Zhilling merasa sedikit geram melihat pergerakan Zhang Xiuhan yang lamban. Laki-laki macam apa yang demikian lemahnya hingga untuk mencapai jarak lima meter saja membutuhkan waktu lebih dari lima belas menit.
“Akhirnyaaa… setelah beberapa hari perutku puasa.”
Zhang Xiuhan mengambil air menggunakan kedua tangannya dan meminumnya seperti orang kesurupan. Kelaparan yang menderanya membuatnya tak mau mengambil pusing tentang rasa air sungai Yangtze yang sedikit getar.
“Muridku… Bagaimana jika air yang Kau minum itu mengandung racun? Kau gegabah sekali…”
Zhilling bergumam setengah serius setengah menggoda.
“Guru, tolong jangan bercanda. Aku tak sedang meminum racun ‘kan?” Zhang Xiuhan memuntahkan air yang terakhir ia minum. Raut mukanya khawatir dan berkali-kali ia meludah untuk memuntahkan sisa-sisa air Sungai Yangtze.
“Guru, jangan diam saja. Katakan padaku yang sebenarnya.” Zhang Xiuhan mengguncang-guncangkan Pedang Naga Emas tak sabar. Ia sudah lelah jika harus didera kesakitan lagi.
“Muridku yang lemah… Beruntung sekali karena kali ini air yang Kau minum tak mengandung racun, ha ha ha.” Zhillin tertawa puas karena berhasil mengerjai Zhang Xiuhan.
“Guru… Tolong jangan bercanda berlebihan. Tidakkah Guru kasihan melihat kondisiku yang selalu apes akhir-akhir ini.” Zhang Xiuhan menatap Pedang Naga Emas dengan tatapan memelas. Jika ada manusia lain yang sedang melihatnya saat itu, tentu mereka akan mengira Zhang Xiuhan gila karena selalu berbicara dengan Pedang.
“Muridku yang lemah dan tidak pintar, camkan ini baik-baik… Ada banyak hal yang yang kita ketahui di dunia ini. Tapi hal-hal yang tidak kita ketahui sesungguhnya jauh lebih banyak.”
Zhilling untuk pertama kalinya memberi petuah dengan serius kepada Zhang Xiuhan.
“Guru, apakah di pulau ini ada sungai atau sumber mata air yang beracun?” Zhang Xiuhan bertanya lagi setelah beberapa kali ia membasuh wajahnya yang coreng moreng akan darah kering.
“Ya. Tentu saja. Aku tak ingin menjadikanmu murid yang bodoh. Cukup yakini saja bahwa ada beberapa sumber mata air yang beracun di Pulau ini. Bagaimana cara mengetahuinya, kupasrahkan padamu.”
Zhang Xiuhan menarik napas panjang. Ia mulai memahami karakter gurunya yang senang mengerjainya itu. Sepertinya Guru Lin telah melewati kesunyian dan kebosanan yang panjang sehingga bermain-main denganku merupakan hiburan yang menyenangkan, batin Zhang Xiuhan.
“Ya, Kau benar sekali aku telah didera kebosanan sampai muak sekali rasanya.” Zhillin menyahuti Zhang Xiuhan yang bahkan tidak mengucapkan kalimatnya lewat mulut.
“Guru, bagaimana caranya agar Guru tidak bisa membaca pikiranku? Jujur itu sangat mengganggu. Bagaimana jika nanti aku sedang berpikir tentang hal-hal yang tak pantas untuk diketahui guru. Atau berpikir tentang hal-hal yang memalukan?” Zhang Xiuhan mengangkat Pedang Naga Emas seperti seorang yang sedang menggendong bayi.
“Pada saatnya nanti Kau akan mengerti. Ya, tentu jika Kau memutuskan untuk berhenti menjadi bodoh. Dari angka 1 sampai 10, kunilai tingkat kebodohanmu saat ini berada di angka 9 lebih sedikit.”
Zhang Xiuhan diam tak menanggapi. Dia memang tak mengerti apa-apa soal dunia persilatan. Dia hanya pelayana istana yang baru direkrut belum genap seminggu. Sebelumnya, dia hidup bersama kakek dan neneknya sebagai petani Ganggang Merah di desa.
Mengenang kehidupannya sehari-hari, Zhang Xiuhan teringat kedua orang tuanya yang meninggal beberapa hari lalu. Dia merasa bersalah karena sempat lupa untuk menangisi kematian kedua orangtuanya. Waktu berjalan begitu cepat dan membuat arah hidupnya membelok tajam.
Zhang Xiuhan membasuh bekas darah di luka-luka sayatan di sekujur tubuhnya. Setiap kali tangannya menyentuh beberapa luka yang masih menganga, ia mengaduh merasakan perih. Lalu ia teringat lagi bagaimana orang tuanya mati. Jika sayatan kecil saja rasanya seperih itu, bagaimana dengan luka gorok di leher.
Zhang Xiuhan kembali merasa hatinya tak nyaman. Ia tak menyangka jika ayah dan ibunya harus mati dengan cara yang tidak menyenangkan.
Kalau Kau kuat dan berilmu tinggi, Kau tak perlu menghabisi nyawamu sendiri saat berada di keadaan yang terjepit. Larilah sejauh mungkin dan berjanjilah untuk menjadi semakin kuat!
Zhang Xiuhan mengenang kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya. Ia menggosok-gosok dengan kuat beberapa luka yang ada di tubuhnya. Seolah ingin menantang tubuhnya sendiri agar kuat menahan sakit. Ia seorang anak lelaki dari sepasang Pendekar. Bukankah tak layak jika mengeluh hanya karena luka-luka sayatan kecil.
“Kurasa sudah cukup dulu bersolekmu. Biar Kau mandi dan membasuh mukamu sepanjang hari, sedikit pun tak akan menambah ketampananmu, Murid lemahku.”
“Lalu apa yang harus murid lakukan sekarang, Guru?” Zhang Xiuhan sama sekali tak keberatan dipanggil murid lemah. Ia memiliki keyakinan, kelak gurunya itu akan mengakui kekuatannya.
“Kau harus melakukan latihan fisik. Terserah mau mulai dari apa, yang penting latihan yang akan membuat fisikmu semakin kuat.”
“Aku sangat handal dalam berenang. Bagaimana jika murid memulai dengan latihan berenang di sungai Yangtze ini?”
Zhang Xiuhan menjawab dengan semangat. Dalam hal ilmu bela diri dan pengetahuan tentang dunia persilatan, Gurunya boleh-boleh saja mengejek kemampuannya. Tapi dalam hal berenang, ia yakin akan segera mendapat pujian karena kemampuannya berenang jauh melebihi banyak anak remaja seusianya.
“Hem… sebenarnya tidak begitu kusarankan. Tapi, terserah Kau sajalah. Sebagai awalan, aku menantangmu berenang di kedalaman sungai Yangtze selama 30 menit tanpa muncul di permukaan. Bagaimana?”
Zhang Xiuhan merasa sangat bersemangat dengan tantangan gurunya. Jangankan 30 menit, satu jam tanpa muncul di permukaan saja dia bisa, Zhang Xiuhan membatin. Dengan segera, ia melompat ke dalam sungai dan mengambil posisi untuk berenang.
Lima menit pertama ia merasa sangat percaya diri akan mendapat pujian dari gurunya. Beberapa menit kemudian, ia baru menyadari ada sesuatu yang berbeda di Sungai Yangtze. Ia mendengar suara air yang tersibak begitu kencang di belakangnya. Zhang Xiuhan menoleh ke belakang dengan perasaan was-was dan penasaran.
Sama sekali di luar dugaannya, Sungai Yangtze dihuni oleh kawanan ikan kanibal sebesar telapak tangan orang dewasa. Ikan-ikan itu memiliki gigi seperti gergaji, mata mereka menonjol sehingga nampak sedikit mengerikan.
Zhang Xiuhan tahu bahwa kawanan ikan itu merupakan ikan kanibal karena struktur gigi mereka yang bergerigi dan nampak begitu tajam. Tanpa menunggu kebih lama, Zhang Xiuhan segera melesat menuju permukaan dan hendak ke luar sungai.
Sayang sekali, saat ia berusaha ke permukaan dan menepi, tubuhnya seolah ditekan dengan kuat untuk tetap berada di kedalaman sungai. Ia mulai mengumpat di dalam hati karena yakin itu pasti ulah Ruh Pedang, Zhillin.
Karena menyadari bahwa Gurunya merupakan perempuan yang keras kepala, ia yakin sekeras apa pun usahanya untuk menepi, pasti akan dihalang-halangi. Akhirnya, langkah terakhir pilihannya hanyalah memaksa dirinya berenang secepat mungkin.
Keapesan belum ingin pergi dari kehidupan Zhang Xiuhan. Setelah ia merasa berenang menjauh dari kawanan ikan kanibal, ia mendapati bahwa kawanan ikan kanibal lain sedang menghadangnya di depan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 391 Episodes
Comments
Reca
ini cerita awalan nya bagus tapi baru sampai chapter 4 alur nya mulai random, banyak memperpadukan kata2 berbau gaya kekinian dan alur ceritanya masih belum mengarah pada benang merah, yg harusnya bikin penasaran tapi malah membingungkan saat baca, belum keliatan greget nya dan mc belum keliatan menarik dan dari yg like di awal 10ribuan, sampai chapter 7 langsung merosot 7ribuan, pd hal rating nya lumayan bagus ... semoga chapter selanjutnya nya bakal ada perubahan dari alur cerita nya dan lebih seru saat dibaca
2024-08-07
1
katanya ngikutin cerita kak Ron ,alur ceritanya aja GK di pahami ,tulisan entah kurang sreeeg gitu
2023-02-22
1
Albertus Sinaga
latihan pernapasan dan kegesitan
2023-01-24
0