Malam dihari sabtu,
Aku berdiri melihat pemandangan dijendela kamarku, dan sudah beberapa minggu aku menempati kosanku yang baru, tidak seperti kosanku yang selalu campur dengan perempuan serta laki - laki, sekarang kosanku itu dikhususkan untuk laki - laki yang menempatinya. Malam yang dingin. Angin yang kuat seringkali membuat gorden dijendelaku melayang, semua itu terjadi karena aku memang sengaja membiarkan angin masuk kekamarku dan terlebih kamarku yang terletak dilantai atas menciptakan suasana yang hening, semua penghuni kosku itu jarang kutemui, terkadang hanya aku seorang malahan yang berada dikos.
Dan,
Sekarang aku sendirian.
Menyedihkan.
Tidaklah perlu bertanya mengenai keadaan dijalanan, maupun, tempat lainnya dikota, karena pastinya dipenuhi oleh banyak orang yang ingin menghabiskan waktunya bersama seseorang diakhir pekan, terlebih orang itu memanglah yang spesial dalam hidupnya. Mungkin itu bahagia. Aku berjalan keluar dari kamarku serta membawa gelas yang terisi serbuk cokelat, dan mengisinya dengan air panas yang ada didispenser, lalu mengaduknya secara perlahan, kemudian ada seseorang yang mengetuk sekitar tiga kali pintu kosanku, aku meletakkan gelasku dimeja lalu berjalan menuruni tangga untuk membukakan pintu yang tidak kuketahui siapa yang mengetuknya. Aku mengeluarkan kunci yang ada disakuku.
Kubuka itu pintunya,
"Kamu" ucapku sedikit terkejut
Tubuhnya langsung menimpaku dan akupun menahan tubuhnya, kemudian membawanya kesofa ruang tamu lalu membaringkannya, aku mengambil minyak kayu putih kehidungnya agar perempuan itu terbangun dari pingsannya, lalu, aku kembali lagi kekamarku untuk mengambil selimutku. Aku merapikan rambutnya dan menyelipkannya dibelakang telinganya. Safira perlahan terbangun dari pingsannya, lalu, aku langsung menjauhkan tanganku dari wajah cantiknya itu, dan malahan perempuan itu tersenyum simpul, kemudian mengingat kondisinya yang begitu lemah serta maksud kedatangannya itu membuatku terdiam membisu. Aku meminum cokelatku tepat didepannya.
"Minta. Aku yang sakit. Dasar" ucap Safira
Aku tersenyum simpul dan mendekatkan gelasku kebibirnya, lalu menyerahkan ketangannya, "Aku lupa kamu emang suka cokelat"
"Semuanya itu buatku?" ucap Safira, tersenyum manis
Aku hanya diam,
"Kamu emang baik" gumamnya
"Makasih"
Awalnya terasa canggung sampai akhirnya dia menceritakan semuanya, dan sudah tiga hari dia memang belum sembuh, tapi, karena dia berada didekat kosanku lalu memutuskan untuk sekedar mengunjungiku, ditengah perjalanan dia merasa pusing yang ditahannya sembari mengetuk pintu kosanku. Safira menatap kosong. Aku tidak mengerti dengannya yang mengetahui dimana kosanku, sedangkan hanya satu orang temanku yang mengetahuinya, karena dia yang membantuku pindah, dan kutahu temanku itu tidak sekalipun mengenalnya, itulah yang membuatku dibingungkan oleh kedatangan perempuan cantik yang ada disampingku.
Lengannya terdapat goresan,
Berdarah.
Aku meneteskan obat luka kekapas lalu menempelkannya kelengannya, dan aku semakin bingung dengan semua yang terjadi, ada banyak hal yang tidak sesuai dengan ceritanya kepadaku, lagipula, dari awal aku memang sudah merasa dia membohongiku dengan cerita palsu. Safira menangis pelan, tapi, dengan cepat mengusapnya. Setidaknya aku bersyukur karena pernah menjadi petugas kesehatan tambahan, makanya, aku tidak panik ketika dihadapkan oleh seseoeang yang terluka atau pingsan secara kenyataan, bahkan aku bisa melakukan hal yang kubisa untuk sekedar memberinya pertolongan yang sederhana.
"Tanaya gimana kabarnya?" ucap Safira
Aku mengantarkan Safira dengan motor teman kosanku, dan beruntung teman kosanku itu pulang disaat aku kebingungan bagaimana mengantarkannya, Safira menempelkan kepalanya dipundakku selama perjalanan, lalu, sesampainya didepan kosannya dia malah terdiam. Aku menoleh kearahnya. Aku membantunya berjalan menuju kekamarnya dengan merangkul tangannya, setelahnya aku dimintanya untuk menemaninya dipinggir kasurnya, lalu, matanya itupun menutup dan aku memutuskan pulang, sembari melepaskan perlahan genggaman jemarinya ditanganku satu persatu, lalu, aku menutup pintu kaamarnya dengan pelan agar dia terjaga dalam mimpinya. Bulan yang indah.
Terangnya.
...*********...
Aku mengambil gitar temanku yang dititipkan kepadaku dipinggir kasurku, lalu, menyetemnya dua senar yang tidak sesuai nadanya, dan setelahnya kumainkan melodi petikan lagu, karena aku yang sudah terlalu lama tidak memainkan gitar dan kepekaanku terhadap nada berkurang drastis. Berhenti aku memetik. Selama perjalanan dari mengantarnya aku terpikir oleh kedatangannya, dan keadaannya yang seperti itu mengurungkan niatku untuk bertanya kepadanya, maksudku, siapa orang yang tidak dibingungkan oleh seseorang yang pingsan setelah dibukakan pintu, terlebih lengannya terluka dengan sebabnya yang tidak diketahui, aku benar dibingungkan oleh banyak hal yang menjadi banyak pertanyaan dikepalaku.
Rasanya. Aku ingin mengganti kepalaku yang terlalu banyak pertanyaan, aku meletakkan gitar temanku itu dipinggir kasur, dan entahlah, dua tahun ini aku masih tidak mengerti tentang bagaimana keindahan musik, karena aku seakan kehilangan suatu ketertarikan untuk menikmati suatu keindahan. Pikiranku kembali melayang. Pertemuan dengannya itu sungguh mengejutkan, dan benar malam dihari sabtu yang meresahkan, aku melihat pemandangan melalui jendelaku lalu merebahkan tubuhku dikasur sembari menjadikan tanganku sebagai bantal, kemudian menatap langit kamar yang sedikit terang dekat lampu, aku tidak pernah terpikir bahwa perempuan itu yang berdiri didepan kosanku, lagipula memang hanya sedikit orang yang mengetahui keberadaan dari kosanku yang pindah.
Handphoneku mulai berdering,
Kuterima.
"Makasih. Maafin aku ngerepotin" ucap Safira
Panggilan diputus olehnya.
Mendengar suaranya yang lembut itu sudah menenangkan hatiku, padahal masih banyak hal yang menggantung dari semuanya itu, tapi, aku seakan dipaksa olehnya untuk menuruti permintannya, dan juga, panggilannya itu langsung diputus olehnya yang berarti dia mengabaikan apapun tanggapanku kepadanya, serta aku yang harus menuruti permintaannya itu dengan sepihak. Hidup penuh tanya. Disetiap harinya kita selalu dihadirkan sesuatu yang mengejutkan, kemudian diposisi itu kita akan dibingungkan harus bagaimana untuk mengambil keputusan yang bijaksana, dan terkadang, kita merasa tidak mempunyai pilihan apapun dalam kehidupan, tapi, entahlah nantinya akan selalu ada jalan keluar dari semua permasalahan yang dipikir buntu. Hidup penuh misteri.
Hujan turun deras,
Angin berhembus dingin. Suatu waktu aku pernah melihat berbagai macam obat ditasnya Safira, dan akupun juga tidak pernah menanyakannya, walaupun aku sangat penasaran terhadap semua yang kulihat itu, padahal aku ingin sekali menanyakan kepadanya alasan membawa obat itu dimanapun serta kapanpun. Safira mengingatkanku Vanila. Aku teringat kembali saat pertemuan dengan Vanila pertama kalinya, dan siang itu hujan turun derasnya, aku yang sedang duduk malas untuk kembali pulang kerumah, padahal aku membawa payung kecil disamping kursiku, disaat itu aku melihat seorang perempuan yang seperti menangis ditengah guyuran air hujan, aku membuka payungku lalu berjalan mendekatinya, setelahnya aku memayungi sampai hampir seluruh tubuhku basah karena apa yang kulakukan itu.
"Ngapain?" ucapku
Vanilla menoleh kearahku, lalu menatap kosong, "Apakah kebohongan itu kejujuran yang tertunda?"
"Jujurlah" ucap Vanila, tersenyum simpul
Aku mengulangi kembali memayunginya, kemudian menunjuk kursi diteras studio, "Hujan. Mending kita disana"
"Neduh" ucapku
Sampai waktu sekarang. Aku tidak pernah mengerti alasannya saat mematung ditengah guyuran air hujan, padahal aku sempat menanyakannya, tapi, aku hanyalah mendapatkan senyumannya yang penuh artian, tidak sekalipun aku mendengar kata darinya untuk menjawab satu pertanyaanku tersebut. Terkadang. Aku menyukai kebohongan yang manis daripada kejujuran yang pahit, aku tidak ingin dia memperlihatkan kerapuhannya itu didepanku, makanya, aku lebih menyukai disaat kebohongannya tersenyum untuk menutupi semuanya itu, walaupun aku tahu itu hanyalah kebohongan semata. Teruslah aku dibohongi.
Pintaku.
Terkadang. Disaat aku melihat Vanila yang selalu bertingkah menyembunyikan penyakitnya itu, aku ingin sekali mengatakan kepadanya untuk sesekali beristirahatlah dalam kebohongannya dan janganlah merasa tegar didepanku, tapi, aku tidak kuasa saat menyinggungnya kearah sana. Akan selalu banyak sudut pandang. Apapun yang ada dalam kehidupan itu mengaburkan batas kebenaran, dan beberapa tahun berlalu semenjak kepergiannya, aku terkadang mengartikan hujan sebagai bentuk penyiksaan, misalnya seperti kata dihujani oleh kesedihan yang mendalam, arti kata sebenarnya dari hujan itu sendiri mulai berubah, kemudian seiring berjalannya waktu aku berusaha keras dalam memaknai semuanya dikehidupanku melalui berbagai sudut pandangan, bahkan disetiap katapun itu bisa mempunyai beragam makna yang terkandung.
Intinya,
Tersesatku dalam kehidupan.
...Hujan yang sunyi. Hatilah yang berjatuhan...
Benarlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Nami😴
lagi lagi
2021-04-29
1