Moskow, Oktober 2131.
Gedung-gedung indah menjulang tinggi, berderet rapi di sepanjang kelokan sungai Moskva. Radisson Collection Hotel adalah salah satu dari bangunan paling megah di antara yang lain. Dengan gaya kekaisaran Stalinis, gedung hotel itu terlihat seperti sebuah kastil dari abad pertengahan, megah dan dominan.
Sebagai salah satu bagian dari Seven Sisters--tujuh bangunan pencakar langit di Moskow yang memiliki kemiripan arsitektur--hotel Radisson menjadi tempat paling aman karena memiliki security sistem dengan level maksimum, sekaligus paling berbahaya karena siapa pun bisa masuk ke sana.
Semua orang dari berbagai belahan dunia berpapasan di tiap lorong-lorong yang tak pernah sepi. Beragam ras dan suku bangsa, berbeda warna kulit dan bahasa, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Setiap orang memiliki tujuan dan motivasi yang berbeda di tempat itu. Ada yang sekedar berlibur, mencari kesenangan sementara dari hiruk-pikuk dunia yang membuat pengar, melakukan transaksi terlarang, atau menjalankan misi rahasia.
Andrew menarik ujung topinya untuk menutupi wajah ketika berjalan di bawah kamera CCTV. Memang saat ini ia memakai rambut palsu berwarna perak dengan setelan merah burgundy yang tampak sangat kolot dan ketinggalan zaman, tapi berjaga dan mencegah wajahnya dikenali oleh mesin pendeteksi lebih baik daripada ia harus kesulitan mencari tempat persembunyian ketika semua tidak berjalan sesuai rencananya. Sebuah tas biola di punggungnya tidak terlalu mencolok, begitu pun koper cokelat yang dibawanya di tangan kiri.
Pria itu berjalan tertatih menuju lift, lalu berdiri dengan tenang hingga kotak besi itu membawanya ke lantai 31. Kerutan di wajahnya semakin berlipat ketika ia mencoba untuk tersenyum pada gadis kecil yang menatapnya sejak memasuki lift.
“Semoga harimu menyenangkan,” ujarnya seraya melambai ketika gadis kecil itu lebih dulu keluar bersama kedua orang tuanya.
“Bye,” balas gadis kecil itu sambil menyeringai lebar.
Satu per satu penumpang lift turun, hingga hanya tersisa Andrew dan dua orang pria berkacamata yang membawa koper hitam dalam kotak besi itu. Ketika akhirnya angka 31 berkedip sebelum pintu lift terbuka, Andrew mengangguk sekilas sebelum melangkah keluar. Ia membetulkan gagang kacamatanya, lalu berbelok ke kanan dan berjalan menuju kamar paling ujung, di dekat pintu dengan tulisan "Exit” berwarna hijau.
Andrew memindai barcode di ponselnya pada mesin di depan pintu hingga layarnya berubah menjadi hijau. Pintu itu bergerak secara otomatis dan terbuka lebar. Ia menarik kopernya ke dalam, lalu menutup pintu dan menekan tombol kunci. Dengan tidak terlalu terburu-buru, ia membuka koper dan memasukkan tangannya, mencari sebuah kotak kecil hitam yang berada di bagian depan.
Bip.
Suara mesin pengacak sinyal dan pemindai alat perekam mulai bekerja. Andrew mengangkat tangan kanannya, seakan hendak menggaruk pelipisnya. Namun, dengan sangat cepat ibu jarinya menekan bulatan kecil di bagian dalam gagang kacamata. Layar kacamatanya seketika berubah menjadi monitor mini, menunjukkan grafik dan blue print kamar hotelnya dengan cepat.
Clear.
Tulisan itu terpantul dari layar kacamatanya, membentuk hologram yang mengambang di tengah ruangan. Andrew mengembuskan napas lega, memakai sarung tangan hitam dan mulai melakukan aksinya.
Andrew meletakkan tas biolanya ke atas ranjang, lalu membongkar benda itu. Ia menarik resleting hingga ke pangkal, lalu mencongkel bagian dalamnya. Dengan sangat cepat dan cekatan, pemuda itu mengambil potongan-potongan besi yang menempel di kerangka tas dan merakitnya bersama beberapa komponen yang menempel di alat musik gesek itu.
Dalam sekejap, sebuah senapan laras panjang dengan peredam berdiri kokoh di atas lantai. Senjata itu adalah turunan dari SVLK-14S jenis terbaru dengan peluru hipersonik yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menembus baja dengan ketebalan 15 sentimeter. Tanpa sadar Andrew menyeringai tipis ketika melihat lambang keluarganya berada di gagang senjata.
Ya, bisnis di bidang persenjataan itulah yang sangat ingin diwariskan oleh ayahnya padanya. Sayangnya, meskipun ia mati-matian menolak untuk mengelola “bisnis keluarga” itu, bidang pekerjaannya yang sekarang membuatnya tetap “bersentuhan” dengan hasil produksi Phoenix.Co, salah satu anak perusahaan ayahnya. Dan, secara aneh ia ikut merasa bangga karena senapan itu bisa menembus pasar senjata di Rusia.
Suara gemerisik dari alat komunikasi mengalihkan perhatian Andrew.
“Aku sudah di posisi,” ujarnya setelah menekan bulatan kecil di sisi kiri jam tangannya.
“Mr. Romanox sudah memasuki ruangan VIP di lantai 28. Lihat ke jendela.”
“Copy that.”
Andrew memutuskan saluran komunikasi. Ia menempelkan busa peredam di pintu dan tembok. Setelah yakin tidak ada yang terlewat, pria itu bergegas membawa senjatanya menuju jendela dan sedikit menyibak gorden untuk mengeluarkan moncong senjata. Ia membidik ke arah utara, pada sebuah bangunan sejauh hampir 10 kilometer di seberang sungai Moskva. Matanya memicing di balik alat bidik. Ia memutar diafragma, mengatur cahaya yang masuk agar bisa melihat targetnya dengan jelas.
Di sana. Kilatan cahaya yang memantul dari bangunan itu menarik perhatian Andrew. Ia bisa melihat dengan jelas Clark yang sedang memakai seragam pelayan berdiri di dekat jendela. Rekannya itu membuka nampan perak di atas meja dorong dan sengaja memegangnya di bawah cahaya matahari untuk mengirim sinyal. Andrew mengukur kecepatan dan arah angin dengan teliti, lalu menunggu hingga Clark menyingkir dari jangkauan tembaknya.
Jari telunjuk Andrew bersiaga ketika melihat Clark menutup kembali nampan dan mendorong meja prasmanan keluar dari ruangan itu. Mr. Rudolf Rumanox. Salah satu mafia kelas kakap yang menjadi incaran M16 dan CIA itu terlihat sedang terbahak bersama rekan bisnisnya. Pria bertubuh gempal dengan cambang yang mulai berubah menjadi putih itu terlihat sangat puas. Dia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi untuk bersulang dengan pria di depannya yang merupakan salah satu anggota geng mafia paling ditakuti di Jepang.
Geligi Andrew bergemelutuk karena menahan amarah. Entah sudah berapa ribu nyawa melayang karena pria-pria bedeb*h yang mencari keuntungan itu. Mereka tidak peduli berapa banyak orang menderita akibat perbuatan mereka karena yang mereka tahu hanya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menyelundupkan senjata-senjata ilegal untuk diperjualbelikan di Timur Tengah, Eropa, bahkan Amerika.
“Tertawalah selagi kau bisa, Tua Bangka,” gumam Andrew pelan.
Ia menarik napas dalam-dalam. Matanya tidak berkedip sedikit pun ketika jarinya menarik pelatuk dengan mantap.
Blup.
Dsing!
Dsing!
Peluru melesat cepat, menembus tempurung kepala dan menancap di tembok. Meski hanya menyaksikannya melalui alat bidik, Andrew bisa melihat dengan jelas gumpalan putih tercecer dari kepala dua orang kepala mafia itu. Para anak buahnya carut-marut, terlihat kebingungan dan mengacung-acungkan tangan mereka ke udara.
"Target down. Copy. Target Down."
***
sumber gambar: pinterest.
kalau suka tinggalkan likee dan komen yaaa, tengkyuu😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
khalifah nur
moga season 2 ini tk seperti season 1,mereka dari bertemu, nikah, dan saling suka, cinta, akhirnya maut pun yg memisahkan mereka. aduhhhh jangan sampai dehhh😊😊
2022-02-02
4
Ayuna
Kinara juga gak jauh beda dengan sebelumnya yg ingin jadi dokter...
keren visualnya😂...
2022-02-01
1
Ayuna
wow keren...dia jadi pembunuh bayaran kah?
2022-02-01
0