Cakiya membuka kedua matanya dan menyadari dirinya sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput luas berwarna hijau, hembusan angin dingin menerpa wajah serta rambutnya. Padang rumput itu juga ditumbuhi beberapa jenis bunga berwarna-warni selain rerumputan yang tinggi sejauh mata memandang. Meski demikian tidak satu pun dari berbagai jenis bunga dan rerumputan itu yang dikenal Cakiya. Hamparan tempatnya berpijak yang penuh warna itu, jauh berlawanan dengan langit kelabu di atas kepala Cakiya. Cakiya menengadahkan kepala ke arah langit dan melihat langit kelabu maha luas bagaikan tirai kelabu rakasa yang menyelimuti seluruh dunia. Selama beberapa saat Cakiya memandangi langit itu cukup lama hingga butiran-butiran perwarna putih seperti kristal yang lembut, tetapi sangat dingin menyentuh wajahnya. Butiran-butiran itu begitu begitu dingin, namun terasa lembut seperti menghangatkan hati Cakiya serta memunculkan kehangatan sunyi yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Butiran-butiran lembut itu berjatuhan dari langit dengan pelan seperti rintik-rintik hujan. Hamparan padang rumput yang dipenuhi bunga pun perlahan-lahan menjadi putih sejauh mata memandang. Padang rumput itu begitu dingin serta pemandangannya begitu asing, akan tetapi Cakiya merasa tidak asing.
Bagi Cakiya, dirinya merasakan seolah-olah mengunjungi padang rumput itu lebih dari satu kali. Memang, selama beberapa waktu terakhir, saat Cakiya tidur, Ia seringkali bermimpi dimana Cakiya berada di sebuah padang rumput dipenuhi bunga-bunga asing yang tidak pernah dikenalnya, lalu tiba-tiba turun hujan kristal es lembut berwarna putih lembut yang kemudian menyelimuti padang rumput itu menjadi hamparan dataran es yang luas. Lalu Cakiya mendengar sebuah suara yang demikian keras hingga bergemuruh seperti longsoran gunung. Suara itu seringkali meminta Cakiya untuk mendatangi Kota Lamunarta, dan setelah itu biasanya Cakiya terbangun dari tidurnya. Selama berbulan-bulan Cakiya di dalam mimpinya selalu mengalami situasi yang sama persis.
“Wahai pendekar muda, sudah kutunggu kedatanganmu.” Sebuah suara bagaikan gemuruh pegunungan longsor tiba-tiba menyapa Cakiya. Suara itu terdengar begitu jelas di belakang Cakiya, hingga secara reflek Cakiya pun berbalik mencari sumber suara tersebut. Jika biasanya setelah suara bergemuruh itu, Cakiya erbangun dari tidurnya, kali ini tidak demikian.
Cakiya menoleh ke belakang sambil memutar tubuhnya, dan terlihat sebuah makhluk atau binatang yang belum pernah ditemui oleh Cakiya. Makhluk itu memiliki empat kaki sepasang gading dan juga belalai layaknya seekor gajah. Namun, berbeda dengan gajah yang selama ini Cakiya lihat. Sosok Gajah yang berada di depannya saat
ini memiliki tinggi hingga mencapai delapan meter dengan bulu-bulu api yang menyelimuti seluruh bagian tubuhnya. Gajah berbulu api itu juga mengenakan zirah terbuat dari emas dengan guratan berbentuk api pada setiap bagian zirahnya. Meskipun tubuh gajah berukuran raksasa itu terbuat dari api, Cakiya sama sekali tidak merasakan aura panas saat makhluk itu bergerak mendakati dirinya. Cakiya juga tidak merasa takut saat bertemu dengan sosok gajah raksasa tersebut. Binatang tersebut terlihat begitu asing, akan tetapi suara serta keberadaan jiwanya begitu akrab di batin Cakiya. Seolah-olah gajah raksasa berambut api tersebut adalah teman lama Cakiya yang sudah lama menunggu untuk bertemu dengan dirinya.
“Apakah Anda, yang selama ini menuntun saya?” Tanya Cakiya.
Makhluk itu pun menggoyangkan kepala ke atas dan kebawah seolah-olah menjawab pertanyaan Cakiya. Meski tubuh makhluk itu begitu besar dengan bulu api menyala-nyala menyelimuti seluruh bagian tubuhnya serta gading yang sangat panjang hingga mencapai dua meter, Ia tidak terlihat sebagai mahluk jahat. Sorot matanya tajam, namun penuh dengan cahaya yang teduh serta ramah.
“Lalu apa yang bisa saya lakukan Tuan?” Tanya Cakiya.
“Apakah kau bersedia menolongku. Ratusan tahun aku terjebak di sebuah batu denggan janji kepada majikanku sebelumnya untuk menunggu orang selanjutnya yang layak menjadi majikanku.” Makhluk itu berbicara kepada Cakiya. Namun, Ia tidak berbicara seperti manusia pada umumnya. Cara makhluk itu berkomunikasi tidak menggunakan mulut akan tetapi seperti menggunakan sihir dengan bersuara di dalam benak dan pikiran Cakiya.
“Sebuah kehormatan bagi saya Tuan. Saya tidak lebih dari manusia biasa yang punya banyak kesalahan di masa lalu, tetapi bila anda berkenan demikian, saya dengan hati memberi bantuan meski kemampuan saya sangat terbatas.” Jawab Cakiya,
“Baiklah pendekar muda. Segera raih tubuh fanaku di atas batu kecoklatan yang berada di tengah-tengah kota dimana tempatmu berada sekarang.’
“Jadi Anda adalah wujud asli Gada Kyai Samaja di alun-alun Kota Lamunarta itu.”
Gajah raksasa berbulu api itu pun mengangguk lembut.
“Saya akan mencoba melakukannya Tuan. Tetapi mohon berikan kemudahan bagi saya. Gada Kyai Samaja konon begitu berat serta mengeluarkan panas yang sanggup menghanguskan lengan.”
“Hanya mereka yang tidak layak yang akan mendapat kesulitan ketika mengangkat tubuh fanaku dan terbakar lengannya. Hai anak muda yang terpilih, datanglah ke tempat itu, genggam dan tariklah sekuat mungkin sambil meneriakkan namaku pendekar muda. Namaku adalah…”
Cakiya mengambil nafas dalam-dalam saat sebuah air dingin menerpa wajahnya. Rupanya kejadian bertemu dengan sosok gajah raksasa berbulu api tersebut hanyalah mimpi. Kepala Cakiya begitu berat saat mencoba mengingat kembali mimpinya. Ia mencoba, melihat sekelilingnya yang ternyata dirinya berada di ruangan terbuka dengan sinar matahari pagi yang menyengat tubuhnya secara langsung. Sayup-sayup terdengar keramaian orang-orang yang sepertinya menjadikan dirinya tontonan. Cakiya kemudian menyadari jika dirinya berada di atas sebuah panggung setinggi kurang lebih satu setengah meter yang terletak di alun-alun. Tiba-tiba Cakiya terlihat begitu panik dan secara reflek mendongakkan kepalanya ke atas, lalu saat mengetahui jika ikat kepala miliknya masih dikenakan, Cakiya terlihat lega. Ia pun bernafas panjang sambil tersenyum lega dan kemudian mengamati situasi di sekitarnya lebih seksama.
Cakiya lalu mengenali jika panggung tempatnya berada saat ini merupakan tempat yang disiapkan oleh para prajurit pamong untuk menjadi tempat hukuman mati. Di bawah panggung tempat Cakiya berdiri, ratusan orang yang menonton hukuman mati tersebut. Mereka begitu antusias menyaksikan kriminal yang bukan dari kalangan
bangsawan akan dihukum gantung di alun-alun dan menjadi tontonan. Di tengah keramaian itu, Cakiya menengok ke kanan dan ke kiri. Ia melihat Baruna yang sedang diikat di tiang gantungan dengan kaki yang disangga kursi dari bambu. Tali dengan diameter tebal melingkari tubuh Baruna, sementara seutas tali diikatkan juga di lehernya dengan panjang tali yang sedikit longgar serta diikatkan pada tiang setinggi empat meter berbentuk palang yang berada tepat di atas panggung.
Melihat kondisi Baruna membuat Cakiya memeriksa keadaan dirinya. Rupanya kondisi Cakiya tidak jauh berbeda dengan Baruna, tubuhnya diikat oleh tali dadung serta lehernya diikat di tiang gantungan. Mereka berdua akan dieksekusi hukuman gantung setelah sebelumnya diadili atas nama penguasa setempat. Di atas panggung itu, selain dirinya dan Baruna, terdapat dua orang prajurit pamong yang berjaga serta seorang algojo yang akan melakukan eksekusi dengan cara menendang atau menghancurkan kursi dari bambu yang menjadi pijakan Baruna dan Cakiya.
“Kau sudah sadar bocah!” Kekeh seseorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang duduk pada sebuah tandu mewah yang terbuat dari kayu jati ukiran bertatahkan permata.
Laki-laki itu sangat gemuk dengan berat sekitar sembilan puluh kilogram dengan lengan pendek, serta penuh lemak setiap kali Ia menggerakkan lengannya. Hampir di setiap bagian jari tangannya mengenakan cincin permata berwarna-warni. Pakaiannya terbuat dari sutra dengan bordiran emas dengan motif binatang harimau serta singa yang sedang berlari beriringan. Matanya sipit karena tertutup oleh lapisan lemak yang menutupi dahi dan pipinya, akan tetapi sorot matanya erlihat masih sangat tajam serta memiliki cahaya semangat yang sangat tinggi. Sepasang kumis tebal tumbuh tidak merata bersamaan dengan bulu hidung yang tumbuh tidak beraturan menghiasi hidungnya yang besar dan berwarna kemerahan. Saat ia berbicara memberi perintah giginya yang tidak rata terlihat dengan jelas serta tetesan ludah berhamburan ketika laki-laki itu memberi perintah dengan nada tinggi. Cakiya pasti akan mengira bahwa yang ditandu para prajurit pamong itu sejenis hewan aneh yang disakralkan oleh pihak Kerajaan, bila laki-laki itu hanya berdiam diri di atas tandu.
“Siapa gumpalan lemak yang bisa bicara itu?” Tanya Cakiya sambil mengerutkan alis melihat laki-laki itu di atas tandu.
“Bodoh!” Maki seorang prajurit pamong sambil menyodokkan ujung gagang tombak ke rusuk Cakiya yang membuatnya meringis kesakitan. “Beliau adalah orang yang akan menghakimi dirimu. Penguasa Kota Lamunarta ini. Bupati Adiwardhana Mangunsubrata Satria ing Ngalogo. ”
“Hah Satria ing Ngalogo?” Komentar Cakiya mengerutkan dahinya dengan ekspresi wajah penuh bingung. “Sejak kapan seorang Bupati dari Lamunarta ikut perang besar?”
Menurut pemahaman Cakiya, umumnya gelar Satria ing Ngalogo merupakan gelar yang diberikan Kerajaan kepada bangsawan yang berpartisipasi dalam sebuah perang besar yang melibatkan minimal sepuluh ribu pasukan. Seingat Cakiya, belum pernah terjadi perang besar yang melibatkan pasukan dengan jumlah sedemikian besar selama lima puluh tahun terakhir.
“Diam!” Maki prajurit pamong yang lain sambil menendang Cakiya. “ Pokoknya, kalau gelarnya Satria Ing
Ngalogo ya tetap Ing Ngalogo. Kamu bocah rakyat jelata tidak tahu apa-apa jangan banyak membantah!”
Suara terompet berukuran sedang dibunyikan oleh seorang prajurit pamong, suasana kemudian menjadi hening dan kemudian sang Bupati turun dari tandunya. Bupati itu mengangkat sebelah lengannya di udara, dan semua orang-orang di alun-alun itu pun berlutut memberi hormat kepada Bupari Ardiwardhana. Mereka semua sujud kepada sang Bupati lantaran di kota Lamunarta, Bupat Adhiwaradan mengeluarkan aturan jika setelah terompet dibunyikan, semua orang harus sujud dan menyembah sang bupati. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak sujud kepada sang Bupati usai dibunyikannya terompet, akan dihukum cambuk lima belas kali di alun-alun kota.
“He…bisa jalan rupanya. Kupikir dia bergerak dengan menggelinding ke sana kemari.” Celetuk Cakiya yang dibalas bentakan salah satu prajurit pamong yang tadi menyodok rusuk Cakiya.
Mendengar ocehan Cakiya, Baruna mendengus dengan menampakkan senyum geli. Meski tersenyum menertawakang sang Bupati, kilatan amarah memancar dari mata Baruna sewaktu melirik wajah Bupati Adiwardhana itu. Setiap melihat Bupati itu, Ia teringat Ranggaseta yang telah berada di jalan penuh darah karena menjadi abdi dari Bupati tersebut. Di dalam benaknya, Baruna memaki Adiwardhana, jika Ranggaseta tidak mengabdi kepadanya kemungkinan besar kakak seperguruannya itu tidak menjadi orang kejam yang haus darah. Baruna bisa melihat dari orang-orang di alun-alun Kota Lamunarta dimana sebagian besar dari mereka patuh dan tunduk kepada pejabat tersebut, bukan lantaran hormat akan karisma kepemimpinan serta hasil kerjanya, melainkan karena digerakkan oleh rasa takut pada kekuatan dan kekuasaan Bupati tersebut.
“Dengan ini Aku Bupati Adiwardhana yang akan memimpin eksekusi hukuman gantung ini.” Sang Bupati membuka pidatonya dengan kalimat demikiandan Ia pun berpidato cukup lama sambil mengungkit kesalahan-kesalahan yang dituduhkan Baruna dan Cakiya.
Bupati Lamunarta itu mengatakan jika Baruna bersalah karena telah membunuh gurunya sendiri yang merupakan pemilik Perguruan Harimau Bulan yang tersohor di Ibu Kota Kerajaam. Baruna juga dinyatakan bersalah telah mencuri keris pusaka suci bernama Rudra Arutala lalu menjualnya kepada seorang pendekar dari aliran hitam. Baruna juga dituduh bersalah karena telah membunuh Ranggaseta serta beberapa puluh jawara yang lain. Lalu Bupati Adiwardhana juga mengumumkan kejahatan-kejahatan Cakiya yang membuatnya pantas diganjar hukuman mati. Cakiya dituduh berbuat onar, melukai orang tidak bersalah dan juga membuat cidera seorang tokoh masyarakat Lamunarta bernama Kebo Abang serta mencuri pusaka miliknya. Cakiya juga dikatakan dalam pidato sang Bupati terlibat dalam kematian Ranggaseta serta puluhan jawara lainnya.
“Sungguh pidato dari pejabat yang patut dijadikan teladan negeri.” Komentar Baruna dengan sinis.
“Wah Tuan Baruna juga kurang menyukai orang itu rupanya.”
“Tidak hanya bentuknya yang mengganggu mata, pidatonya benar-benar tidak enak didengar.” Keluh Baruna yang dibalas dengan tawa Cakiya.
Bupati Adiwardhana lalu menutup pidato eksekusi hukuman mati dengan suara pelan dan kemudian memanggil nama Cakiya serta Baruna. Sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan para pejabat jika akan memberikan perintah eksekusi hukuman mati seorang tahanan, mereka akan menanyakan kata-kata terakhir yang akan diucapkan oleh tahanan. Tradisi ini telah berlangsung lama pada masa zaman kuno jauh sebelum kota Lamunarta dibangun oleh para leluhur.
“Baruna, apakah ada pesan terakhir yang ingin kausampaikan?” Tanya sang Bupati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Sis Fauzi
Cakiya dan Baruna gak mungkin mati muda
2022-03-01
3
Maret
semangat berkarya
2022-01-18
0
🐌KANG MAGERAN🐌
aku hadir🤗semangat ya💪
dtunggu feed backnya😘
2021-06-08
1