Cahaya matahari dengan ganasnya menyerbu masuk kedalam kamar Mily sedang gadis itu masih bermalas-malasan di tempat tidur. Selimut tebal berwarna merah muda yang dipakainya dari semalam di tendangnya sampai jatuh kelantai. “Panaaas” gumamnya.
Suara pintu kamar terbuka. “Jelas panas, sekarang kan sudah jam sebelas. Kamu masih tiduran di tempat tidur. Cepat sana mandi. Anak gadis kok males banget,” omel mamahnya.
“Aku masih ngantuk,” balas Mily.
“Kamu mau tiduran terus disitu sampai kapan? Udah tadi pagi kamu tidak sarapan.”
“Ma, kapan terakhir kali Mike telepon Mama?”
“Tadi malam dia telepon Papa. Malah mereka ngobrol sampai tengah malam.”
“Apa yang diobrolin Ma?”
“Mana Mama tahu. Kamu tanya Papa sendiri saja.”
“Gak ah maless.”
“Oia Papa bilang tadi pagi kalau ada kerjaan buat kamu di swalayan gitu. Kamu mau gak?”
“Papa nyariin aku kerjaan?
“Iya katanya kenalannya nawarin kerjaan karena tahu kamu nganggur dirumah."
“Boleeeh.”
“Ya sudah nanti kamu bicarain sama Papa dulu.”
“Ehm aku tahu.”
**
Seorang laki-laki nampak berjalan dengan terburu-buru. Melewati setiap lorong dan akhirnya ruangan yang ingin dituju sudah tepat berada didepan matanya. Laki-laki itu mendengus kesal. Raut wajahnya merah padam. “Brukkk,” suara pintu dibuka kasar sampai terbanting ke tembok.
“Tuan muda anda kenapa datang kemari?” tanya seorang pria dengan sopan sembari menghampiri laki-laki yang baru masuk itu.
Laki-laki itu dengan kasar mendorong pria yang berada dihadapannya. “Minggir,” serunya dengan nada yang terdengar kasar. Sementara laki-laki itu terus memelototi seorang pria paruh baya yang dengan santainya menyeruput minuman diatas meja kerjanya.
“Apa maksudnya ini?” Laki-laki itu mengambil dompet miliknya dari saku celana dan mangeluarkan lima kartu kredit dan melemparkannya ke atas meja.
“Kalau kamu butuh uang, jelas kamu harus bekerja. Uang tidak bisa tiba-tiba masuk ke dompet kamu begitu saja,” seru pria paruh baya itu dingin.
“Kenapa Papa tiba-tiba memblokir semua kartu ku?”
“Oh baguslah kalau kamu masih ingat aku ini Papa mu. Mulai sekarang bukan hanya kartu yang diblokir. Mobil pribadi dan apartemen akan Papa ambil.”
“Whaaat? Papa mau lihat aku jadi gelandangan?”
“Reihan. Papa sudah cukup sabar selama ini sama kamu. Kamu kuliah malas-malasan Papa maklum. Setiap hari kamu hidup foya-foya Papa juga bisa maklum. Kamu dikeluarin dari kampus itu yang paling bikin Papa marah. Kamu boleh tidak suka sama Papa, tapi kamu tidak bisa menghancurkan masa depan kamu sendiri. Kamu ini anak Papa satu-satunya.”
“Bagus kalau Papa tahu aku tidak suka sama papa.”
“Kalau kamu perlu uang, kamu harus bekerja. Papa akan kasih kamu gaji sesuai dengan karyawan lain. Kamu harus cari pengalaman untuk diri kamu sendiri.”
“Gak perlu,” jawabnya ketus.
“Tuan muda, menurut saya benar ucapan Tuan barusan. Jika anda sangat tidak menyukai Papa anda, Tuan muda sebaiknya berusaha keras untuk lebih berhasil. Jangan malah menjerumuskan diri ke hal yang akan menyulitkan hidup anda kedepannya.” Kalimat yang diucapkan oleh sekertaris Papanya membungkam mulutnya. Dirinya mulai berpikir, memang ucapan Pamannya itu ada benarnya. Akan lebih baik kalau memang bisa menghasilkan uang dengan tangannya sendiri, hidupnya tidak akan diatur-atur lagi.
“Matthew tolong kamu bawa Reihan kesana. Pastikan anak ini berjuang dari bawah. Jangan beri hak istimewa apapun.”
“Daripada repot-repot lebih baik bunuh saja aku disini,” gumam Reihan. Laki-laki itu tahu betul hidup mewahnya sudah resmi berakhir.
“Kemarikan kunci apartmen dan mobil kamu,” seru papanya. Dengan ogah-ogahan Reihan menyodorkan kunci mobil dan kunci apartmen miliknya.
“Mari saya antar anda untuk mencari tempat tinggal.” Reihan mengikuti langkah sekertaris apanya itu. Untuknya, Matthew adalah telinga dan mata papanya. Satu-satunya orang yang sangat dipercaya papanya.
Sepanjang perjalanan Reihan hanya diam dengan memasang wajah ketus, sampai mobil berhenti di sebuah tempat dengan jalanan yang tidak terlalu lebar. Beberapa toko kecil dan sedikit kumuh berjejer disana. Nama jalan itu Mayang, tertera pada sebuah tiang besi kecil yang tidak begitu tinggi.
“Kenapa berhenti disini?” tanya Reihan sembari celingukan kanan-kiri melihat sekitarnya.
“Kita disini untuk mencari tempat tinggal anda Tuan.”
“Hah??! Disini??!”
“Tentu. Tuan besar sendiri yang memilih lingkungan ini untuk menjadi tempat tinggal anda sementara,” jelas Matthew.
“Kenapa harus disini?” tanya Reihan. “Paman kan bisa lihat lingkungan disini kotor, berdebu mana bisa aku tinggal disini. Gak ah aku gak mau.”
“Tuan, jika anda menolak untuk tinggal disini. Anda akan tinggal dimana?”
“Hotel.”
“Apa anda punya uang untuk membayar hotelnya?”
Reihan menggeleng. “Tapi aku bisa pinjam uang Paman dulu kan? Nanti aku ganti.”
“Tidak bisa tuan. Papa anda sudah berpesan jauh-jauh hari, mengingatkan saya untuk tidak memberi anda uang sepeser pun. Sekarang saja saya sama sekali tidak membawa uang pribadi. Saya hanya membawa uang untuk membayar biaya kontrakan anda.”
“Berapa banyak?”
“Satu juta."
“Cuma satu juta? Mana ada kontrakan harga satu juta perbulannya zaman sekarang.”
“Tentu ada. Saya sudah mendapatkannya. Kita kemari sekarang untuk membayar kontrakannya dan anda bisa langsung tinggal disana. Sekarang ayo kita turun dari mobil, saya hanya punya waktu satu jam untuk menemani anda. Sebentar lagi saya harus menemani Tuan besar rapat.”
Tak membantah lagi Reihan mengikuti langkah kaki Matthew. Pria itu masuk ke sebuah gang dan berjalan terus. Tak lama langkahnya berhenti disebuah toko kelontong kecil yang sudah terlihat agak usang. Toko kelontong itu bercat hijau yang sudah pudar. “Kita sudah sampai,” serunya.
Tampak seorang kakek-kakek tua keluar dari dalam toko kecil itu dan tersenyum menyambut kedatangan Matthew dan Reihan. “Ayo-ayo naik ke atas. Ruangannya sudah dibersihkan.” Reihan berjalan ogah-ogahan menaiki tangga besi yang berada di samping kanan toko milik kakek itu. Matanya menyapu lingkungan sekitarnya. Laki-laki itu bisa melihat matahari begitu terasa menyengat di kulit setibanya dia di lantai atas. Terlihat sebuah kamar berukuran empat kali empat bercat putih dengan sedikit lumut yang menutupi bagian bawah bangunan.
“Sekarang aku baru percaya kalau uang sewanya satu juta. Tapi yang benar saja Paman, masa aku harus tinggal disini?” protes Reihan. Dirinya sedari kecil sudah terbiasa hidup mewah dan sekarang kenyataan pahit harus dihadapi.
“Maaf anak muda, kakek hanya punya kamar yang sudah lusuh ini,” seru kakek tua itu. Nada suaranya terdengar memelas. Mau tidak mau Reihan nampak sedikit bersalah dengan ucapannya tadi. Bukan salah kakek yang punya kamar sewa ini tapi salah dirinya yang terbiasa hidup enak dan tinggal di lingkungan yang nyaman.
“Baiklah-baiklah cepat urus pembayarannya,” ucapnya pada Matthew. Akhirnya Mathew mengeluarkan amplop coklat berisi uang satu juta dan berkata, “Terima kasih karena sudah mau menyewakan kamar ini dan semoga istri anda cepat sembuh.”
Setelah mengurus masalah pembayaran, kakek tua itu pergi meninggalkan Reihan dan Matthew yang masih nampak berdiskusi. “Barang-barang keperluan anda akan segera diantar kemari,” ucap Matthew.
“Eia aku mau tanya. Ada apa dengan istri kakek tadi?” Reihan bertanya karena entah mengapa hatinya merasa kasihan dengan kakek itu.
“Kakek itu hanya hidup berdua dengan istrinya yang sakit sedang anak satu-satunya berada diluar pulau bekerja.”
“Sakit? Sakit apa? Apa karena mereka perlu biaya makanya menyewakan kamar ini?”
“Betul. Istrinya terserang stroke dan untuk melakukan banyak hal bergantung pada suaminya. Mereka perlu biaya untuk membeli obat setiap minggu. Sementara anda lihat sendiri tokonya sepi, jadi kakek itu menyewakan kamar ini untuk anda.”
Reihan menghembuskan nafasnya dengan berat. “Oh iya saya hampir lupa. Ini.” Matthew mengeluarkan amplop coklat lainnya dari balik jas yang dikenakannya. “Didalam sini ada uang lima ratus ribu. Uang ini untuk digunakan keperluan hidup sehari-hari dan mulai bulan depan, anda sendiri yang harus membayar biaya sewa kamar ini.”
“Yang benar saja. Kalau begini caranya kenapa tidak sekalian mengeluarkan aku dari kartu keluarga???!!!”
“Saya mohon pamit tuan,” Matthew langsung bergegas pergi dengan terburu-buru sementara Reihan masih berdiri di depan kamar barunya sambil berkacak pinggang dan menghembuskan nafas dalam-dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Mei Shin Manalu
Yuhhuu
2021-01-22
1
Lenkzher Thea
👍 like lagi
2021-01-17
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
like lagi..
bawa semangat💪
2021-01-07
1