Pertemanan itu kerumitan.
Ferdi adalah teman sedaerahku yang berbeda sekolah menengah atas, dan bakatnya itu membuat perempuan menaruh perasaan kepadanya, setelahnya dia hanya mempermainkannya tanpa perasaan sedikitpun dihatinya, makanya, aku sudah tidak heran dengan berapa jumlah pacarnya disaat yang bersamaan. Tapi. Ada satu perempuan yang selalu dihatinya, entahlah, aku tidak mengerti alasan perempuan itu yang masih terus mencintainya, padahal sudah jutaan kali perasaannya disakiti oleh bakat temanku itu, dan inginku mencari jawabannya, kenapa perempuan itu memilih tetap bertahan, kemudian itu bukan hanya tentang bertahan tapi perasaanya yang terus disakiti. Tanaya Putri Amanda.
Terlalu bodoh atau terlalu percaya?
Diantaranya,
Setiap orang yang hadir didalam hidup kita, mereka pasti mengajarkan suatu hal entah itu disadari atau tidak oleh kita sendiri, tapi, apa yang kita dapatkan saat bertahan dan terus menerus disakiti, begitulah, rasanya kita tidak mendapatkan apapun selain memendam luka yang terus diperbarui tanpa sempat pulih. Melukai dirinya sendiri. Sebenarnya aku tidak mengenal Tanaya secara keseluruhan, atau lebih tepatnya aku hanya mengenalnya karena dikenalkan oleh temanku itu, aku tidak mengenalnya secara pribadi, dan ternyata, kita masih dalam satu almameter, walaupun memang kita berbeda jurusan, tapi, dia seringkali menanyakan seputar lingkungan kampus, atau lebih tepatnya, aku tidak pernah mengobrol dekat tentang hubungannya dengan temanku itu, serta hal lainnya yang berkaitan diluar kampus dengannya.
"Hai"
Seseorang menepuk pundakku, "Boleh aku duduk?"
Terkejut aku dibuatnya,
"Nik" ucapnya
Terdiam aku sejenak. Safira masih tersenyum dengan manisnya, kemudian dia mengikuti apa yang sedang kulakukan, akhirnya, kita duduk bersama sembari melihat orang yang berjalan melewati dengan cepatnya, dia menopang pipinya yang sikutnya berada diatas lututnya. Seperti kulihat biasanya. Apapun pakaian yang dikenakannya tidak mempengaruhi pesona kecantikannya, dan saat itu juga, aku merasakan perih dipinggir bibirku yang sedikit membengkak, luka seperti itu sudah kudapatkan terbiasa sejak aku yang masih kecil, padahal aku bukanlah orang yang menyelesaikan suatu permasalahan dengan perkelahian, tapi, didunia ini terkadang ada seseorang yang hanya bisa disadarkan oleh kekerasan terhadap dirinya. Itulah alasanku melakukan.
...Waktu bukanlah jawaban. Tapi. Waktu mengiringi kita menemukan jawaban...
Mengingatnya,
Kesalahanku hanyalah pengabaian. Ternyata aku tidak mempunyai waktu yang lama bersama dengannya, Vanila pergi meninggalkanku dengan banyak keinginan yang tidak bisa diwujudkan, harusnya aku memahami bahwa tidak satupun orang yang bisa mengendalikan waktu yang berjalan, sebenarnya, kitalah yang sudah dikendalikan oleh waktu tanpa disadari. Tujuan hidupku memudar. Semua yang kita jalani harus dengan kebijaksanaan serta keseimbangan, padahal, melakukan semuanya itu adalah hal yang sulit diterapkan, terkadang, apa yang menurut kita benar, tapi, disudut pandang orang lain kita bisa dianggap mereka salah, begitulah, tidak ada yang benar ataupun salah dalam hal tersebut, dikarenakan, kebenaran itu merupakan kumpulan sudut pandang yang menjadi satu kepaduan.
Dunia penuh tanya.
"Keur naon didieu?" ucap Safira
Aku menatap kedepan, "Aku suka keramaian, tapi, aku gak mau terlibat dikeramaian, aku cuman suka aja merhatiin orang - orang yang sibuk dikeramaian, terus pasti nanti ada waktunya mereka tiba - tiba ngerasa kesepian ditengah keramaian. Bagian itu sukanya"
Safira hanya terdiam,
"Setuju. Ada yang ketawa sama temennya, tapi, habis itu malah kelihatan sedih pas sendirian" ucap Safira, menatap kosong
"Aku" tambahnya
Aku mengalihkan perhatian,
"Bandung itu sempit. Kenapa aku sering ketemu sama kamu, padahal kayaknya aku udah menjauh dari kamu, tapi, kamu gak tahu darimana tiba - tiba dateng langsung nyapa terus sekarang disebelahku' ucapku, tersenyum simpul
"Main kurang jauh" ucap Safira
"Aku sendiri juga gak tahu kenapa, emang, sebelumnya aku ngerencanain buat ketemu sama kamu" ucap Safira
"Semua itu takdir" ucap Safira
"Iyo" ucapku
Safira menyentuh luka dipinggir bibirku dengan telunjuknya, kemudian menekannya secara perlahan yang membuat perih itu lebih jelas kurasakan, dan kulihat, seakan hidupnya itu dijalaninya tanpa dosa sedikitpun, padahal aku terhitung sebagai korban dari kejahatan yang sedang dilakukannya, terlebih, dia melakukannya dengan penuh senyuman kekejaman yang terlukis diwajahnya. Biarkan aku jelaskan. Sebenarnya kejahatan bukanlah sesuatu yang buruk, dan sudut pandang kitalah yang berperan penting dalam menentukannya, contohnya, mencuri hati atau perhatian yang artinya bertolak belakang disaat kita mengartikan kejahatan itu secara umum, maksudku, jahat atau buruknya seseorang itu ditentukan oleh bagaimana sudut pandangan kita dalam melihatnya.
Aku menahan perih,
Aku dan Ferdi. Kami memang sering berdebat dikarenakan paham yang bertolak belakang, seringkali, baku hantam terjadi agar memenangkan argumen kami masing - masing disaat sekolah menengah pertama, padahal, sekarang kami sudah beranjak dewasa yang seharusnya bijaksana dalam mempertimbangkan suatu keputusan, tapi, semuanya itu tidak berlaku bagi kami yang memang sudah mengenal dekat sejak masa pertumbuhan. Bertahun aku mengenalnya. Semenjak berada dibandung, aku sulit mengenal temanku itu yang setiap malamnya pergi kediskotik, bahkan, kabarnya dia terlibat dalam jaringan narkoba, dan aku cukup marah, karena dia kehilangan semua prinsip yang dulunya menggetarkan hatiku setiap aku mendengarnya, sekarang prinsip itu dilanggarnya yang menjadikan hidupnya tanpa aturan yang mengikatnya. Hidup dengan bebas.
Ferdi begitu liar.
Pertemanan selalu membenarkan. Aku ingin menjadi seorang musuhnya, aku bisa menyerangnya secara langsung tanpa keraguan, dan pertemanan itu membatasinya, seorang teman itu biasanya cenderung dalam menjaga perasaan, itulah yang membuat kita selalu melihat pembenaran karena terlalu sering diperlihatkan kelebihan. Tapi. Seorang musuh itu selalu melihatnya terbalik, mereka terbebas dari keraguan menyakiti perasaan, lalu, mereka pastinya akan menyalahkan sekecil apapun kekurangan lawannya yang bahkan tidak disadarinya, dan bagiku, aku lebih baik menjadi seorang musuhnya, daripada, aku yang terus melakukan pembenaran semua yang dilakukannya, terlebih, seharusnya aku mengatakan kejujuran bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Sekarang aku musuhnya.
...*********...
Tidak peduli besar ataupun kecilnya janji sebisa mungkin aku berusaha keras menepatinya, karena aku hanya ingin harapan itu mempunyai kepastian, dan agar orang lain tidak menahan sakitnya harapan yang palsu, serta, menghindarkan orang lain dari kekecewaan mendalam akibat sudah percaya oleh janjiku dihidupnya. Jarang aku berjanji. Aku lebih menyukai orang yang sulit berjanji, daripada, mereka yang dengan mudahnya dalam menebar janji kepada orang lain, karena sekali dia berjanji pasti akan berusaha menepatinya, dan perlu kalian tahu, janji itu bukan hanya sekedar materi, kemudian janji termasuk dalam hutang yang harusnya dibayarkan contohnya harapan dan tujuan serta lain sebagainya, semuanya itu adalah berbagai macam bentuk janji yang harusnya ditepati atau dibayarkan bagiku.
Disaat kuliah berakhir. Aku mengingat satu janji kecilku, dan langsung aku bergegas pergi menuju kekosannya, karena aku sudah berjanji saat bersamanya dan janjiku itu dipegang olehnya, janjiku itu berisi tentang aku yang akan datang saat dia bersedih, kemudian disaat perkuliahan hampir berakhir aku mendapatkan kabar, bahwa dia sedang bersedih yang memaksaku harus berpegang teguh kepada janjiku tersebut. Sampai didepan kamarnya. Aku mengetuk pintunya dengan lemah, karena sepanjang perjalanan aku mempercepat langkah kakiku, dan sedikit perasaan menyesal, padahal aku hanya bercanda saat mengucapkan janjiku, tapi, dia menatapku begitu seriusnya sampai aku tidak sempat menarik janjiku itu didepannya, terkadang, aku tidak mengerti kepada diriku sendiri yang berusaha menepati janjiku, padahal, menurut orang lain janjiku itu tidaklah harus ditepati atau dilupakan begitu saja.
"Kamu nepatin janji?" ucap Safira, menaikkan alisnya
Safira menatapku lekat, "Biasanya orang cuman asal ngomong, tapi, kamu orangnya itu kayak apapun pasti diusahain, padahal aku cuman bercanda minta kamu dateng kesini"
"Maaf" ucap Safira
Aku melihatnya datar,
"Percuma aku dateng. Kirain emang beneran sedih banget, sampai aku belum makan juga langsung kesini" ucapku, duduk lemas
"Capek?" ucap Safira
"Banget" ucapku
Safira berjalan keluar. Menunggu serta tidak melakukan apapun dan membuat orang lain menunggu adalah suatu hal yang aku benci, kecuali, orang yang menunggu atau ditunggu itu mempunyai kepastian, tapi, kebanyakan apa yang kita dapatkan hanyalah sekedar harapan palsu yang menyakitkan. Tercium bau masakan. Aku mendengar suara yang berasal didapur, kemudian aku berjalan keluar dari kamarnya dan menemukan dia sedang mengaduk nasi diwajan, ternyata dia membuatkan makanan untukku karena aku sempat mengeluh kelaparan, lalu, dia mematikan nyala api dikompornya, kemudian menyajikan nasi gorengnya itu dipiring yang ada dimeja, aroma nasi gorengnya itu wangi serta menggoda.
"Silahkan" ucap Safira
"Kamu gak makan?" ucapku
Safira menopang dagunya,
"Aku udah makan. Kamu tahu gak? Ini pertama kalinya aku masakin buat cowok" ucap Safira, tersenyum manis
"Kamu tahu gak?" ucapku
"Apa?" ucap Safira
"Ini pertama kalinya aku dimasakin cewek" ucapku
"Cobain" ucap Safira
"Iya" ucapku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Hendra Hermawan
0k
2021-09-24
1
lovetoon
suka , tp kurang dialoq thor .. terlalu banyak monolognya
2021-07-05
3
IM Lebelan
ini Aku nya sosok penyendiri dan pemerhati 😎
2021-04-05
1