Di keesokkan harinya, Nadia mengawali harinya dengan bertugas seperti biasa selayaknya sebagai seorang anggota polisi.
Namun ditengah dirinya melakukan patroli sendirian, Bagas tiba-tiba memanggil dirinya dengan maksud dan tujuan untuk menghadap kepadanya.
"Nadia Nayanika, saya tunggu dalam lima menit untuk menghadap ke saya, di halaman belakang Kantor Polisi Pusat!"
Nadia terkejut saat mendengarnya, karena sangat jarang mendengar atasan memanggil salah satu dari anggotanya dengan menyebutkan nama lengkapnya langsung.
Suara Bagas terdengar sangat berat dan tegas di radio, itu membuat Nadia sedikit takut untuk menghadap kepadanya. Dirinya juga tidak tahu, bahkan tidak merasa melakukan kesalahan selama dirinya bertugas. Tetapi karena itu perintah dan dengan sedikit terpaksa, ia harus segera menghadap ke atasannya itu.
"Si-siap, Pak ...!" jawabnya dengan nada yang terdengar sedikit gemetaran.
Semua rekan-rekan anggotanya menaruh rasa curiga kepada Nadia. Karena jika atasan telah memanggil dengan menggunakan nama lengkap, itu artinya ada sesuatu yang tidak benar.
...
Nadia segera pergi kembali menuju ke Kantor Pusat, untuk menghadap kepada atasannya yaitu Bagas. Walau dirinya sama sekali belum siap untuk menghadap kepada Bagas.
Sesampainya di Kantor Pusat, Nadia segera menuju ke halaman belakang yang sudah ditunggu oleh Bagas, dan satu anggota polisi dengan mengenakan topeng untuk menutup identitasnya.
"Nadia, sini kamu!" cetus Bagas kepadanya.
Nadia benar-benar tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, dirinya hanya berjalan perlahan sambil tertunduk sedikit ketakutan menghampiri atasannya yang sudah menunggu itu. Dirinya pun berdiri tepat didepan Bagas serta memberikan hormat, dan dengan menanyakan, "Siap, ada ... apa, Pak ..?"
Bagas tidak banyak bicara, dia melangkah perlahan mendekati Nadia dan langsung bertanya kepadanya.
"Jujur saja, kamu mempunyai hubungan dekat dengan Berlin, 'kan?!" bentaknya.
Mendengar pertanyaan itu, Nadia bingung untuk menjawabnya. Dirinya hanya terdiam membisu dan tertunduk setelah mendengar pertanyaan itu.
"Ma-maksud---"
.
"Jawab dan beritahukan semua tentangnya ...!" bentaknya yang menyela perkataan Nadia.
Nadia terdiam setelah atasannya membentaknya seperti itu. Bagas yang kesal karena Nadia hanya diam tidak memberikan jawabannya, alhasil amarahnya memuncak. Dengan sengaja dirinya menampar dan mendorong Nadia secara kasar hingga terbentur dinding dengan keras.
Punggung dan kepalanya menerima benturan dengan sangat keras, dan dengan seketika dirinya langsung jatuh tersungkur ke tanah.
"Berdiri kamu, cepat jawab ...!" Bagas kembali melangkah mendekati Nadia serta menarik bajunya dan membangunkannya. Nadia terlihat berusaha membendung air mata miliknya, walau sudah terlanjur menetes.
Bagas berkali-kali mengancam atau mengintimidasinya dengan berbagai cara, agar Nadia mau menjawab serta memberikan informasi tentang Berlin. Namun Nadia tidak berani dan tidak mau mengatakan apapun itu tentang Berlin kepadanya.
"Jadi ... ternyata memang benar ya ...!" gumam Bagas dengan mengambil sebuah pistol dari sakunya, dan mendekatkan pelatuk tersebut tepat di samping pelipis kepala milik Nadia.
Nadia hanya diam dan pasrah dengan menahan isak tangis yang mulai tidak dapat terbendung. Bagas pun memberinya pertanyaan untuk yang terakhir kalinya, dan sekaligus memberikannya kesempatan terakhir.
"Kesempatan terakhir ... kamu tinggal mau menjawabnya atau tidak, sayang ...?!" tanya Bagas kembali dengan ekspresi yang sangat dingin, serta mengancamnya dengan pelatuk pistol yang siap untuk ditarik.
Nadia hanya bisa menahan Isak tangisnya, lututnya terasa lemas dan kepalanya mulai terasa pusing. Dirinya sudah tahu dengan semua resiko jika ia memilih untuk tidak menjawab, atau tidak memberitahukan semua tentang Berlin.
Bagas tiba-tiba langsung menarik pelatuknya tanpa aba-aba. Namun ia mengarahkan tembakkan itu ke arah langit, dengan spontan Nadia berteriak dan menutup telinganya dengan menunduk.
Anggota polisi lain yang juga mendengar suara tembakkan itu pun menanyakannya melalui radio.
"Suara tembakkan di Kantor Polisi Pusat ..!"
"Saya juga dengar, Pak."
"Anggota yang sedang berada di dekat kantor, silahkan langsung merapat ...!"
Bagas pun menyela radio yang terdengar sangat ribut itu, dengan mengatakan, "Itu cuma pengujian senjata, jadi ... semua aman terkendali."
.
"Ten-Four, kalau gitu silahkan untuk melanjutkan tugas masing-masing ...!"
Bagas kembali melanjutkan urusannya dengan Nadia, dirinya menyuruh Nadia untuk berbalik badan menuju dinding dan berlutut. Nadia yang pasrah hanya bisa mengikuti perintah atasannya itu.
Pada saat ia berbalik badan, satu anggota polisi lain yang bersama Bagas sedari tadi. Dengan secara tiba-tiba menembak kaki kanan dari Nadia, dengan pistol yang dia bawa.
Nadia langsung kembali terjatuh dan merintih kesakitan sesaat setelah menerima tembakan tersebut. Bagas dan satu anggota polisi yang yang mengenakan topeng itu pun pergi, meninggalkan Nadia yang tersungkur lemas di atas tanah.
Sebelum Bagas meninggalkan Nadia yang tergeletak tidak berdaya, dirinya kembali mendekatinya dan langsung melepas lencana serta pangkat yang berada di pundak dari Nadia.
"Setelah ini ... cepat lepas seragam dan ganti bajumu, lalu silahkan angkat kaki dari Kantor Polisi ...!" cetus Bagas yang lalu meninggalkannya.
...
Nadia hanya menangis dan berkali-kali memukuli tanah, dan membuat tangannya sedikit terluka. Tidak lama kemudian, dirinya pun bangkit serta melihat kondisi kaki kanan miliknya yang terkena tembakan.
Beruntungnya tembakan tersebut tidak menggunakan timah panas, melainkan hanya sebuah peluru karet. Namun peluru karet yang cukup panas itu tetap masih bisa melukai kaki kanannya, serta membuat kakinya bengkak dan berdarah.
Dengan sangat tertatih-tatih, Nadia berjalan menuju loker miliknya untuk mengganti serta melepas seragam yang ia pakai. Lalu berjalan perlahan menuju mobil miliknya yang terparkir di depan kantor.
"Kakimu terluka, nggak kau aku bantu ..?" cetus salah satu anggota laki-laki yang berpapasan dengannya.
.
"Kau mau bantuin penghianat seperti dia ..?" sahut salah satu polisi wanita kepada anggota tersebut.
Dengan langkah yang terpincang-pincang, rekan-rekan yang melihatnya sempat membicarakannya, dan beberapa menanyakan keadaannya. Namun Nadia tidak menghiraukan semua perkataan dan pertanyaan mereka semua.
Seketika dirinya merasa kalau semua orang disekitarnya seperti memusuhi serta membencinya. Hampir semua rekan-rekannya pun menganggap dirinya sebagai penghianat.
...
Sesampainya ia di dalam mobil miliknya yang terparkir, semua rekan-rekannya terus saja melihatnya dengan lirikkan dan tatapan sinis. Dirinya pun segera bergegas pergi meninggalkan kantor polisi tercintanya itu.
Nadia tidak tahu harus kemana sekarang, dirinya seakan tidak memiliki arah dan tujuan. Air matanya terus membanjiri pipi dan membuat matanya terlihat lebam me-merah karena terus menangis.
Di tengah perjalanan, Nadia tiba-tiba menepikan mobil yang ia kendarai. Ia merasakan sakit dan perih yang luar biasa pada luka tembak pada kaki kanannya itu. Dirinya pun langsung mengambil kotak pertolongan pertama dari dalam dashboard mobil, dan segera mengobati serta membalut luka tersebut menggunakan perban.
Nadia melakukannya dengan sangat menahan rasa sakit yang cukup perih. Berkali-kali juga air mata miliknya menetes pada perban yang ia genggam. Dengan perlahan ia membalut luka miliknya menggunakan perban, sambil terus meneteskan air matanya.
...
Setelah setidaknya luka miliknya terobati, ia pun mengemas kotak medis miliknya dan kembali menyimpannya. Namun dirinya merasa kalau masih ada satu luka yang belum terobati, dan luka itu baru saja terbuat.
Nadia pun kembali menyetir dan melanjutkan perjalanannya. Ia tidak tahu harus kemana, dan satu-satunya tempat yang dirinya dapat kunjungi sekarang adalah Rumah.
"Kenapa semua ini terjadi di awal hari ku ...?" gumamnya sendirian dengan bercampur dengan isak tangisnya.
Nadia tidak bisa menyalahkan siapapun dalam hal ini, apa yang ia lakukan adalah pilihan dan jalan yang diambilnya sendiri. Dirinya sudah tahu kalau memang semua ini adalah resiko yang akan ia dapat. Namun cukup sulit untuk menerima semuanya dalam waktu yang sangat singkat, dan tanpa seseorang pun di sisinya.
.
~
.
"Kau serius untuk mengeluarkan dia begitu saja ...?" cetus Kibo yang bertanya kepada Bagas perihal Nadia.
"Iya, itu juga sesuai permintaan kawan kita."
.
"Berhubung tidak ada Prawira, kapan lagi aku bisa melihatnya tersiksa seperti tadi," lanjut Bagas yang kemudian berkelakar.
Di saat Bagas bergurau serta berbincang-bincang di ruangan miliknya bersama Kibo. Seseorang memasuki ruangan miliknya secara tiba-tiba dan mengejutkan mereka berdua.
Seseorang tersebut ternyata adalah kawan mereka sendiri, yang datang dengan tujuan untuk memberi informasi serta meminta permintaan.
"Aku mendapatkan lokasi dari markas mereka, Ashgard," celetuknya yang berjalan tergesa-gesa memasuki ruangan.
"Wow ... santai, ada apa ini ...?" sahut Bagas.
.
"Aku mendapatkan lokasi markas dari kelompok yang diketuai oleh Berlin, dan ... aku minta untuk polisi segera mengacaukan tempat mereka ..!"
Mendengar hal tersebut, Bagas pun bertanya-tanya lebih dalam kepada kawannya itu. Tidak hanya itu, dirinya juga mencatat beberapa hal penting untuk membuatnya sebagai kasus dengan tujuan agar kasus tersebut dapat dijalankan.
"Tenang saja, semuanya bisa dilakukan demi ... kelanjutan kelompokmu nanti," ujar Bagas kepada kawan baiknya itu.
"Terima kasih banyak, Pak. Untuk soal Nadia ... biar saya saja, karena itu masalah personal. Namun untuk Berlin ... saya tidak yakin akan bisa mengurusnya sendirian."
.
"Tenang saja, kita kan berasal dari keluarga yang sama ..." sahut Bagas.
"Mungkin ... kalau bisa ... bubarkan kelompok mereka ..., berhubung Berlin sedang berada di luar negeri ...," lanjut seseorang tersebut yang terlihat sangat dekat dengan Bagas.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Arista
sedih
2021-12-06
0
Arista
hiks
2021-12-06
0
Arista
udah nyesek duluan
2021-12-06
0