Aku mengajaknya kelantai paling atas kosanku, tempat yang memang seringkali aku kunjungi disepertiga malam, karena aku bisa melihat pemandangan kota dibalkon, kemudian disana juga terdapat kursi serta meja untuk bercengkrama dengan orang lain, tapi, selama ini aku tidak pernah memaksimalkan fungsinya tersebut. Malam ini berbeda. Safira berjalan mendekati tembok pembatas balkon, kemudian dia menopang dagunya sembari menatap jauh kedepan, sedangkan aku memilih duduk tidak jauh darinya, dan tidak berapa lama, aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengannya, lalu, kita berdua terlarut dalam keindahan pemandangan kota dengan beberapa gedung tingginya itu.
Tunjuk satu bintang.
Setelahnya. Kita berdua lalu duduk bersebelahan, dan hanya ada keheningan, tidak ada satupun dari kita yang memulai suatu pembicaraan, kemudian aku melihat disudut matanya itu meneteskan air, tapi, dia langsung mengusapnya seakan berusaha keras menyembunyikannya. Aku mengalihkan pandanganku. Aku hanya tidak ingin dia mengetahui, kalau, sebenarnya aku sudah melihat air matanya itu, dan satu hal yang aku bisa lakukan hanyalah menghiburnya, ataupun, membuatnya lupa dengan kesedihannya itu, tapi, masalahnya aku belum mengenal lebih jauh tentangnya, kemudian aku hanya terdiam sampai air matanya itu mengering. Maafkan.
"Nik" ucap Safira
"Kamu tahu enggak?" ucap Safira
"Aku gak tahu apa - apa, dan aku gak mau tahu" ucapku, tertawa
Safira menyipitkan matanya,
"Yaudah. Aku gak jadi, padahal, aku udah serius" ucap Safira, menyenggol bahuku pelan
"Apa?" ucapku
"Lupakan" ucap Safira
"Mudah banget ngelupain" ucapku, tersenyum simpul
Safira melirik tajam, "Soalnya, terlalu sakit diinget, makanya, aku langsung ngelupain"
Aku hanya terdiam,
"Harusnya kamu ngebujuk" ucap Safira
"Males" ucapku
"Dasar" ucap Safira
Sengaja aku melakukannya. Aku tidak ingin dia berlarut dalam kesedihannya, hanya itulah yang bisa aku lakukan kepadanya, dan hanya karena aku tidak bisa membuatnya tersenyum atau tertawa, setidaknya, aku ingin dia melupakan kesedihannya walaupun hanya bertahan sebentar. Jangan pernah menangis. Safira itu menahan perasaannya, dan jadilah, seakan orang melihatnya itu pribadi yang kuat, padahal, apa yang sebenarnya terjadi pribadinya itu sangatlah rapuh, bahkan, aku bisa mengetahuinya dari pertama kali bertemu dengannya yang terlihat jelas dimatanya itu.
Semuanya itu kenyataan.
...Bohong memang haknya....
...Kewajibanku hanya bersandiwara tidak mengetahuinya...
Safira menepuk pahaku, kemudian dia beranjak dari tempatnya, dan begitulah, disetiap adanya pertemuan akan selalu menciptakan perpisahan nantinya, tidak peduli itu akan membutuhkan waktu yang lama ataupun cepat perpisahan tetap akan terjadi. Safira menuruni tangga. Aku mengantarkannya sampai didepan gerbang, kemudian seperti biasanya aku diperlihatkan oleh senyuman yang terlukis dibibirnya, dan setelah dipersimpangan jalan dia menghilang, kemudian aku berjalan menuju kamarku yang masih terkunci dengan rapat, sembari mengeluarkan kunci yang ada disaku jaketku, lalu, memainkannya dijari telunjukku sampai didepan pintu kamarku.
...*********...
Aku meninggalkan kelas,
Lagipula. Apa yang harus aku lakukan disana? Aku sudah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen yang tidak bisa mengajar, dan juga, semua temanku itu masih sibuk mengerjakan soal tersebut, aku tidak ingin mengganggu apa yang sedang mereka lakukan. Aku terdiam dilobby dan tidak ada siapapun disana. Aku mengeluarkan buku didalam tasku, dan tentunya, aku langsung melanjutkan bacaan yang sudah kutandai halamannya dengan pembatas, menurutku, buku itu mempunyai sumber yang jelas, daripada selentingan yang tidak jelas siapa yang membawanya, kemudian itu sering aku dengarkan disetiap harinya. Dunia penuh canda.
Mungkin terkesan konvesional. Aku terkadang mendengarkan radio dari handphoneku, sembari membaca buku apapun jenisnya dikosan, ataupun, berada ditempat yang menurutku tidak ada orang lain disana selain diriku sendiri, dan begitulah, aku lebih banyak menghabiskan waktu dalam kesendirian, tapi, aku tetap memperdulikan semua yang terjadi dilingkungan sekitarku dalam kebisuanku. Temanku mengenalku pendiam. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaan, memberi harapan serta lain sebagainya kepada orang lain karena ucapanku, dan juga, aku memang tidak bisa melakukan sekedar menanyakan kabar, atau apapun itu yang menurutku tidak perlu dipertanyakan, intinya, aku seorang yang tidak bisa mengawali suatu pembicaraan dengan baik dalam membangun suatu komunikasi.
"Keruang band sekarang" ucap Adrian, menyentuh bukuku
Berjalan aku mengikutinya.
Dilobby sudah terlalu banyak orang, dan temanku itu datang memberikanku suatu pilihan yang tidak kujawab sekalipun, sampai diruang band aku hanya duduk melihat temanku itu bermain drumnya, entahlah, aku menjadi jarang berminat dalam bermusik setelah kelulusanku dari sekolah. Alasan yang lainnya. Aku pernah mengajarkan Vanila bermain gitar, dan setelah dia menguasainya, seringkali aku dinyanyikan olehnya disaat malam harinya, lalu, kita juga terkadang bermain musik bersama dengan alat musik yang berbeda, aku memainkan gitarku, sedangkan, dia memainkan pianonya sembari bernyanyi dengan merdunya. Kenangan yang membekas.
Sekarang. Hidupku itu tidak seindah disaat aku mendengarkannya bernyanyi, kemudian, aku tidak mengerti bagian mana yang kurang harmoni dalam kehidupanku, dan tidak peduli seberapa keras aku berusaha menemukan letak kesalahannya, irama kehidupan yang aku jalani tetaplah akan terdengar sumbang. Aku beranjak dari tempatku, lalu, aku berjalan keluar dari ruang band, dan pemandangan diluar sana justru lebih menarik perhatianku daripada bermusik, angin yang berhembus kencang membuat banyak daun berjatuhan dijalanan, serta langit yang terlihat cerah dengan awannya yang seakan berjalan pelan.
Semuanya itu menenangkanku.
Bagiku.
Setelah puas bermain. Temanku mengajakku kekantin, dan kita duduk dikursi yang bermeja bundar, serta, diatasnya terdapat payung, kemudian temanku itu memperhatikan seorang perempuan cantik yang sedang berjalan dikejauhan, aku kembali mengerjakan tugasku disaat temanku itu terpesona oleh kecantikan seorang perempuan. Tidak berapa lama. Perempuan yang dilihat temanku itu berjalan kearahku, lalu, temanku itu semakin menatapnya tanpa berkedip sekalipun, dan aku tersenyum simpul ditengah menghitung jawaban, apalagi, perempuan itu kulihat sedang merapikan rambutnya yang pastinya membuat temanku semakin lupa daratan.
"Nik" ucap Tanaya, tersenyum manis
"Hai" ucapku
Tanaya berdiri disampingku,
"Kamu lagi sibuk? Aku pengen ngomong sama kamu sebentar" ucap Tanaya, menatapku dengan lekatnya
Adrian hanya terdiam,
"Iya" ucapku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
ayang nya kuroo
aku udah mampir ya thor
2021-05-06
2
ᴍ᭄ꦿⁱˢˢᴤᷭʜͧɜͤіͤιιᷠа❤️⃟Wᵃf
mmpir thor ttp smngt ya
2021-05-02
2
Aya Minna
Saya sudah mampir thor.
Tunjuk Satu Bintang, jadi inget Sinetron Zaman saya SMA. Sinetron itu bagus banget ceritanya. Pemerannya Diri Riyadi, Vonny Cornellya dan Raffi Ahmad.
2021-04-05
1