Dikamarnya,
Kita. Aku dan Tanaya menonton film dilaptopnya, sebenarnya aku lebih banyak melihat wajahnya dibandingkan film yang diputarnya, kemudian dia menyadarinya dan menatapku dengan lekatnya, pipiku ditepuk pelan olehnya sembari tersenyum simpul saat melakukannya. Tanaya mengambil biskuit, lalu, menonton kembali filmnya. Aku keluar dari kamarnya, lalu, pulang tanpa pamit, karena aku teringat dengan tugas mata kuliah yang belum kukerjakan dan sesampainya aku dikosan, panggilan tidak kuterima dihandphoneku itu banyak sekali darinya, tapi, aku memilih untuk mengabaikannya, lagipula aku tidak kunjung mengerjakan tugasku nantinya, kalau, menerima panggilan darinya. Biarlah.
...Terlalu banyak waktu. Diabaikan...
...Terlalu sedikit waktu. Disesali...
...Manusia...
Kubuka pintu kamarku. Aku langsung mengerjakan tugas dan kulihat dihandphoneku yang menyala, Tanaya mengirimkan fotonya yang menunjukkan rasa kekesalannya, tapi, wajahnya itu seakan berusaha keras untuk menahan tertawa, kemudian dia mengirimkan kembali fotonya. Cantik dan manis. Aku meletakkan handphoneku dan kembali mengerjakan tugasku, disetiap aku menulis terbayang oleh wajahnya yang membuatku tersenyum simpul, kemudian aku memilih untuk berhenti sejenak dalam mengerjakan tugasku. Mengganggu. Setelah aku selesai dalam mengerjakan tugasku, aku melihat fotonya itu dalam waktu yang cukup lama dan pantaslah banyak orang yang menyukainya, itu semuanya karena tingkahnya yang menggemaskan yang ditambah oleh kecantikan paras wajahnya.
Mimpi yang indah,
Tanaya.
...*********...
Suasana begitu heningnya,
Aku memainkan tangannya sembari menunggu dia lengah, kemudian aku mengarahkan jari telunjuknya kearah lubang hidungku, setelahnya dia menahan rasa kesalnya, lalu, membersihkan jari telunjuknya, dan aku tertawa melihatnya, tapi, itu tidak berlangsung lama setelah aku dicubit olehnya dengan keras. Sakit luar biasa. Aku mempunyai keresahan saat dimana orang disekelilingku sedang terdiam, apalagi terlebih itu tidak melakukan apapun saat itu juga dan aku harus melakukan sesuatu, agar terjadinya suasana yang berbeda, aku tidak bisa melakukan suatu hal dengan seriusnya, padahal aku sudah berusaha keras. Begitulah.
"Nakal" ucap Tanaya
Tanaya memukul tanganku, sembari tersenyum simpul, "Sebenernya. Aku udah curiga dari awal, tapi, aku biarin aja tanganmu. Dasar"
"Ngeselin" ucap Tanaya
Suasana yang hening. Tidak melakukan apapun, serta, tidak ada sesuatu yang berbeda itu membuatku tersiksa dan saat itu juga, kulihat langit yang berwarna kehitaman terus bergerak, kemudian aku pikir melakukan taruhan kecil dengannya itu bisa menghidupkan suasana. Mungkin. Aku menunggu waktu yang tepat untuk melakukan taruhan dengannya, bukankah sedikit pengorbanan untuk hasil yang membanggakan adalah suatu tindakan yang hebat? Aku menepuk lengannya saat perempuan itu menatap kosong langit melalui jendelanya, kemudian aku melakukan hal yang sama dengannya.
"Tanaya" ucapku
Aku melihat langit dari jendelanya, sembari tersenyum penuh artian, "Kayaknya. Bentar lagi hujan. Deras"
"Tampar aku nanti. Kalau aku salah" ucapku
Dan,
Ternyata aku salah, lalu, dia langsung menamparku.
"Aku mau nanya. Kamu punya dendam? Nampar keras banget. Antusias banget namparnya" ucapku, tersenyum simpul
"Enggak punya dendam" ucap Tanaya
Aku memegangi pipiku yang ditamparnya, kemudian menatapnya dengan lekat, "Aku salah apa? Beneran aku curiga"
"Pengen aja nampar. Lagian kamu nawarin" ucap Tanaya
"Bercanda" ucapku
"Masa?" ucap Tanaya, menahan senyuman
"Iya" ucapku
"Maaf" ucap Tanaya
Rasanya. Tanaya melakukan kebohongan, aku merasakan tamparannya itu melampiaskan sesuatu darinya, tapi, aku tidak mengerti dan bertingkah seakan aku tidaklah menyadarinya, tamparannya itu bukanlah yang pertama kalinya aku terima dari seorang perempuan dalam hidupku, semua tamparan itu sangat menyakitkan walaupun dengan bercanda sekalipun. Perasaan itu merumitkan. Perempuan selalu bisa menyembunyikan perasaannya, bahkan mereka bisa sampai ditahap menghapus perasaannya sendiri, karena terlalu lama dalam menyembunyikan perasaannya itu didalam hatinya, kemudian perempuan yang menghilangkan perasaannya itu bisa melakukan tindakan diluar nalar.
Vanila.
Ada banyak hal yang ingin aku lakukan, tapi, pada akhirnya itu berakhir tanpa bisa melakukan bersamanya, dan tujuan yang tidak adanya perencanaan itu hanyalah sebuah harapan, kemudian tidak peduli berapapun foto yang kita ambil, perasaan itu tidak akan pernah bisa disimpan. Kenangan itu membekas. Terlalu banyak harapan bisa secara perlahan menyiksaku, dan terlalu sedikit harapan bisa secara perlahan membunuhku, sedangkan aku sebenarnya itu cenderung lebih berada kearah sedikit harapan, karena aku sudah tidak ingin menaruh suatu harapan yang tinggi kepada apapun itu dalam kehidupanku. Mengecewakan.
Itulah.
Aku menaikkan sweaterku ditangan kananku sampai kelengan, agar aku nyaman saat memainkan gitar dan Tanaya duduk memperhatikanku, kemudian aku memindahkan gitar kepadanya, matanya itu sudah menjelaskan semuanya disaat aku memainkannya. Perempuan yang menawan. Aku tidak mengerti dengan apa yang kulihat, perempuan yang memainkan alat musik itu menarik perhatian, terlebih alat musik yang dimainkannya itu seperti gitar, piano, biola serta lain yang sebagainya, percayalah, lalu, mereka yang bisa mengungkapkan kejujuran dan menjadi dirinya sendiri, apalagi mereka juga mempunyai karakter istimewa yang tidak dimiliki oleh banyak perempuan diumumnya.
"Ini bener gak?" ucap Tanaya
Aku mengarahkan jarinya kefret yang benar,
Tanaya menahan senyuman, "Bentar. Jariku kaku banget. Latihan terus harusnya"
"Dibiasain" ucapku
...*********...
"Nik" ucap Tanaya, pelan
Tanaya menatap kebawah, sembari meneteskan air matanya, "Keluargaku itu bermasalah. Makanya. Aku pengen banget punya keluarga sama kayak orang lainnya, tapi, kayaknya cuman harapan sampai kapanpun"
"Sampai pada akhirnya. Kita. Maksudku aku sama dia ketemu, terus, disinilah aku sekarang" ucap Tanaya, mencoba tersenyum
"Kadang" ucap Tanaya, bergumam
"Aku mikirin itu. Kenapa aku harus ketemu sama orang kayak temenmu? Semua orang itu beda waktu didepan sama dibelakang, tapi, kamu tetep sama malahan gak terpengaruh, terus kamu ngobrol kayak biasanya. Kamu itu beda. Aku tahu mereka itu bohong, terus aku cuman bisa ngikutin kayak yang mereka lakuin. Bohong" ucap Tanaya, mengusap air matanya
"Persetan. Semuanya itu kebohongan"
Didalam hati kecilku. Akupun menyimpan kebohongan.
Kalian pernah menyadari? Melakukan satu kebohongan itu berarti akan membuat kita akan terus menutupinya, dan apa yang kita lakukan untuk menutupinya itu dengan kebohongan yang lainnya, terciptalah alur berputar yang membuat kita susah keluar darinya. Bohong hanyalah perangkat. Semuanya itu terserah akan kita pergunakan untuk kejahatan ataupun kebaikan dengan perangkat tersebut, sedangkan aku tidak mengerti perangkat tersebut aku pergunakan kearah mana, dan semoga aku melakukannya untuk kebaikan, tapi, entah itu kebaikan untukku sendiri atau dirinya? Pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya, begitulah, memang lebih mudah untuk menenggelamkan pertanyaan daripada menjawabnya.
"Nik" ucap Tanaya
"Kamu gak capek bohongin aku terus? Lakuin apa yang emang kamu itu pengenin, dan bukan karena emang kamu ngerasa bersalah. Kamu gak salah udah kenal sama aku, lagian itu kesalahanku sendiri" ucap Tanaya, memaksa tersenyum
Anehnya. Sedikitpun aku tidak berani menatapnya,
Entahlah,
"Kamu..." ucap Tanaya
Tanaya menatapku dengan lekatnya, "Janganlah ngerasa bersalah. Pikirin dirimu sendiri. Berapa waktu yang banyak kamu buang cuman buat nemenin aku yang bodoh? Sebenarnya kita gak terlalu deket awalnya, tapi, kamu bisa mikir sejauh itu. Sebegitu ngerasa bersalah?"
"Aku. Kamu. Dia. Semuanya itu berhubungan" ucapku
"Lucunya. Aku suka dibohongi sama kamu, padahal aku tahu itu bohong. Terusin itu bohongmu" ucap Tanaya, memegang lenganku
"Terusin" tekannya
"Kirain gak sadar aku bohongin" ucapku
"Sadarlah" ucap Tanaya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments