Waktu terus berjalan sampai menggantikan hari sebelumnya ke hari yang baru, walau terus berulang di setiap minggunya. Di siang hari dengan cuaca yang terpantau cukup berawan mendung, walau matahari masih terlihat bersinar sangat terang melewati sela-sela awan. Namun langit terlihat masih cukup bersahabat, karena belum sampai menumpahkan airnya ke tanah.
Di siang hari ini dan pada saat berada di bengkel dan di ruangan pribadinya. Berlin tiba-tiba mendapatkan pesan singkat dari seseorang pria, yang sebelumnya sempat bertemu di bandara dan mengantarkannya sampai ke rumah.
"Prawira ...?" gumamnya saat melihat nama kontak yang muncul di jendela notifikasi ponselnya.
"Berlin, bisakah kita bertemu ? Aku ingin membicarakan sesuatu," isi dari pesan singkat tersebut.
Berlin sempat menaruh rasa curiga kepada Prawira, saat pertama kali dirinya menerima dan membaca pesan singkat tersebut. Ia sempat curiga kalau itu adalah sebuah jebakan, karena entah mengapa Prawira bisa terlihat sangat mengenal dekat dengan dirinya.
Tetapi Berlin sendiri menyimpan beberapa pertanyaan untuk ditanyakan kepada Prawira. Dirinya ingin memastikan suatu hal yang sempat membuat keraguan dan terus terpikirkan di pikirannya. Tentang sebuah marga dalam nama lengkapnya yang memiliki kesamaan dengan nama lengkap milik Prawira.
Di tengah Berlin masih berpikir untuk mengambil keputusan. Sebuah pesan teks singkat kembali masuk dan berisikan, "tenang saja, aku hanya ingin bertemu dan berbicara dengan mu secara empat mata."
Setelah membaca isi pesan lanjutan tersebut, rasa percaya tiba-tiba saja timbul dalam benak Berlin. Secara langsung dirinya pun membalas pesan tersebut dengan mengetik, "baiklah, tetapi aku yang menentukan tempat !" ketiknya dan lalu mengirimkan pesan balasan tersebut.
"Oke, silakan tentukan tempatnya !" isi pesan dari Prawira sesaat setelah pesan balasan milik Berlin terkirim.
"Baik, kita bertemu di Dermaga 5 Danau Shandy Shell jam 14:00," isi dari pesan balasan yang Berlin kirim kembali.
"Siap, saya akan ke sana sesaat lagi," isi pesan jawaban yang dikirimkan oleh Prawira secara langsung, setelah pesan balasan dari Berlin terkirim.
...
"Apa yang sebenarnya dia lakukan, dan untuk apa dia ingin menemui ku ?" gumam Berlin sesaat setelah mematikan layar ponsel dan menyimpannya ke dalam saku di hoodie yang ia kenakan.
Seketika Berlin melihat ke arah jam dinding yang terpasang di atas dari pintu kaca di ruangannya. Waktu pada jam tersebut menunjukkan pukul 13:45 siang.
"Sepertinya aku membuat janji terlalu cepat ..?" gumamnya kembali saat menatap jam dinding tersebut.
Berlin bangkit dari duduknya di kursi miliknya, dan mulai berjalan keluar dari ruangan pribadinya tersebut.
Suasana bengkel masih cukup sepi tidak ada siapapun kecuali dirinya, karena memang sedang tidak ikut bersama dengan teman-temannya yang sedang mengirim beberapa barang ilegal ke pembeli yang memesannya.
Kekasihnya yaitu Nadia juga tidak sedang bersamanya saat ini. Karena tepat di tengah malam sebelumnya, Berlin sempat untuk mengantarkan kekasihnya itu pulang dan beristirahat di rumah milik Nadia sendiri yang terletak di kompleks Perumahan Kota.
Dengan perlahan ia menuruni anak tangga menuju ruang utama dan mobilnya yang terparkir di ruang utama tersebut. Berlin pun masuk dan menyalakan mesin dari mobil sport miliknya yang berwarna putih, dan lalu segera menuju ke dermaga yang ia maksud.
Perjalanan dari Kota Metro untuk menuju ke Shandy Shell cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama, namun tidak terlalu lama. Tetapi sepertinya waktu tidak akan menjadi masalah, dengan Berlin yang memacu kecepatan mobilnya menjadi sangat kencang.
Secara sengaja Berlin pergi menemui Prawira secara diam-diam tanpa sepengetahuan teman-temannya, termasuk juga sepengatahuan kekasihnya sendiri. Ia yakin kalau pertemuan ini tidak akan memakan waktu yang lama. Di sisi lain dirinya juga tidak ingin menimbulkan kecemasan pada teman-teman, apalagi kecemasan pada Nadia.
~
Tidak memakan waktu lama kemudian, Berlin pun akhirnya sudah dekat dengan dermaga tersebut. Dengan mengendarai mobilnya secara perlahan, ia memasuki area dermaga yang memiliki suasana sangat sepi tidak ada orang sama sekali. Namun dirinya mendapati satu mobil sedan berwarna hitam yang terparkir di dermaga.
Karena dermaga tersebut juga tidak terlalu besar, Berlin pun dapat langsung melihat Prawira yang sudah menunggu di pinggir dermaga. Dirinya segera memarkirkan mobil yang dikendarainya, dan berjalan menghampiri Prawira yang sudah menunggunya di sana.
"Selamat siang, Pak," sapa Berlin dengan perlakukan sangat formal saat bertemu dengan Prawira.
Prawira terlihat tidak menggunakan seragam dinasnya sebagai anggota polisi, melainkan memakai pakaian santai seperti warga biasa. Ia juga terlihat sangat santai dengan menyandari di pagar pembatas dermaga untuk menunggu kedatangan Berlin.
Walau ini bukan pertemuan untuk pertama kali baginya. Tetapi Berlin sangat tahu dengan siapa dirinya saat ini.
"Santai saja, tidak perlu terlalu formal seperti itu ...!" sahut Prawira yang lalu sedikit tersenyum kepada Berlin.
.
"Kau itu seperti biasa ..., selalu memakai hoodie, ya ?" sambungnya yang mengomentari pakaian milik Berlin.
"Hehehe ..., kebetulan ... hoodie adalah salah satu pakaian favorit saya," jawab Berlin sesaat setelah tertawa kecil.
Berlin sangat beruntung kali ini dirinya menggunakan hoodie yang tidak terpasangi atribut Ashgard. Hoodie yang ia kenakan hari ini berwarna abu-abu, dan sangat berbeda dengan hoodie yang ia jadikan seragam untuk Ashgard. Karena hoodie seragam Ashgard memiliki ciri khasnya sendiri dengan tentunya tulisan Ashgard di bagian punggung, dan warna biru di bagian badan serta warna putih di bagian lengan.
"Bagaimana kabar mu selama ini ?"
"Dan ... apakah Nadia baik-baik saja ?"
Dua pertanyaan itu langsung tercetus keluar dari mulut Prawira kepada Berlin.
"Tentu kabar saya sangat baik, dan Nadia juga baik-baik saja," jawab Berlin yang lalu bersandar di pagar tepat di samping Prawira.
.
"Ada perlu apa sampai ingin bertemu dengan saya ?" lanjutnya yang kembali bertanya dengan nada yang terdengar sangat formal.
"Sebelumnya ..., nada bicaramu bisa dibuat santai saja, aku juga tidak sedang bertugas atau memakai seragam sekarang," ujar Prawira.
.
"Untuk keperluan ..., aku ingin memberikan buku ini kepada mu !" lanjutnya dengan mengeluarkan sebuah buku kecil berukuran novel ringan berwarna coklat dari sakunya, dan memberikannya kepada Berlin.
Berlin pun menerima buku pemberian tersebut dengan penuh pertanyaan di kepalanya. Lantaran buku tersebut terlihat sangat tua dengan warna coklat polos di sampul depannya, dan tidak ada tulisan atau apapun itu di bagian depan maupun belakang buku.
"Buka saja bukunya, kau boleh melihat isinya kok," ucap Prawira dengan memandang ke arah air dari danau yang sedikit berombak.
Saat Berlin membuka buku tersebut secara perlahan. Dirinya mendapati sebuah tulisan di halaman depan buku.
"Gates" begitulah tulisan yang tertulis, dan hanya ada satu tulisan itu saja di halaman paling depan.
"Kurasa ... sudah saatnya kau mengetahui apa itu Gates," ujar Prawira yang menyadari kalau Berlin merasa cukup bingung.
.
"Lagi pula ... di umurmu yang sudah menginjak ke 22 tahun ..., maka sudah sangat seharusnya kau mengetahui tentang buku keluarga ini," lanjutnya.
...
Angin tiba-tiba bertiup cukup kencang dengan membawa aroma air danau yang sangat khas. Gemuruh suara air yang pada saat itu cukup berombak juga terdengar jelas, dan suara burung-burung camar yang berterbangan mengelilingi danau pun juga terdengar.
Danau Shandy Shell memang memiliki keistimewaannya sendiri, yaitu satu-satunya danau yang bisa terhubung langsung dengan laut. Letaknya juga sangat pas tepat di bawah dari lereng pegunungan Luz De Luna, dan juga sangat dekat dengan pemukiman Shandy Shell.
Di saat Berlin membuka satu-persatu halaman dari buku yang diberikan oleh Prawira kepadanya. Dirinya dibuat tertegun dan terdiam selama beberapa detik, setelah membaca banyaknya daftar nama di masing-masing halaman.
"Kenapa banyak sekali nama yang menggunakan marga yang sama ?" tanyanya kepada Prawira saat membaca satu persatu nama-nama yang tercantum.
Nama-nama yang tercantum di dalam buku tersebut menggunakan marga yang sama dalam nama lengkap mereka, yaitu Gates. Namun Berlin juga mendapati cukup banyaknya kolom nama yang kosong, seakan dihapus secara sengaja.
"Aku ingin kau tahu. Buku ini adalah buku ---"
Kring !!! Kring !!!
Ditengah Prawira mengucap, tiba-tiba ucapannya harus terpotong dengan nada dering dari ponsel yang ia simpan di dalam sakunya. Ia pun segera mengambil dan melihat siapa yang telah menelepon dirinya ditengah sedang beristirahat dan tidak bertugas.
"Netty ...?" gumamnya saat melihat kontak yang menelepon dirinya.
Prawira pun segera mengangkat panggilan suara tersebut, dan menanyakan ada hal apa sampai-sampai rekannya itu harus mengganggu waktu istirahatnya.
"Pak, telah terjadi penyanderaan !! Tolong segera bergabung kembali ke frekuensi radio gabungan !!" titah Netty dalam telepon tersebut.
"Apa ?! Oke, baik ! Saya akan segera bergabung !" sahut Prawira.
.
"Kirimkan koordinat lokasi kejadiannya kepada saya !" lanjutnya.
"Baik !" jawab Netty.
Prawira pun mengakhiri panggilan tersebut, dan berpamitan kepada Berlin untuk segera merapat ke lokasi penyanderaan.
"Panggilan tugas ?" cetus Berlin yang sudah tahu.
"Iya, maaf sekali," jawab Prawira dan lalu berjalan mengarah mobil miliknya yang terparkir tidak jauh.
"Tu-tunggu, bagaimana dengan buku ini ?" teriak Berlin kepada Prawira yang sudah membuka pintu mobilnya.
"Oh, kau simpan saja, dan ... jangan lupa untuk membaca isinya ...!" jawab Prawira saat masuk ke dalam mobilnya serta menyalakan mesin kendaraannya, dan lalu pergi memacu kecepatan mobilnya.
...
Sesaat setelah Prawira pergi dengan meninggalkan sebuah buku untuk dirinya. Berlin merasa bingung harus melakukan apa dengan buku tersebut.
"Huh ...."
Berlin menghela napas panjang dengan pandangan terus melihat ke arah sampul polos dari buku tersebut. Dirinya pun ingin segera pergi dari dermaga tersebut, dan segera kembali ke kota.
"Dia tidak tahu apa ? Padahal aku tidak begitu suka membaca ...," Berlin hanya bergumam di dalam hatinya saat membuka pintu mobil, dan masuk ke dalam mobilnya.
Karena sudah berada di dalam mobil, Berlin pun langsung menekan tombol start engine untuk menyalakan mesin, dan ingin segera memacu kecepatan mobilnya di jalan raya.
Di tengah dirinya menginjak pedal gas secara perlahan. Tiba-tiba ponsel miliknya berdering yang menandakan kalau dirinya mendapatkan panggilan suara masuk.
"Astaga, pasti dia akan memarahi ku ...," gumam Berlin saat membaca nama kontak yang menelepon dirinya.
"Ya, halo ...?" ucapnya sesaat menekan tombol menerima panggilan suara.
"Kamu pergi ke mana ?!"
"Kok tidak memberitahuku sih ...?!"
"Kamu baik-baik saja, 'kan ?"
"Di manapun kamu, cepat pulang ke bengkel !"
"Sekarang !"
Semua ucapan yang terlontarkan dari mulut kekasihnya yaitu Nadia, seakan menghujani dan memekakkan telinganya sesaat. Wajar saja Nadia terdengar sangat kesal dan marah kepadanya, karena dirinya pergi tanpa sepengatahuan siapapun.
"Ehehehe ..., aku baik-baik saja kok."
"Iya, aku akan segera pulang ke bengkel, ya ...?"
Berlin menjawab semua pertanyaan yang terlontar tersebut secara pelan dan perlahan.
"Baiklah, kamu hati-hati, ya ...?!" jawab Nadia yang terdengar cukup mengkhawatirkan Berlin
.
"Ku dengar sedang ada penyanderaan soalnya," lanjutnya.
"Iya, kita ketemu di sana, ya ...?" sahut Berlin.
Tut... Tut... Tut...
Nadia tidak menjawab dan langsung mengakhiri panggilan suara tersebut.
"Huh ..., baiklah ... aku sudah siap kok !" gumam Berlin sesaat setelah menghela napas, dan lalu memacu segera kecepatan mobilnya.
Berlin sudah sangat siap, karena dirinya merasa akan menghadapi ceramah dari Nadia yang akan menghujani telinganya. Karena dirinya sudah pergi ke suatu tempat tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
~
Selama perjalanan, Berlin merasakan perbedaan yang sangat terasa dari saat ia berangkat dan pulang. Jalanan terasa cukup sepi, bahkan terlihat hanya banyaknya mobil polisi yang berlalu-lalang dengan rotator dan suara sirine mereka.
"Penyanderaan ...?"
"Siapa yang melakukannya ...?"
Berlin bergumam dengan sendirinya di tengah perjalanan saat melewati perbatasan antara Shandy Shell dan Metro. Ia terlihat sangat menikmati perjalanan dengan memacu kencang mobil sport yang dikendarainya di jalanan.
Karena Berlin telah memacu kecepatan mobilnya dengan sangat kencang. Tidak perlu membutuhkan waktu lama, perjalanan dari Shandy Shell menuju bengkelnya yang berada di kota pun terasa sangat cepat.
~
Sesampainya ia di bengkel miliknya, sudah terlihat Nadia yang sangat menunggu dengan memasang wajah cukup cemas kepadanya. Berlin pun segera memarkirkan mobil yang dikendarainya, dan lalu menghampiri Nadia yang sudah menunggunya.
Tidak hanya Nadia saja, tetapi semua teman-temannya juga terlihat sangat menunggu dirinya dengan ekspresi cukup khawatir.
"Hai, aku minta maaf ... tidak memberitahu kalian ... termasuk kamu, hehehe ...," Berlin terlihat sangat meminta maaf kepada semua temannya, dan juga termasuk kepada kekasihnya itu yang sudah memasang wajah cukup kesal kepada dirinya.
"Saat kamu pergi, tiba-tiba ada berita tentang penyanderaan itu ...," ucap Nadia yang lalu langsung bersandar di pelukan lelakinya.
"Astaga ...," gumam Berlin saat membiarkan kekasihnya bersandar dan lalu sedikit memeluknya.
Nadia pun melepaskan dirinya dari pelukan singkat tersebut, dan mulai bertanya, "kamu kenapa tidak memberitahuku dahulu ?!" tanyanya dengan terlihat cukup kesal.
"Nadia aja tidak kau beritahu, apalagi kami ?!"
Nadia dan beberapa temannya pun mulai menghujani dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
"Iya, aku tadi sudah bertanya kepada yang lain. Tetapi mereka tidak tahu, katanya tidak kau beritahu dan kau tiba-tiba menghilang begitu saja," ujar Nadia dengan menatap tajam kedua mata milik Berlin, dan juga memasang ekspresi marah yang justru terlihat cukup imut bagi Berlin.
"Iya, iya. Aku minta maaf ya, semuanya ?" ucap Berlin di depan dari seluruh teman-temannya termasuk juga di hadapan Nadia.
"Ya sudah, kalian semua sudah membawa senjata kalian masing-masing, 'kan ?" cetus Berlin yang bertanya kepada teman-temannya.
"Sudah, Bos."
"Udah nih, aku bawa satu."
"Hampir selalu ku bawa kemana-mana, sih ...."
Jawab semua teman-temannya dengan menunjukkan beberapa senjata api berukuran pistol yang dimiliki oleh seluruh teman-temannya.
"Memang mau ngapain ?" sahut Kimmy dengan melangkah sedikit maju menghadap Berlin.
"Siapa tahu ... baku tembak di luar sana pecah, dan mungkin ... kita bisa sedikit mengambil untungnya," jawab Berlin dengan menggandeng Nadia berjalan menuju ke arah anak tangga.
"Setuju, sih !" sahut Bobi yang terlihat cukup bersemangat saat mendengar apa yang dikatakan Berlin.
"Ayo aja ...!"
"Kita bisa jadi pembersih, sih ...."
Jawab begitu juga dengan teman-temannya yang terlihat sangat setuju dengan rencana yang Berlin sampaikan.
"Ya sudah kalau begitu. Kimmy, kau pantau terus berita penyanderaan itu, ya !" titah Berlin saat menaiki tangga bersama Nadia.
.
Kimmy yang berada di ruang utama lantai dasar pun langsung menjawab, "siap, Bos!" jawabnya dengan lantang.
"Yang lainnya ... kalian santai aja dahulu," sambung Berlin.
...
Saat berada di ruangan Pribadinya Berlin kembali mencoba untuk membaca, dan memahami isi dari buku keluarga yang diberikan Prawira kepadanya.
Suara sirine dan helikopter polisi terdengar sangat jelas dan bersahut-sahutan dari kejauhan. Berita tentang penyaderaan pun juga di siarkan secara langsung dan dapat di saksikan melalui televisi dan ponsel.
.
Tetapi Berlin memilih untuk tidak melihat atau menyimak semua berita itu, dan lebih fokus kepada buku yang coba ia pahami apa maksudnya.
Nadia yang duduk di sofa terlihat sangat senang dan tersenyum kepada Berlin yang duduk di kursi balik meja kerjanya. Lantaran dirinya sangat melihat sikap yang tiba-tiba berubah, dan juga tiba-tiba menjadi gemar membaca. Dirinya tidak mempermasalahkan perubahan sikap yang terjadi pada lelakinya itu, selama menurutnya dia berubah untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Baiklah, aku tidak akan mengganggu waktu membacamu," gumam Nadia di dalam hati saat melihat ke arah Berlin yang cukup fokus kepada buku yang ia baca.
Di saat Berlin membaca satu persatu halaman yang berisikan banyaknya daftar nama yang beberapa menghilang. Dirinya mendapati sebuah kolom nama yang tersendiri di dua halaman sebelum halaman terakhir. Di kolom nama tersebut tertuliskan sebuah nama yang tidak terlalu asing baginya.
"Garwig Gates ...?"
Di bawah dari kolom yang kelihatannya sangat diistimewakan itu, terdapat kolom nama lagi yang berisikan nama lengkap milik Prawira.
"Prawira Gates Putra ...?"
Dua nama tersebut terlihat cukup diistimewakan dengan memiliki halamannya tersendiri. Di bawah dari kedua nama tersebut juga ada sedikit penjelasan yang memiliki tulisan sangat kecil. Bahkan sangat sulit untuk dibaca karena tulisan tersebut sangatlah kecil, dan juga terlihat sepertinya kalimat tersebut tertulis dengan bahasa kuno yang sulit untuk dipahami.
Setelah membaca dan mengetahui kedua nama yang sepertinya sangat penting tersebut. Berlin pun kembali membuka dan menyimak lembar halaman terakhir.
Di lembar halaman terakhir terlihat memiliki dua kolom nama khusus, dan di atas kolom tersebut tertulis "dua generasi penting!". Berlin sendiri dibuat sangat terkejut karena dirinya menemui nama lengkapnya yang tercantum pada salah satu kolom nama tersebut.
"Berlin Gates Axel."
"Kenapa namaku berada di kolom yang dikhususkan ?"
"Dan ... sebenarnya nama siapa yang berada di kolom sebelah ku ?"
Ia kembali dibuat bertanya-tanya dengan kolom nama yang letaknya bersebelahan dengan kolom nama miliknya. Lantaran kolom nama tersebut terlihat kosong, atau bahkan terlihat sepeti sengaja dihapus dengan adanya tanda kertas yang sedikit menimpis.
Setelah membaca buku tersebut sampai halaman terakhir, walau juga tidak ia baca semuanya secara lengkap. Namun Berlin merasa menyadari dan mengingat sesuatu tentang masa lalunya. Tetapi ingatannya itu sangat susah bahkan tidak mengingat apapun yang ada di masa kecilnya.
Setelah membaca buku pemberian Prawira tersebut. Berlin juga menyadari kalau selama ini dirinya masih memiliki sebuah keluarga yang kelihatanya cukup besar. Entah mengapa, dirinya juga merasa sangat senang dan lega setelah membaca buku keluarga tersebut.
"Jadi ... selama ini ... aku malah tidak mengetahui ini semua ?"
"Aku benar-benar tidak ingat kalau ternyata aku memiliki keluarga besar ini."
Kekecewaan juga timbul dalam benak Berlin, karena ia kecewa dengan dirinya yang tidak tahu-menahu tentang itu semua. Namun ia merasa tidak ada gunanya juga untuk kecewa sekarang. Karena masih banyak pertanyaan yang bertambah dan berputar mengisi kepalanya.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Yukity
Hadir lagi...
Semangaat...💪😍
2021-09-17
1
Taki
umur Berlin ternyata masih muda ya...
2021-07-05
1
IG: Saya_Muchu
Double like thor ku, jangan lupa saling support ya thor ku ❤️
2021-05-24
1