alfred? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Andrew tanpa melebarkan celah di pintu.
Alfred membuka topinya dan menerobos masuk, mengabaikan tatapan tajam dari Andrew yang sedang menahan lengan di daun pintu untuk menghalanginya.
“Hemat tenagamu,” ujar Alfred seraya berjalan menuju ruang tamu.
Pria tua itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, memeriksa dengan tatapan menilai pada setiap perabot dan ornamen yang berada dalam bangunan bergaya Tudor itu. Kemudian, ketika pandangannya tertuju pada sebuah lukisan gadis bergaun putih dengan latar belakang langit senja yang menempel di dekat perapian, ia menoleh pada Andrew dengan mata memicing.
“Masih mendatangimu dalam mimpi?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Seingatnya, terakhir kali pemuda di hadapannya itu membuat pengakuan bahwa dia sudah tidak mengalami penglihatan-penglihatan aneh itu lagi.
Andrew mendengkus dan pergi ke pantry untuk mengambil air minum. “Bukan urusanmu,” gerutunya.
Kehadiran Alfred biasanya merupakan sebuah sinyal akan terjadinya sesuatu yang tidak ia sukai. Ayahnya pasti mengutus pria tua itu untuk melakukan sesuatu. Memaksanya kembali ke Paris, misalnya. Kota itu terlalu ramai dan bising. Andrew tidak suka kekacauan semacam itu. Apalagi dengan tekanan untuk melanjutkan usaha keluarga yang sudah dilakukan turun temurun. Benar-benar membosankan.
“Bagaimana kamu bisa menemukanku?” tanya Andrew dengan raut wajah kesal. Ia benar-benar merasa tidak bisa hidup dengan tenang.
Alfred terkekeh pelan sebelum menjawab, “Kamu sungguh berpikir bisa melarikan diri atau bersembunyi dari ayahmu, Anak Muda? Dia hanya sengaja membiarkanmu bersenang-senang sebentar.”
“Rubah tua itu benar-benar tidak mau melepaskanku, ya?” gerutu Andrew kemudian mendongak dan meminum air dalam gelasnya.
“Siapa yang kau sebut rubah tua?! Anak kurang ajar!”
“Puffft!”
Air dalam mulut Andrew menyembur ketika mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya itu. Ia menyeka air yang menetes di dagu dan dadanya. Dengan gugup ia meletakkan gelas ke atas meja, lalu menoleh ke pintu.
“Ayah?!” serunya dengan mata melotot. Ia sama sekali tidak menyangka pria itu datang sendiri untuk mencarinya. Kalau sampai seperti ini, berarti ada sesuatu yang sangat serius akan terjadi.
“Kenapa tidak bilang kalau ayahku juga datang? Kamu sengaja ingin menjebakku, ya?” tuduh Andrew sambil menatap Alfred dengan mata menyipit. Kalau tahu akan sekacau ini, ia lebih memilih untuk melarikan diri lewat jendela ketika mendengar suara ketukan di pintu tadi.
“Memangnya kenapa kalau aku juga datang? Kamu ingin kabur lewat jendela? Atau cerobong asap?” tanya Marco Roux dengan sarkastik, membuat Andrew mendadak bungkam.
Sama seperti Alfred tadi, Marco pun mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan tatapan menilai. Namun, ketika irisnya yang kelabu menemukan potret seorang gadis di dekat perapian, ia bersikap seolah-olah tidak melihatnya dan memilih untuk mengalihkan pandangan.
“Aku memberikanmu kehidupan yang layak, tempat tinggal yang nyaman dan semua akses yang memudahkan hidupmu. Tapi lihat ... kamu malah lebih suka bersembunyi di tempat terpencil ini seperti tikus got!” gerutunya tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya.
Andrew mendengkus dan memutar bola matanya dengan kesal. Perdebatan tanpa ujung bersama ayahnya akan segera dimulai.
“Anda sama sekali tidak memberi kemudahan dalam kehidupanku, Mr. Roux. Anda hanya ingin terus mengurung dan mengekangku, memaksaku melakukan apa yang Anda inginkan ... sesuatu yang jelas-jelas aku tidak suka,” tukas Andrew sambil bersedekap. Ia membalas tatapan ayahnya yang tajam tanpa berkedip sedikit pun.
“Kamu semakin kurang ajar! Berani membantahku!” kecam Marco setelah berhasil mengendalikan dirinya.
“Ayah ....” Andrew mendesah pelan dan menyugar rambutnya. “Aku sama sekali tidak ingin membantahmu, tapi cobalah mengerti ... aku sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan perusahaan milik keluarga. Aku menyukai seni dan—“
“Marquess of Alrico baru saja menemuiku kemarin,” sela Marco tanpa memedulikan raut wajah putranya yang menggelap, “Kamu ingat Cecille? Putri bungsu sang Marquess ... dia sudah setuju untuk bertunangan denganmu. Kamu tahu, dengan pernikahan kalian nantinya, Phoenix.Co akan mampu melebarkan sayapnya ke seluruh Eropa. Hasil kerja kerasku dan kakekmu akan diakui oleh dunia. Apakah alasan itu tidak cukup untuk membuatmu menjadi anak yang patuh dan membuatku bangga?”
“Usiaku baru 21 tahun, Ayah. Aku tidak tertarik untuk menikah di usia muda,” jawab Andrew pelan, mati-matian berusahan menahan gejolak amarah yang menggelegak dalam dadanya.
Entah mengapa, semua ini terasa seperti deja vu. Adegan yang terjadi sekarang seolah pernah ia alami sebelumnya. Mungkinkah di kehidupan sebelumnya? Kesalahan yang berakibat fatal ....
Insting Andrew memberontak dengan liar. Sepertinya waktu itu ia melakukan kesalahan dengan menerima perjodohan sialan itu, tapi sekarang ... ia akan melawan dan menolak semua ini dengan sekuat tenaga.
Marco menatap putranya dengan tatapan mengintimidasi. Ia bersandar di sofa sambil berpangku kaki, memikirkan kalimat ancaman yang mungkin akan membuat putranya luluh.
Namun, pada akhirnya ia hanya bisa menghela napas pelan dan berkata, “Aku menikahi ibumu pada saat berusia dua puluh tahun. Kamu lahir dua tahun kemudian. Saat itu, bisnis keluarga yang diwariskan oleh kakekmu berkembang lima kali lipat. Tapi sekarang ... kamu bahkan tidak tertarik sedikit pun pada apa yang sudah aku bangun dengan susah payah.”
Andrew mengacak rambutnya dengan kasar ketika melihat raut wajah ayahnya yang berubah sendu dan seolah kehilangan harapan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras. Ia tidak pernah bisa melihat ayahnya sedih atau kecewa. Salah satu alasan mengapa ia selalu melarikan diri dari pria itu adalah karena ia tidak sanggup melihat ekspresi kesedihan ayahnya ketika mendengar penolakan darinya berkali-kali.
“Beri aku waktu sepuluh tahun, oke?” tawar Andrew, “Izinkan aku melakukan apa yang aku inginkan. Nanti, jika setelah sepuluh tahun aku masih belum bisa membuktikan bahwa aku mampu sukses dengan kemampuanku sendiri, maka aku akan pulang dan menuruti semua keinginan Ayah. Deal?”
Mendung di wajah Marco perlahan sirna, berganti dengan seringai penuh kepuasan dan kemenangan. Ia menoleh pada Alfred dan bertanya, “Kamu merekam itu semua, Buddy? Ha ... ha ... ha ... sudah kukatakan, aku akan memenangkannya!”
Andrew menatap ayahnya dan Alfred bergantian. Lalu, ketika ia melihat Alfred merogoh dompetnya dan mengeluarkan lembaran Euro dengan sedikit tidak rela, pemuda itu sadar ia baru saja masuk ke dalam perangkap ayahnya sendiri!
“Kalian menjadikan aku sebagai taruhan?” desisnya dengan penuh rasa tidak percaya.
Alfred mengangkat bahunya dan berkata, “Sorry, Boy ....”
Meski begitu, ekspresinya benar-benar terlihat datar dan acuh tak acuh. Sementara Marco Roux masih terbahak karena berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Satu kali saja aku mengetahui bahwa kalian berdua melacak keberadaanku atau memantau apa yang aku lakukan, maka perjanjian ini batal!” seru Andrew dengan kesal sebelum berjalan menuju kamar dan membanting pintu sekuat tenaga.
Lagi-lagi ia dikelabui oleh ayahnya! Benar-benar sial!
***
Terima kasih banyak utk kalian semua yg sudah mampir🥰😍😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Quennara
selalu seru walaupun sudah baca ulang...
2023-07-27
2
Tina
Aq setuju banget dengan pendapat ddsworld thor .👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
pokoknya " is the best " deh thor.
2023-01-10
1
Tina
Kaciaaaannn si Andrew di kacangin ayahnya hahahahaha...🤣🤣🤣🤣🤣sakit perut aq , konyol sih ayah andrew tuh.
2023-01-10
1