Malam yang Tenang #12

Nadia sangat bingung dengan sikap yang ditunjukkan oleh Berlin, saat sebelumnya bertatapan dengannya. Dirinya lebih banyak diam saat membiarkan Berlin menggandeng dan menarik tangannya, dengan maksud membawanya ke suatu tempat.

"Tu-tunggu, ini mau ke mana ?" cetus Nadia saat Berlin terus menggandeng tangannya.

Berlin hanya sedikit melirik tajam ke arah kekasihnya itu, dan tidak menghiraukan pertanyaannya. Dirinya tetap dengan menggandeng tangan milik Nadia, dan berjalan perlahan menaiki anak tangga besi tersebut.

"Bos, buru-buru amat kelihatannya ?"

"Santai, Bos. Kami nggak akan menganggu, kok ...."

"Hahaha ..., ambil saja waktumu, Bos !"

Celotehan dari beberapa teman-temannya yang berkumpul di ruang utama lantai dasar kepada Berlin, saat melihat Berlin berjalan perlahan melewati pagar beranda lantai kedua.

"Di brankas belakang ada beberapa pistol gratis buat kalian, silakan ambil saja masing-masing satu !" teriak Berlin kepada teman-temannya yang berada di bawah, sesaat setelah menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kaca yang tertutup dengan sebuah tirai berwarna putih.

"Oh iya, 'kah ?!" sahut Asep yang lalu segera berlari menuju brankas. Begitu pula dengan teman-teman yang lainnya.

"Cuma pistol nih, peluru tambahan nggak ada gitu ?" cetus Galang.

.

"Bodoh, kau udah dikasih bilang 'terima kasih gitu !" sela Kina dengan memukul punggung milik Galang secara keras.

"Aduh ...," seketika Galang sedikit merintih kesakitan setelah menerima pukulan tersebut.

Berlin hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan semua kelakuan, serta mendengarkan semua celotehan yang dibuat oleh teman-temannya yang tengah berkumpul di ruang utama.

"Hahaha ..., Dah ..!" cetus Berlin dengan sedikit melambaikan tangannya, dan lalu menjauh dari pagar beranda tersebut.

"Terima kasih banyak, Bos !" pekik Salva dan juga beberapa teman lainnya kepada Berlin yang berdiri di balik dari pagar beranda lantai kedua.

...

Setelah selesai berbicara beberapa kepada teman-temannya yang berkumpul di bawah. Berlin pun berbalik badan, dan melihat Nadia yang hanya diam berdiri di depan pintu dengan terus menatap ke arahnya.

"Kenapa ?" cetus Berlin dengan nada yang terdengar sangat ramah kepada Nadia.

Seketika Nadia memalingkan pandangannya, dan menjawab, "ti-tidak apa-apa ...," jawabnya dengan sedikit tertunduk dan menyelipkan rambut miliknya di balik telinga.

Nadia cukup terkejut saat melihat ekspresi dan mendengar nada bicara yang baru saja ditunjukkan oleh lelakinya itu. Seakan Berlin tidak menunjukkan rasa kekecewaan atau kemarahan terhadap dirinya.

"Ya sudah, ayo masuk !" titah Berlin dengan menarik tangan milik Nadia.

Dengan perlahan Berlin membukakan pintu kaca tersebut serta mempersilakan Nadia untuk masuk ke dalam ruangannya, dan menutup kembali pintu tersebut secara rapat sesaat setelah dirinya masuk ke dalam ruangan.

Suasana yang begitu dingin sangat dapat dirasakan oleh Nadia, saat mulai memasuki ruangan pribadi milik Berlin. Dirinya juga dapat melihat dua rak buku di sudut ruangan yang tentunya banyak dengan buku-buku yang tersimpan, dan tatanan meja kursi di ruangan tersebut sangatlah rapi.

Nadia pun dengan perlahan berjalan menghampiri sebuah sofa berwarna merah, dan lalu duduk di sofa tersebut. Sofa yang sangat bagus, dan begitu lembut nan empuk itu sangat dapat dirasakannya.

"Apa kabar dirimu, selama aku tinggal ?" cetus Berlin sesaat setelah menutup pintu serta tirai, dan lalu berjalan mendekati Nadia.

Nadia hanya terdiam dengan sedikit menunduk. Dirinya tidak tahu harus menjawab apa, maka dari itu menurutnya akan lebih baik jika dirinya diam saja.

"Kamu baik-baik saja, 'kan ?" tanya Berlin kembali dengan nada yang terdengar sangat lembut nan ramah.

Tetapi pertanyaan yang terlontar tersebut tetap tidak dijawab oleh Nadia.

Karena melihat kekasihnya cukup tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan. Berlin pun menghentikan sejenak dirinya untuk berbicara, dan duduk tepat di samping dari Nadia.

Dengan perlahan menggenggam tangan dan termasuk jari-jemari milik Nadia yang terasa sangat kaku serta dingin. Berlin pun tersenyum ke arahnya, serta menunjukkan kalau dirinya tidak begitu mempermasalahkan tentang apa yang terjadi jadi kepada Nadia.

...

Sesuai dengan semua laporan yang dikirim oleh orang kepercayaan milik Berlin. Dirinya mengetahui beberapa laporan masuk mengenai masalah-masalah yang terjadi dan menimpa kekasihnya tersebut.

Di saat pertama kali Berlin menerima kabar tentang masalah-masalah yang terjadi pada Nadia. Dirinya sempat kaget dan dibuat sangat khawatir dengan kondisi dari Nadia sendiri. Maka dari itu ia memberikan beberapa perintah kepada salah satu orang kepercayaannya, untuk memegang serta mengendalikan masalah tersebut dalam kurun waktu sementara, sampai dirinya kembali ke kota.

"Aku tahu kok ... apa yang terjadi," ucap Berlin dengan pelan sambil menggenggam jari-jemari milik Nadia.

Seketika Nadia menoleh kepada Berlin dengan ekspresi cukup kebingungan dengan perkataan yang terucap dari mulut lelakinya itu.

.

"Ma-maksudnya ...?" cetusnya

Dengan mengangguk dan tersenyum, Berlin menjawab, "ya ... aku sudah tahu semuanya," jawabnya.

Nadia kembali tertunduk sesaat setelah Berlin menjawab demikian. Dirinya pun mengatakan kepada Berlin, "maaf ... aku ... memang tidak dapat diandalkan, aku ... hanya bisa ... membuatmu kecewa dan marah ...," ucapnya dengan nada cukup pelan nan berbisik dan tersendat.

Berlin sedikit tertawa kecil setelah mendengar perkataan tersebut. Dengan memegang pipi kanan milik Nadia yang sedikit berwarna merah. Berlin bertanya, "siapa yang marah kepadamu ...?"

Seketika Nadia menatap kedua mata milik Berlin dengan tatapan kosong, sekaligus dengan sedikit tersipu setelah mendengar pertanyaan tersebut. Ia merasa kalau dirinya sudah salah menduga dan masih belum begitu memahami sifat serta sikap yang dimiliki oleh Berlin.

"Ya ... walau awalnya ... aku sempat kecewa, saat mendapatkan kabar tentang pemecatan mu dari kepolisian," ucap Berlin dengan memalingkan pandangannya dan melepas genggamannya serta memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodienya.

.

"Tetapi ... setelah mengetahuinya secara detil, aku jadi tahu yang sebenarnya ... kalau itu adalah salah ku," lanjutnya sesaat lalu menghela napas dan mendongak melihat ke arah langit-langit ruangan.

"Tidak, itu bukan salahmu, karena aku sendiri yang memilih keputusan itu !" pekik Nadia menggelengkan kepala dan mendekatkan dirinya lebih dekat kepada Berlin.

Berlin menoleh dan memberikan respon dengan hanya tersenyum sambil tertawa kecil, sesaat setelah mendengar perkataan tersebut.

.

"Dasar, kamu ini ...," ucapnya yang lalu tersenyum lebar.

"Hehehe ..., aku juga tidak mungkin dan tidak mau ... memberikan informasi tentangmu ke mereka begitu saja," ujar Nadia dengan menyandarkan kepalanya ke bahu milik Berlin secara perlahan dan terlihat cukup tersipu malu.

"Ya ampun ..., kamu memang tidak berubah, ya ?" sahut Berlin dengan mengelus serta membelai perlahan rambut hitam lurus sedikit bergelombang milik Nadia, yang cukup panjang terurai ke bahu dan menutupi wajah cantiknya.

.

"Kakimu bagaimana, katanya kamu terkena luka tembak ?" sambungnya dengan melihat ke arah kedua kaki milik Nadia yang tertutupi rok panjang berwarna hitam yang dia kenakan.

Dengan sedikit mengangkat rok panjangnya, Nadia menunjukkan bekas luka tembak di kaki kanannya yang sedikit lagi menghilang dan pulih.

.

"Sudah terobati kok, dan ... lukanya juga sudah mulai pulih," ucapnya yang lalu menurunkan kembali roknya.

"Syukurlah kalau begitu ...," gumam Berlin.

"Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri dan meminta maaf seperti tadi. Karena aku berpikir mungkin inilah yang terbaik, maka dari itu aku memilihnya. Di sisi lain aku juga percaya dan yakin terhadap dirimu, Berlin. Dan ... aku percaya ... inilah yang terbaik untuk kita," Nadia mengucapkan beberapa kata yang seketika dapat mengubah pandangan Berlin tentang pemikirannya terhadap kekasihnya itu.

Berlin sendiri sebenarnya sempat sangat kecewa, saat pertama kali mendapatkan kabar tentang pemecatan yang terjadi kepada kekasihnya yaitu Nadia dari kepolisian. Karena Nadia adalah satu-satunya orang yang bisa ia banggakan untuk berada di dalam sebuah instansi tersebut, yang sebenarnya juga sempat menjadi cita-citanya.

Berlin juga sangat ingin terus mempertahankan Nadia untuk tetap berada di jalan yang benar, dan tidak keluar atau bahkan mengikuti jejaknya. Karena ia benar-benar tidak ingin membuat kehadiran dirinya merusak atau mengacaukan Nadia. Tetapi ternyata justru itu malah membuat Nadia cukup kacau, dan dikeluarkan dari kepolisian.

Hati dan pikiran Berlin juga sempat cukup dibuat bimbang dengan banyaknya rasa bersalah yang ia simpan terhadap Nadia. Namun entah mengapa, hati dan pikirannya merasa jauh lebih baik saat setelah bertemu secara langsung dengan kekasihnya itu.

~

Matahari yang sebelumnya masih bersinar pun akhirnya tenggelam. Langit yang sebelumnya berwarna jingga pun perlahan lenyap ditelan oleh gelapnya langit malam. Berlin sadar kalau dirinya sudah sampai melupakan waktu dan keasikan berduaan berbincang dengan Nadia di ruangan pribadinya.

Teman-temannya pun juga satu-persatu mulai pulang menuju rumah atau wisma di mana mereka masing-masing tinggal.

"Bos, kami balik dulu, nanti kalau ada apa-apa dan butuh bantuan ... panggil saja !" pekik Kimmy dan juga Adam saat berdiri di depan pintu ruangan milik Berlin, disusul dengan suara deru mesin kendaraan mereka yang sudah dipanaskan.

Dengan diikuti oleh Nadia, Berlin pun bangkit dari sofa dan membukakan pintu kaca yang tertutup rapat beserta dengan tirai putih itu, untuk menemui Kimmy dan Adam yang sudah berdiri tepat di depan ruangannya.

"Oh, sudah mau istirahat, kalian ?" tanya Berlin sesaat setelah membuka pintu.

"Iya," jawaban singkat yang diberikan oleh Kimmy.

.

"Teman-teman yang lain juga sudah pada lelah, karena dari pagi kami memantau jalannya konferensi pers itu," sambungnya.

"Aku nanti agak malam ada balap ..., jadi aku harus balik lebih awal," ucap Adam.

"Ya sudah, kalian hati-hati, ya ?" cetus Berlin kepada kedua temannya tersebut.

"Yang ada kau yang harus hati-hati," sahut Kimmy dengan sedikit tersenyum sinis serta melirik Nadia yang hanya diam berdiri di samping Berlin.

.

"Iya benar, apalagi di sini tinggal kau ... berdua pula ... sama ...," lanjut Adam dengan sedikit melirik serta mengangkat satu alisnya ke arah Nadia dan lalu tertawa cekikikan setelah mengatakan demikian.

"Hihihi ..., memangnya kenapa ?" celetuk Nadia sesaat setelah dirinya tertawa kecil melihat tingkah laku dari kedua temannya itu.

"Eng-enggak ... nggak ada apa-apa kok," sahut Kimmy yang menjawab pertanyaan Nadia dengan sedikit tertawa kecil.

"Nadia, hati-hati ... Berlin suka nakal soalnya, hahahaha ...," cetus Adam yang lalu melepaskan tawanya yang tidak dapat dibendung lagi.

"Biar aku cubit lalu aku marahin nanti kalau dia nakal," ucap Nadia dengan nada dan sikap polosnya.

.

"Emangnya kamu bisa marah ?" sela Berlin dengan sedikit melirik tajam ke arah Nadia.

"Gak percaya ya udah !" sahut Nadia dengan nada yang terdengar cukup kesal serta lalu memalingkan wajahnya dari hadapan Berlin.

"Eh, iya, iya, jangan marah, ya ?" ujar Berlin dengan sedikit merangkul dan merayu Nadia yang memalingkan muka darinya.

"Dam, sepertinya kita lebih baik pergi segera ?" cetus Kimmy kepada Adam yang berdiri di sampingnya.

"Iya nih, kita kayak tidak dianggap di sini," jawab Adam.

"Ya sudah, Bos. Kami duluan !" ujar Kimmy yang lalu berjalan pergi menuruni anak tangga bersama Adam, untuk menuju ke mobil miliknya yang terparkir di ruang utama.

"Oke, hati-hati kalian !" ucap Berlin dengan sedikit melambaikan tangannya kepada kedua temannya yang baru saja pergi.

...

Beberapa saat kemudian dan tidak lama, suasana bengkel tersebut kembali sepi sama seperti sebelumnya saat Berlin sampai di awal untuk membersihkan serta mempersiapkan tempat itu. Tetapi ia tidak sepenuhnya merasa kesepian setelah teman-temannya pulang, karena di situ dirinya ditemani oleh Nadia yang masih bersamanya.

Begitu juga dengan apa yang dirasakan oleh Nadia. Dirinya tidak lagi merasa sangat kesepian, saat kembali bertemu dan berada di dekat dengan lelakinya itu.

"Sudahlah ... jangan terlalu memikirkan semua masalah yang sudah berlalu," ucap Berlin dengan bersandar di pagar beranda besi yang berada di depannya.

Nadia menatap kembali Berlin dari atas sampai bawah, begitu pula dengan sebaliknya. Dirinya kembali dibuat tertegun dengan sikap dan penampilan Berlin yang sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dengan memakai hoodie berwarna biru dan bertuliskan Ashgard di bagian punggung, serta celana pensil berwarna hitam polos itu membuat penampilan Berlin sangat santai dan sempurna di mata Nadia.

"Kenapa melamun ?" cetus Berlin saat menatap tatapan kosong yang diberikan Nadia saat menatap dirinya.

.

"Ti-tidak apa," jawab Nadia dengan sedikit tertunduk tersipu.

"Ayo, kita cari udara segar aja ke atas ...!" titah Berlin yang lalu kembali menggandeng tangan milik Nadia, dan berjalan menghampir anak tangga menuju atap.

"Atas ...?" gumam Nadia yang terlihat bingung dengan apa yang Berlin maksudkan.

~

Berlin dengan perlahan mengajak Nadia berjalan menaiki anak tangga menuju atap dari bengkel miliknya. Walau terlihat cukup bingung, tetapi Nadia milih untuk mengikuti saja lelakinya itu.

Nadia tidak menyadari kalau ada anak tangga lagi setelah lantai kedua sebelumnya. Bahkan dirinya juga baru menyadari kalau ternyata tempat milik Berlin ini juga cukup luas, dan memiliki penataan yang cukup rapi untuk sebuah bengkel.

Sesampainya Nadia di depan dari sebuah pintu kayu berwarna putih dan cukup elegan menurutnya. Berlin dengan perlahan memutar gagang pintu tersebut, dan membuka pintu kayu tersebut secara pelan.

"Semoga ... kamu nyaman dengan tempatnya, ya ...?" ujar Berlin saat perlahan membuka pintu tersebut.

Nadia cukup terpukau dengan suasana tenang dan bersahabat yang sangat terasa meliputi tempat itu. Seketika angin malam berhembus sepoi-sepoi menyambutnya, saat dirinya melangkah ke luar melewati pintu tersebut.

Langit malam yang sangat cerah dan terlihat terhiasi dengan banyaknya bintang-bintang bahkan sudah seperti lautan bintang, dapat Nadia saksikan dengan sangat jelas dari atap di mana dirinya sekarang berada.

Dengan mata yang sangat berbinar-binar, Nadia mengucap, "indahnya ...," ucapnya sambil terus-menerus mendongak ke arah langit, dan berjalan mengikuti Berlin yang menghampiri sebuah bangku kayu yang tersedia di sana.

"Aku baru sadar ... kalau atap ini bisa dijadikan untuk melihat bintang, kalau langitnya sedang cerah," ucap Berlin dengan duduk di bangku tersebut.

Mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Berlin. Nadia tersenyum sendiri, dan mulai duduk tepat di samping dari lelakinya itu. Melihat bintang adalah salah satu kesukaan Nadia sedari kecil, apalagi jika dirinya mendapatkan momen untuk dapat melihat bintang jatuh secara langsung dengan kedua mata kepalanya.

...

Berlin dapat melihat ekspresi ceria yang sangat terlihat di raut wajah miliknya kekasihnya itu. Dirinya juga cukup tertegun saat menatap langsung kedua bola mata milik Nadia yang sangat indah bersinar di bawah langit berbintang.

"Tidak salah ... Nayanika adalah bagian dari nama mu ...," gumam Berlin dengan menatap kagum kedua mata milik Nadia.

"Memangnya ... ada yang salah ...?" sahut Nadia saat menoleh ke arah Berlin.

Berlin menanggapinya dengan menggelengkan kepala, dan mengatakan, "tidak ada yang salah kok ..., cuma sesuai dengan artinya, yaitu ... mata yang indah ...," ucapnya yang lalu tersenyum ke arah Nadia.

Perkataan yang diterima oleh Nadia tersebut seketika cukup membuat lututnya terasa lemas, dan jantungnya berdetak sangat kencang tak beraturan. Dirinya pun seketika dibuat sangat tersipu malu saat Berlin mengatakan demikian kepadanya.

"Oh iya, apa kamu lupa, hari ini adalah hari apa ?" cetus Berlin tiba-tiba.

"Hari ... Sabtu, 'kan ...?" jawab Nadia dengan nada yang sedikit ragu.

"Astaga ..., masa kamu lupa," sahut Berlin dengan menepuk jidatnya.

.

"Tanggal berapa coba ?" sambungnya dengan kembali memberi pertanyaan.

"Aduh ... aku nggak terlalu memperhatikan kalender. Memangnya kenapa, sih ...?" jawab Nadia yang terlihat bingung dengan apa yang Berlin maksudkan.

Berlin terlihat sedikit tersipu dan menahan tawanya, serta menghela napas panjang saat mengetahui kalau kekasihnya itu melupakan salah satu hal yang penting.

"Ya ampun ..., apa semua masalah yang terjadi ... sampai membuatmu lupa, kalau ini hari yang penting ?" ujar Berlin yang terlihat sangat sibuk mencari sesuatu dengan merogoh saku di hoodienya.

"Ma-maaf ..., aku benar-benar bingung, aku bingung dan tidak paham dengan apa yang kamu maksudkan," jawab Nadia dengan menundukkan kepalanya karena sedikit merasa bersalah.

"Tidak apa, aku ... hanya ingin memberimu ini ...," sahut Berlin dengan tersenyum serta memberikan sebuah kotak hadiah berwarna merah kepada kekasihnya itu.

.

"Selamat ulang tahun ...," sambungnya dengan tersenyum lebar ke arah wanitanya tersebut, dan dengan perlahan membuka kotak kecil hadiah yang ia bawa.

Terlihat sebuah kalung berbentuk hati berukuran kecil yang sangat cantik berwarna emas, dan memiliki ukiran huruf inisialnya yaitu 'N' yang tidak terlalu terlihat dengan jelas namun timbul pada permukaan hati tersebut. Kalung tersebut terlihat tertata sangat rapi di dalam dari kotak hadiah berwarna merah tersebut, yang ditujukan kepadanya.

Seketika ucapan serta hadiah tersebut membuat Nadia terdiam, dan juga membuat matanya cukup berkaca-kaca karena penuh dengan air mata. Ia sangat terharu dengan apa yang Berlin berikan kepadanya.

Selama bertahun-tahun sebelumnya, Nadia belum pernah mendapatkan ucapan ulang tahun termasuk hadiah dari orang-orang terdekatnya. Karena dirinya memang tidak memiliki orang-orang berharga seperti saudara dan sanak keluarga.

"Jadi ... kamu tidak suka dengan ... hadi ---" ucap Berlin.

.

"Huh ...."

Nadia langsung memotong ucapan tersebut dengan menangis dan memeluk erat lelakinya itu. Dirinya sudah tidak dapat menahan rasa haru dan air mata yang sudah penuh terbendung.

"Aku ... suka kok ..., terima kasih ..., terima kasih banyak ..., terima kasih untuk semuanya ...," ucap Nadia saat memeluk erat lelakinya itu, dan dengan nada yang terdengar tersendat-sendat oleh isak tangis yang mewarnainya.

Berlin pun juga membalasnya dengan pelukan, serta sampai membuat kekasihnya itu tenggelam dalam dekapan yang ia berikan. Dirinya dengan perlahan mengelus serta juga mengusap air mata yang membanjiri pipi milik wanitanya tersebut.

"Kamu mau memakainya ...?" ucap Berlin dengan sangat pelan saat sibuk mengusap air mata yang membasahi pipi milik Nadia.

"He'em ...," gumam Nadia dengan mengangguk dan tersenyum bahagia kepada Berlin.

Berlin pun mengambil kalung tersebut dan dengan perlahan melingkarkannya ke leher Nadia. Dirinya beberapa kali merapikan rambut hitam milik kekasihnya itu dengan jari-jemarinya.

"Terima kasih !" ucap Nadia yang lalu dengan sikap manjanya ia memeluk dan bersandar di dada milik lelakinya itu.

"Hahaha ..., iya ... sama-sama ...," jawab Berlin sesaat setelah tertawa kecil menertawakan dengan sikap manja yang sangat terlihat dari diri Nadia.

.

"Dasar ...," lanjutnya dengan perlahan mengelus kepala milik kekasihnya.

Nadia terlihat sangat bahagia di momen tersebut. Dirinya merasa sangat nyaman saat berada di dekat Berlin, dan merasa sangat senang ketika menerima ucapan serta hadiah yang sangat berharga di hari ulang tahunnya.

...

"Um ... tetapi ...," gumam Nadia dengan raut wajah ragu serta meraih kalung yang melingkar di lehernya.

.

Belum selesai berbicara, Berlin memotong perkataan yang diucapkan oleh Nadia dengan mengatakan, "tenang saja ..., kalung itu aku beli dengan hasil dari usahaku sendiri, bukan hasil dari tindakan kriminal, hehehe ...," ucapnya dengan meraih tangan milik Nadia yang sibuk memegangi kalung yang melingkar di lehernya.

"Tetapi ... ini terlihat sangat mahal, dan ... apa aku cocok menggunakan aksesoris seperti ini ...?" sahut Nadia dengan nada dan ekspresi wajah yang sangat polos.

Berlin kembali tersenyum lebar saat mendengar apa yang dikatakan oleh Nadia. Dirinya sedikit tertawa kecil saat melihat sikap polos yang sangat terlihat dari diri Nadia. Dengan menggenggam tangan milik kekasihnya yang sangat lembut dan halus, Berlin mengatakan, "aku belum pernah melihatmu memakai aksesoris atau perhiasan seperti itu, bahkan seperti anting saja kamu tidak memakainya."

.

"Ya ... walau tidak memakai perhiasan seperti itu, menurutku ... kamu tetap saja sudah cantik dengan penampilan yang sederhana itu," lanjutnya yang lalu tersenyum kepada kekasihnya.

"Hehehe ..., aku memang belum pernah membeli atau memakai aksesoris seperti ini," sahut Nadia dengan pipi yang terlihat memerah tersipu canggung.

.

"Makanya, aku sangat berterima kasih kepadamu, karena ... sudah memberiku hadiah ini, walau sebenarnya ... aku juga tidak mengharapkannya, aku saja lupa dengan hari istimewa ku," lanjutnya dengan nada yang sangat bahagia serta menggenggam erat jari-jemari milik Berlin.

Berlin mendekatkan wajahnya dengan menatap tajam kedua mata indah milik Nadia. Dengan mengusap kepalanya dan tertawa kecil, dirinya mengatakan, "hehehe ..., itu juga bentuk permintaan maaf ku karena telah membawakan banyak masalah kepadamu."

Nadia terlihat tersenyum tulus saat Berlin mengatakan demikian. Senyuman yang sangat manis itu dapat Berlin saksikan secara langsung di depan matanya.

.

"Huh ..., senang bisa melihatmu tersenyum dan terlihat bahagia," gumam Berlin di dalam hatinya dengan menghembuskan napas panjang, dan mendongak melihat ke arah bintang-bintang yang sangat banyak menghiasi langit malam.

Nadia yang terlihat sangat senang, dan terus sibuk melihat ke kalung yang ia pakai di lehernya. Dirinya dengan perlahan mulai menyandarkan kepalanya ke bahu milik Berlin, dengan terus memegangi kalaung hati tersebut di lehernya.

Berlin pun membalasnya dengan merangkul dan beberapa kali membelai rambut hitam milik Nadia yang terurai tak terikat, dan dengan pandangan terus melihat ke arah langit yang sangat cerah penuh dengan bintang.

Berlin merasa sangat senang dan lega ketika bisa melihat Nadia baik-baik saja bersamanya. Karena di saat dirinya masih berada di luar negeri dan mendapatkan kabar yang sangat mengkhawatirkan tentang Nadia. Dirinya cukup gelisah dan dibuat selalu terpikirkan tentang keadaan dari kekasihnya itu.

Tetapi akhirnya semua itu terbayar setelah melihat dan mengetahui sendiri kondisi serta keadaan dari Nadia yang baik-baik saja.

"Kamu tidak pulang ...?" tanya Berlin kepada Nadia yang terlihat tertunduk diam saja saat bersandar di bahunya.

Namun tidak ada jawaban dari Nadia, dan hanya tertunduk diam saja.

Berlin pun melirik dan mengintip wajah Nadia yang tertutup dengan rambut miliknya yang terurai menutupinya.

Di saat Berlin merapikan rambut yang terurai menutupi wajah tersebut. Dirinya terkejut setelah mendapati kekasihnya yang tertidur pulas dengan keadaan tangan masih terus menggenggam kalung yang ia pakai di lehernya.

"Ya ampun ...," gumamnya dengan mengelus perlahan pipi milik kekasihnya yang terasa sangat lembut.

Berlin cukup merasa kasihan dengan kekasihnya yang terlihat sangat kelelahan dan tertidur pulas dalam pelukannya.

"Kamu itu hebat, Nadia. Kamu masih bisa bertahan sampai dengan detik ini, dan sekarang ... biar aku yang mengambil alih semua masalahnya, ya ...?" ucapnya sendiri kepada dan berbisik kepada Nadia yang terlihat sedang tertidur pulas.

...

Setelah Berlin berbicara beberapa dengan sendirinya, kepala milik Nadia tiba-tiba seakan terjatuh karena saking lemasnya, dan membuat Nadia sedikit terbangun.

"Uh ... oh ..., maaf aku tertidur. Tadi kamu bicara apa ...?" ucap Nadia saat menoleh menatap ke arah Berlin, dan dengan nada yang terdengar sungguh lemas.

Berlin tersenyum kepadanya dan mengatakan, "tidak ada apa-apa kok," ucapnya dengan menggelengkan kepala dan dengan nada yang terdengar sungguh lembut.

.

"Oh iya, kalau kamu mau ... kamu bisa pakai ruanganku untuk istirahat," lanjutnya.

"Baiklah, aku turun terlebih dahulu, ya ?" jawab Nadia dengan mata yang sangat berat dan masih setengah terpejam.

.

"Kamu bagaimana ?" lanjutnya dengan mengucek salah satu matanya.

"Aku masih ingin berada di sini, kamu dahulu saja tidak apa-apa," jawab Berlin dengan menatap kedua mata milik kekasihnya yang terlihat sangat berat karena menahan rasa ngantuk.

Dengan perlahan dan beberapa kali mengucek matanya. Nadia bangkit dari duduknya di samping Berlin, dan mulai berjalan memasuki pintu untuk berjalan turun menaiki anak tangga tersebut.

"Hati-hati dengan anak tangganya, ya ...!" cetus Berlin dengan melihat Nadia yang perlahan memasuki pintu untuk menuruni anak tangga.

"Baik ...!" jawab Nadia dengan nada sungguh pelan, dan sempat terlihat menguap.

...

Malam ini adalah malam yang sangat indah dan tenang yang dapat dirasakan oleh Berlin, setelah sekembalinya dirinya dari perjalanan yang cukup lumayan lama di dalam pesawat.

Berlin tidak menyangka akan jadi seperti ini kepada dirinya, kelompoknya, dan juga kepada kekasihnya yaitu Nadia. Dirinya sangat mengetahui dan sadar kalau semua masalah yang sedang dihadapi termasuk masalah yang menimpa Nadia, sangat dapat membahayakan keselamatan dari kekasih wanitanya tersebut.

Tidak hanya itu, tentu semua masalah yang sudah terjadi sangat dapat membahayakan teman-temannya, sekaligus membahayakan Berlin sendiri.

Karena sudah terlanjur terjadi dan seperti ini jadinya. Maka Berlin merasa dirinya harus bertanggung jawab atas semuanya terhadap teman-temannya, termasuk juga dirinya harus bertanggung jawab terhadap kekasihnya yaitu Nadia. Karena juga dirinyalah yang membawa Nadia sampai berada di titik ini.

"Huh ..., santai sejenak tidak masalah lah ...," gumamnya dengan berbaring di bangku tersebut, dan menatap ke arah bintang-bintang yang berada di atasnya.

"Nadia, aku ... benar-benar minta maaf atas semua yang telah terjadi kepadamu. Aku tidak tahu pasti ... bagaimana kondisimu, saat menghadapi semua itu. Jadi ... maafkan aku, Nadia. Pasti kamu telah melewati hari-hari yang sangat berat, karena telah menanggung semua itu." Berlin bergumam sendirinya dengan tatapan kosong ke arah langit malam yang tampak indah itu.

"Dunia yang sangat kelam ini ..., dan ... aku membawamu masuk ke dalam duniaku ...?"

"Dasar penjahat," gumamnya dengan mengangkat dan melihat telapak tangannya di bawah ribuan bintang.

"Huh ..., tetapi aku berjanji ... akan terus bersama mu, Nadia. Kamu tenang saja ...," gumamnya kembali.

Dunia kriminal atau dunia yang sangat kelam, telah menjadi keberadaan Berlin sedari dahulu. Namun Berlin justru malah membawa seseorang yang ia cintai masuk ke dalam dunia tersebut. Dirinya merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi kepada Nadia. Rasa bersalah itu tidak dapat ia hilangkan begitu saja dari pikiran dan ingatannya.

"Ingatan ...?"

Berlin merasa telah melupakan suatu ingatan yang saat ini sangat penting, dan ingatan tersebut berasal dari masa lalunya. Dirinya benar-benar tidak dapat mengerti dengan ingatan seperti apa yang telah ia lupakan. Tetapi dirinya merasa kalau benar ada suatu ingatan yang secara sengaja atau tidak telah ia lupakan.

"Ingatan seperti apa ...?"

.

Bersambung

Terpopuler

Comments

kzqrzbz

kzqrzbz

lucu bangetttt/Scowl/

2023-11-16

1

Andy

Andy

gemes banget sih Nadia 😍
Berlin juga kelihatannya memahami perasaannya Nadia 🥺
semangat author, aku suka dengan ceritanya 🔥💪

2021-05-19

2

Taki

Taki

sweet banget dah mereka berdua 🥺😍

2021-05-19

3

lihat semua
Episodes
1 Kenangan #1
2 Kejam #2
3 Hari yang Berat #3
4 Pilihan #4
5 Salah Paham #5
6 Lingkup Baru #6
7 Pemimpin #7
8 Masalah #8
9 Aku Pulang #9
10 Tempat Baru #10
11 Kembali Bertemu #11
12 Malam yang Tenang #12
13 Keluarga #13
14 Prioritas #14
15 Membunuh atau Dibunuh #15
16 Villa #16
17 Mimpi #17
18 Dendam #18
19 Misi Lama Terlaksana #19
20 Bergerak #20
21 Meledak #21
22 Kacau #22
23 Sebuah Ramalan #23
24 Anak Ramalan #24
25 Anak Laki-laki #25
26 Kakak yang Payah #26
27 Saat Pertama Bertemu #27
28 Bingung #28
29 Rencana Kedua #29
30 Pria Misterius #30
31 Boneka Berdarah #31
32 Bersamamu (bagian satu) #32
33 Bersamamu (bagian dua) #33
34 Sinar Matahariku #34
35 Menyesal #35
36 Takut dan Bersalah #36
37 Diserang #37
38 Pelarian #38
39 Objektif Selesai #39
40 Deklarasi #40
41 Malam yang Indah #41
42 Pertemuan Singkat #42
43 Hasil Pertemuan #43
44 Lekas Pulih #44
45 Surat #45
46 Keinginan #46
47 Anak-anak #47
48 Penghambat #48
49 Nostra #49
50 Dunia Malam #50
51 Kediaman Gates #51
52 Rencana #52
53 Latihan Menembak #53
54 Awal yang Buruk #54
55 Ragu #55
56 Ingin Terus Bersamanya #56
57 Penawaran Menarik #57
58 Persiapan #58
59 Tim Pengintai #59
60 Mimpi Buruk #60
61 Mafioso in Action #61
62 Sifat yang Tiba-tiba Berubah #62
63 Tawanan #63
64 Penolakan yang Menyakitkan #64
65 Aku Di Sini Menjemput Mu #65
66 Saudara #66
67 Helikopter Militer, Kota Kacau #67
68 Bagian Timur Kota #68
69 Meluapkan Amarah #69
70 Ajaran Pengorbanan Diri #70
71 Manusia, Bom Waktu? #71
72 Bulan yang Terang Di Antara Percikan Api #72
73 Menyesal, Kesalahan Masa Lalu #73
74 Membalikkan Keadaan #74
75 Akhirnya Berhadapan #75
76 Duel Pedang #76
77 Ketenangan Malam yang Kembali #77
78 Akhir, Kejelasan #78
79 Terima Kasih #79
80 Koneksi #80
81 Kelompok Putih #81
82 Kepastian #82
83 Pekerjaan Tetap? #83
84 Kesempatan? #84
85 Lenggang #85
86 Di Balik Kabut #86
87 Kesempatan untuk Ashgard #87
88 Semua Tentang yang Ia Lupakan #88
89 Tempat yang Dijanjikan #89
90 Ancaman? #90
91 Rumit #91
92 Pesta Pernikahan #92
93 Penguntit #93
94 Khawatir? #94
95 Pulau yang tak Terpetakan? #95
96 Tiba-tiba Risau #96
97 Bertamu #97
98 Surat Lagi dan Lagi #98
99 Sebelum Hari Esok #99
100 Hari yang Sangat Penting #100 (END)
101 #Chapter Bonus
102 Pengumuman Untuk Pembaca!
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Kenangan #1
2
Kejam #2
3
Hari yang Berat #3
4
Pilihan #4
5
Salah Paham #5
6
Lingkup Baru #6
7
Pemimpin #7
8
Masalah #8
9
Aku Pulang #9
10
Tempat Baru #10
11
Kembali Bertemu #11
12
Malam yang Tenang #12
13
Keluarga #13
14
Prioritas #14
15
Membunuh atau Dibunuh #15
16
Villa #16
17
Mimpi #17
18
Dendam #18
19
Misi Lama Terlaksana #19
20
Bergerak #20
21
Meledak #21
22
Kacau #22
23
Sebuah Ramalan #23
24
Anak Ramalan #24
25
Anak Laki-laki #25
26
Kakak yang Payah #26
27
Saat Pertama Bertemu #27
28
Bingung #28
29
Rencana Kedua #29
30
Pria Misterius #30
31
Boneka Berdarah #31
32
Bersamamu (bagian satu) #32
33
Bersamamu (bagian dua) #33
34
Sinar Matahariku #34
35
Menyesal #35
36
Takut dan Bersalah #36
37
Diserang #37
38
Pelarian #38
39
Objektif Selesai #39
40
Deklarasi #40
41
Malam yang Indah #41
42
Pertemuan Singkat #42
43
Hasil Pertemuan #43
44
Lekas Pulih #44
45
Surat #45
46
Keinginan #46
47
Anak-anak #47
48
Penghambat #48
49
Nostra #49
50
Dunia Malam #50
51
Kediaman Gates #51
52
Rencana #52
53
Latihan Menembak #53
54
Awal yang Buruk #54
55
Ragu #55
56
Ingin Terus Bersamanya #56
57
Penawaran Menarik #57
58
Persiapan #58
59
Tim Pengintai #59
60
Mimpi Buruk #60
61
Mafioso in Action #61
62
Sifat yang Tiba-tiba Berubah #62
63
Tawanan #63
64
Penolakan yang Menyakitkan #64
65
Aku Di Sini Menjemput Mu #65
66
Saudara #66
67
Helikopter Militer, Kota Kacau #67
68
Bagian Timur Kota #68
69
Meluapkan Amarah #69
70
Ajaran Pengorbanan Diri #70
71
Manusia, Bom Waktu? #71
72
Bulan yang Terang Di Antara Percikan Api #72
73
Menyesal, Kesalahan Masa Lalu #73
74
Membalikkan Keadaan #74
75
Akhirnya Berhadapan #75
76
Duel Pedang #76
77
Ketenangan Malam yang Kembali #77
78
Akhir, Kejelasan #78
79
Terima Kasih #79
80
Koneksi #80
81
Kelompok Putih #81
82
Kepastian #82
83
Pekerjaan Tetap? #83
84
Kesempatan? #84
85
Lenggang #85
86
Di Balik Kabut #86
87
Kesempatan untuk Ashgard #87
88
Semua Tentang yang Ia Lupakan #88
89
Tempat yang Dijanjikan #89
90
Ancaman? #90
91
Rumit #91
92
Pesta Pernikahan #92
93
Penguntit #93
94
Khawatir? #94
95
Pulau yang tak Terpetakan? #95
96
Tiba-tiba Risau #96
97
Bertamu #97
98
Surat Lagi dan Lagi #98
99
Sebelum Hari Esok #99
100
Hari yang Sangat Penting #100 (END)
101
#Chapter Bonus
102
Pengumuman Untuk Pembaca!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!