Baruna lalu mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Keris itu memiliki gagang berwarna putih terbuat dari kayu jati yang dilapisi gading serta perak. Sementara bilah keris itu berwarna putih transparan hingga nyaris terlihat bagaikan tembus pandang serta tidak memiliki bilah, jika pada bagian bilahnya tidak terdapat pola angin serta awan yang menghiasi bilah tersebut. Pada bagian pangkal bilah tersebut, terdapat bentuk dua orang perempuan muda yang sedang duduk bersila berhadap-hadapan mengadahkan tangan seolah-olah sedang berdo’a serta memohon
sesuatu.
“Berhembuslah…Rudra Arutala.” Baruna mengayunkan keris itu dengan pelan seolah-olah membelah udara,
lalu tiba-tiba muncul hembusan angin lembut bersamaan dengan bilah keris itu yang bergetar hebat. Hembusan angin yang muncul tiba-tiba itu seakan-akan sebuah makhluk hidup karena hanya bertiup di sekitar bangunan rumah makan, dan sesekali berpusar secara perlahan disekitar Baruna. Kemudian, usai muncul hembusan angin yang seolah-olah hidup itu, bilah keris Rudra Arutala secara perlahan menghilang bagaikan terurai di udara. Dikelilingi hembusan angin lembut yang mengelilinginya, Baruna kini hanya menggenggam sebuah tongkat serta sebuah keris tanpa bilah.
“Itu keris Rudra Arutala!” Seru Wardhana ketika melihat keris yang digenggam Baruna. “Salah satu dari delapan pusaka suci yang berada di Ibu Kota.”
“Bocah laknat!?” Maki Ranggaseta ketika melihat keris Rudra Arutala di tangan Baruna. “Tidak hanya membunuh Guru, rupanya kau juga mencuri pusaka suci itu. Apa kau tahu, beberapa bulan lalu, berita hilangnya keris pusaka Rudra Arutala sudah terdengar oleh pihak Kerajaan, Raja begitu marah hingga kemudian menitahkan Perguruan Harimau Bulan dibubarkan!”
“Jadi Perguruan Harimau Bulan sudah tidak ada lagi di Kerajaan ini?”
“Benar, semuanya itu gara-gara salahmu keparat!” Ranggaseta melempar kursi dengan kepala Baruna sebagai sasaran. Tapi Baruna bergerak menyamping dengan lembut dan kursi yang melesat itu pun hanya menabrak udara kosong sebelum akhirnya jatuh di tanah dan hancur berkeping-keping.
“Entah Kakang percaya atau tidak.” Baruna menghela nafas panjang sambil menatap pasrah seolah-olah Ia sudah lelah menjelaskan banyak hal kepada Ranggaseta. “Selama ini, Rudra yang memilih dan mengikutiku. Bukan sebaliknya.”
Usai Baruna berkata demikian, enam orang jawara yang paling berani mencoba menjatuhkan Baruna dengan merangsek maju menyerangnya dengan jurus pukulan dan tendangan. Akan tetapi, hanya dalam sekejap mata keenamnya itu takluk oleh Baruna yang jurus-jurusnya begitu cepat hingga sulit diikuti oleh para jawara yang menyaksikan pertarungan itu. Usai mencabut keris pusaka itu, Gerakan Baruna benar-benar sulit ditangkap oleh mata, bahkan oleh pendekar sekelas Ranggaseta pun hanya mampu melihat kelebatan pola Gerakan Baruna. Tubuh para jawara itu berjatuhan seperti dedaunan kering tertiup angin kencang.
“A…apa yang terjadi.” Wardhana terlihat takut bercampur bingung saat melihat keenam jawara pengikutnya ambruk.
Melihat rekan-rekannya kalah dengan begitu singkat, para jawara yang tersisa hanya termangu, kali ini mereka ragu untuk menyerang Baruna secara bersama-sama untuk kedua kalinya. Mereka gentar melihat gerakan Baruna yang begitu cepat hingga sulit ditangkap oleh penglihatan mereka. Mengetahui para jawara itu gentar usai menyaksikan kehebatan jurus-jurus Baruna, Ranggaseta begitu kesal pada para jawara itu.
“Kalian ini anjing-anjing Bupati tidak berguna. Hanya berani menyalak jika di depan perempuan dan anak-anak.”
Para jawara hanya menciut saat Ranggaseta berkata demikian, ajudan Bupati itu kemudian memaki-maki mereka semua dengan sesekali menyemburkan umpatan-umpatan kasar. Wardhana hanya menatap dengan setengah ketakutan ketika melihat Ranggaseta memarahi anak buahnya. Selain dengan ayahnya, anak Bupati Lamunarta
itu juga begitu takut jika sedang berhadapan dengan Ranggaseta yang sedang marah. Meski pun sama-sama pendekar, kedudukan Ranggaseta sebagai ajudan utama sang Bupati Lamunarta jauh lebih tinggi dibandingkan para jawara itu. Ditambah lagi dengan Ranggaseta memiliki kemampuan bela diri yang sangat hebat, membuat mereka semakin segan pada Ranggaseta.
Para jawara itu hanya bisa pasrah sebagai bawahan, ketika Ranggaseta memperlakukan mereka dengan sesuka hati. Termasuk dengan kebiasaan Ranggaseta memaki atau melontarkan kata-kata yang membuat hati panas, saat para jawara melakukan kesalahan atau gagal menjalankan tugas. Adegan cukup janggal pun terjadi ketika sosok para jawara yang umumnya memiliki reputasi menakutkan di mata orang banyak, menundukkan kepala seperti anak kecil yang sedang dimarahi. Meski demikian, sorot mata para jawara itu begitu mengkilat penuh kebencian serta dendam saat Ranggaseta memunggungi mereka semua. Dari dalam hati mereka yang dikuasai dendam, mereka bertekat akan membalas segala perlakuan semena-mena Ranggaseta bila memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Amarah Ranggaseta pada para jawara membuatnya melupakan tujuannya untuk mengalahkan Baruna untuk sesaat. Meski demikian, Baruna tidak mengambil kesempatan untuk melarikan diri atau menyerang mendadak Ranggaseta meski pun memiliki kesempatan untuk melakukannya. Ia pun dengan sabar menunggu Ranggaseta memaki-maki para jawara itu untuk beberapa lama. Kemudian setelah puas memaki-maki para jawara itu, Ranggaseta menyadari bahwa melupakan tujuannya mengalahkan Baruna. Saat kembali ingat mengenai Baruna, Ranggaseta kemudian menyadari jika adik seperguruannya itu sama sekali tidak mengambil keuntungan ketika Ranggaseta sedang lengah dan melampiaskan emosinya kepada para jawara itu..
“Kenapa kau tidak melarikan diri atau menyarangku saat lengah tadi?” Tanya Ranggaseta dilanda keheranan saat melihat sikap Baruna.
Baruna hanya menghela nafas lalu berkata. “Untuk apa Kakang, jika kau lebih kuat dari
padaku, kau bisa mengejarku saat diriku tadi melarikan diri. Kalau pun aku menyerang mendadak, jika Kakang Ranggaseta lebih kuat dariku seranganku juga tidak begitu berarti. Seandainya tadi aku melarikan diri dari sini pun, akan semakin banyak orang-orang yang mengejarku. Cara terbaik yang bisa kupikirkan saat ini hanya mengalahkan mereka, dan memastikan mereka tidak akan lagi memburu diriku."
“Jadi menurutmu lebih baik kau mengalahkan para pendekar yang sedang memburumu?”
Baruna mengangguk. “Jika aku tidak segera mengalahkan mereka secepatnya satu lawan satu, orang-orang yang memburuku akan semakin bertambah banyak dan membuat diriku tambah kerepotan karena pada akhirnya diriku harus menghindar atau melawan mereka semua sekaligus.”
“Huh…jika demikian, akulah orang terakhir yang memburumu, karena jasadmu akan dipajang di kota Lamunarta nanti.” Ranggaseta menyeringai galak.
“Itu jika Kakang bisa menang dariku. Kakang bukan orang pertama yang memburuku dengan alasan membalaskan dendam mendiang Guru. Tetapi, sayangnya bukan orang terakhir yang memburuku.”
“Sialan, kau meremehkanku rupanya!?”
“”Aku tidak meremehkan Kakang, yang kukatakan adalah kenyataan yang tidak bisa Kakang sangkal dan hindari lagi. Kakang bukan orang yang terkuat di perguruan Harimau Bulan, aku sudah bertemu beberapa saudara seperguruan kita yang jauh lebih kuat dari Kakang. Mereka semua mengatakan akan membunuhku untuk membalaskan dendam Guru. Tapi usaha mereka semua berakhir dengan kegagalan. Kenyataannya aku bisa berada di kota ini bertemu dengan Kakang adalah buktiknya.”
“DIAM KAU!” Raung Ranggaseta sambil menusukkan tombaknya.
Suara desingan kencang yang seolah-olah merobek udara terdengar saat tombak Ranggaseta melesat mengincar lambung Baruna. Akan tetapi udara disekitar Ranggaseta seolah-olah berpusar dan membentuk aliran angin janggal yang menghambat pergerakannya. Ranggaseta kemudian mengenali bahwa angin yang menghalangi geraknya, merupakan salah satu kemampuan dari keris pusaka Rudra Arutala. Hal tersebut justru membuat dirinya ditambah disapu amarah yang menjadi-jadi. Ia justru semakin beringas dan makin bernafsu untuk melubangi tubuh Baruna dengan serangan-serangan tombak Kyai Pralananta miliknya. Meski demikian, pusaka Rudra Arutala mampu membantu Baruna mengatasi serangan-serangan ganas dari Ranggaseta.
Baruna yang berhasil menghindari serangan-serangan Ranggaseta kemudian berinisiatif menyerang dengan tongkatnya. Ia pun menyabetkan tongkatnya beberapa kali dengan kepala bagian samping Ranggaseta sebagai sasarannya. Serangan Baruna pun ditangkis menggunakan siku dan punggung tangan oleh Ranggasuta hingga tongkat Baruna mengeluarkan bunyi dengungan cukup kencang saat tongkatnya bertubrukan dengan pelindung lengan dan siku milik Ranggaseta.
“Akan kubunuh kau!” Raung Ranggaseta membalas dengan mengayunkan tombaknya dan melakukan tebasan menyamping, namun serangan itu berhasil dihindari oleh Baruna yang dibantu oleh hembusan angin dari Rudra dengan melompat di udara hingga setinggi tiga meter dan kepala Baruna nyaris menyentuh langit-langit bangunan
rumah makan.
“Ayo Ranggaseta, kalahkan dia!” Wardhana berteriak memberi semangat pada ajudan ayahnya itu.
Di atas udara, Baruna kemudian membalas jurus Ranggaseta dengan pukulan tongkat yang langsung ditangkisnya menggunakan senjata tombak miliknya. Tombak milik Ranggaseta sangat tajam hingga hembusan angin yang tercipta dari serangannya pun dapat menggores benda-benda disekitarnya. Benda-benda disekitar Ranggaseta
pun tergores atau terbelah setiap Ia mengayunkan tombaknya. Desain bilah tombak Ranggaseta yang kuat namun lentur membuat tombak miliknya dapat melengkung hingga sudut tertentu, sehingga memiliki pengaruh pada pola serangannya. Alur serangan tombak Ranggaseta pun tidak selalu bersifat kaku dan tegak lurus, sesekali serangan tombak Ranggaseta meliuk tajam seperti cambuk atau menukik bagaikan ular mematuk mangsanya. Alur serangan Ranggaseta begitu beragam serta sulit untuk ditebak, ditambah lagi dengan ketajaman tombak miliknya membuat serangan Ranggaseta sangat mematikan bahkan bagi pendekar berpengalaman sekali pun.
Meski serangan-serangan Ranggaseta begitu mematikan, kenyataanya mampu dihadapi Baruna dengan mudah. Baruna yang dibantu keris Rudra Arutala dapat mengatasi jurus-jurus tombak Ranggaseta. Sesekali, Baruna membalas dengan jurus tongkatnya, meski juga dapat ditangkis oleh Ranggaseta karena keluwasan tombak miliknya. Desain tombak Ranggaseta membuatnya dapat menggunakan jurus untuk bertahan dan juga menyerang dalam waktu singkat. Untuk sesaat mereka saling imbang bertukar jurus-jurus yang sama persis dari satu perguruan bela diri.
“Apa yang kaulakukan Ranggaseta?” Desak Wardhana terlihat bosan mengamati duel tombak dan tongkat tersebut. “Cepat hajar dia sebelum perempuan itu pergi jauh!”
“DIAM, DASAR BABI CENGENG!” Bentak Ranggaseta. “Kalau kau ingin perempuan itu, kejar sana sendiri.”
Bentakan Ranggaseta benar-benar menguras keberanian Wardhana hingga anak bupati itu pun beringsut mundur dan kemudian bergabung bersama para jawara yang juga mengamati pertarungan antara Ranggaseta melawan Baruna. Meski mereka membenci Ranggaseta, mereka semua begitu kagum melihat kedua pendekar itu terlihat saling bertukar jurus dengan seimbang. Di dalam benak para jawara, pertarungan mereka berdua layak mendapatkan gelar sebagai pertarungan pendekar terbaik di Kota Lamunarta. Meski tidak saling mengutarakan pendapat masing-masing, berdasarkan pengalaman mereka, para jawara sepakat jika hasil akhir pertarungan itu belum jelas, karena di antara mereka berdua, belum ada yang terlihat mendominasi pertarungan. Hingga setelah keduanya saling bertukar puluhan jurus, tanpa aba-aba, Ranggaseta dan Baruna kemudian melompat mundur sejauh beberapa meter untuk saling mengamati sekaligus memikirkan strategi terbaik untuk mengalahkan lawan.
“Aku sangsi apakah benar kau yang membunuh Guru.” Ranggaseta kemudian memulai pembicaraan. “Jurusmu sangat sederhana dan mudah ditebak. Apalagi daya rusaknya sangat kecil karena dirimu menggunakan tongkat, bukan tombak yang menjadi senjata utama perguruan kita. Dari jurus-jurusmu itu, Kau sepertinya tidak benar-benar serius untuk melawanku.”
“Aku berkelahi tidak untuk membunuh, Kakang.” Jawab Baruna dengan pelan hingga nyaris seperti berbisik.
“Lalu untuk apa Kau menyerangku dengan tongkat?” Tiba-tiba Ranggaseta terperangah untuk sesaat saat dirinya sepertinya menyadari sesuatu. “Sensasi ini…saat melancarkan jurus tongkarmu tadi, kau juga menggunakan ajian Harimau Mengendus Bayangan untuk membacaku rupanya. Lancang benar kau!” Geram
Ranggaseta.
“Maaf kulakukan ajian itu untuk melihat sejauh mana karakter sejati Kakang Ranggaseta yang sebenarnya. Pada awalnya aku heran mengapa serangan Kakang begitu ganas serta penuh aura membunuh yang amat pekat. Setiap ayunan serangan tombak kakang juga berbau darah yang sangat kental. Rasanya jurus-jurus Kakang seperti selalu
meminta tumbal nyawa manusia setiap kali Kakang melakukannya. Tapi, semuanya menjadi jelas saat aku merapal ajian Harimau Mengendus Bayangan. Jurus-jurus Kakang begitu terlatih serta tajam, tetapi selalu Kakang gunakan untuk membunuh atau melukai orang hingga cacat sehingga jurus-jurus Perguruan Harimau Bulan yang Kakang kuasai menjadi jurus yang sangat haus darah. Sudah berapa orang yang Kakang bunuh sejak meninggalkan perguruan?” Tanya Baruna dengan tatapan prihatin.
“Huh…murid durhaka yang sudah membunuh Guru sepertimu, tidak layak untuk menghakimiku. ”Dengus Ranggaseta. “Susah payah Guru merawat dan membesarkanmu menjadi salah satu murid kesayangannya, dan inikah balasannya Baruna?”
Baruna tidak bersuara sedikit pun. Ia hanya menatap Ranggaseta lekat-lekat dengan tetapan prihatin seolah-olah mengasihani jalan hidup Ranggaseta. Melalui ajian Harimau Mengendus Bayangan, Baruna dapat mengetahui jika jalan hidup yang selama ini ditempuh oleh Ranggaseta benar-benar penuh dengan pembantaian dan darah, sekali pun hal tersebut dilakukan atas nama membela junjungannya. Jauh di dalam hatinya Baruna menyimpan kebanggaan pada kakak seperguruannya itu yang telah menjadi tokoh yang cukup disegani di kota tempatnya berada sekarang ini. Akan tetapi, Baruna tidak setuju jalan hidup Ranggaseta dalam menjalani hari-harinya sebagai abdi seorang Bupati. Perbedaan cara pandang itulah yang menyebabkan Baruna dan Ranggaseta sepertinya tidak akan bisa akur. Bahkan bila mendiang Guru mereka masih hidup, hubungannya dengan Ranggaseta sepertinya tidak akan pernah berjalan dengan baik.
“Bahkan seekor anjing pun tidak akan berniat membunuh orang yang memberinya makan selama bertahun-tahun. Tapi, kelakuanmu saat ini justru lebih rendah dari pada seekor anjing. Aku akui diriku memang sudah membunuh banyak orang saat melaksanakan tugas mengabdi kepada junjunganku. Tapi yang kulakukan adalah sebuah tugas selayaknya abdi Kerajaan yang memiliki tanda bakti kepada seorang Raja. Sebagai seorang pendekar sejati, diriku tidak lari dari tanggung jawab atas dosaku. Tapi kau jauh berbeda denganku, sebagai seorang pendekar pun, dirimu tidak mengakui kesalahan saat membunuh Guru. Kau juga berkilah mengaku tidak mencuri keris pusaka Rudra Arutala yang jelas-jelas saat ini berada di tanganmu. Yang lebih parah lagi adalah dirimu selama ini melarikan diri dan bersembunyi seperti seorang pengecut!” Telunjuk Ranggaseta menuding Baruna dengan gemetar menahan amarah. “Kau tewas berkali-kali di tanganku pun belum lunas untuk membalas semua dosa-dosamu,”
Baruna tidak menjawab caci maki dari Ranggaseta, ia justru tersenyum muram sambil menatap sorot mata haus darah dari kakak seperguruannya itu. Pada suatu titik, Baruna akhinya menyadari jika dirinya tidak dapat lagi meluruskan tuduhan bahwa dirinya menjadi penyebab kematian Guru. Ia juga kesulitan untuk menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi hingga keris pusaka Rudra Arutala bisa berada padanya. Di dalam hati Baruna menangis dalam kebisuan, mempertanyakan apakah tidak ada lagi orang yang mempercayai dirinya lagi. Berbulan-bulan dirinya melarikan diri hingga tidak terasa tiga tahun lebih hidup menggelandang dari kota-ke kota tanpa tujuan dan akhir perjalanan.
“Kalau Kakang dahulu mempelajari ajian Harimau Mengendus Bayangan, tentu Kakang dapat mengerti sejauh mana diriku yang sejati. Dengan ajian itu Kakang juga dapat mengetahui kebenaran dibalik kematian mendiang Guru. Apakah kepekaan batin yang menjadi dasar dari ajian Harimau Mengendus Bayangan menjadi kebas karena Kakang sudah terlalu banyak membunuh orang?”
“Mau aku membunuh satu atau berlaksa-laksa nyawa itu bukan urusanmu. Aku di sini mencari makan dan menjadi seorang abdi, bukan untuk diajari bocah sepertimu. Aku akan tetap mengabdi kepada junjunganku dan terus melaksanakan tugas darinya selama masih bernafas di tanah ini!”
“Begitu…jadi Kakang tidak ingin berhenti untuk terus mencelakai orang dengan mengatasnamakan tugas dari junjungan Kakang?” Baruna menghela nafas panjang. “Jika demikian, dengan berat hati akan kupastikan hari ini Kakang tidak dapat menggunakan ilmu bela diri untuk menyakiti orang lain.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
asta guna
mantab
2024-02-23
0
Hendra Yana
gasssssssss polll terus
2023-07-10
0
Trisna Tris
wah.... tambah asyik dan keren certamu Thor.... lanjut....
2022-07-22
1