"Air gula aren campur madu satu.” Pesan seorang laki-laki pada pelayan sebuah rumah makan.
“Ya tuan, tunggu sebentar.” Jawab pelayan laki-laki rumah makan sambil menghidangkan Ikan bakar dan nasi kepada salah satu pelanggannya. Tidak lupa pelayan itu memberikan sebuah mangkok penuh air kepada laki-laki itu untuk mencuci tangan sebelum atau sesudah makan.
Laki-laki yang memesan ikan bakar dan nasi itu mengamati suasana rumah makan tempatnya berada sekarang sambil memakan pesanannya itu dengan lahap. Laki-laki itu cukup jangkung dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter serta memiliki kulit putih bersih dan terawat. Rambutnya yang berwarna hitam lurus sepunggung diikatnya dengan rapi menggunakan ikat rambut terbuat dari anyaman tali berwarna hijau dan merah. Alis tebal hitamnya menggantung melindungi bola matanya cokelat terang dan sesekali memiliki sorot mata tajam.
Hidungnya runcing dan pada kedua pipinya memiliki lesung pipit sekali pun laki-laki itu hampir tidak pernah terlihat tersenyum. Bibirnya tipis dan deretan giginya cukup rapi, kecuali gigi taring bagian kiri yang memiliki satu gigi taring tambahan yang tidak rata.
Laki-laki itu membawa sebuah tongkat terbuat dari logam baja tempa dengan ukir-ukiran bermotif awan pada pada di bagian permukaan tongkat. Pada dua sisi tongkat, terdapat motif ukiran berbentuk bulan sabit yang diapit oleh sepasang awan. Sedangkan pada pangkal dari ujung tongkat laki-laki itu dilapisi dengan logam tembaga yang bercampur dengan baja, serta dihiasi dengan beberapa lubang berukuran kecil yang diletakkan secara berurutan dan memiliki pola tertentu.
Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bagian dalam rumah makan tersebut sambil mengagumi kelihaian pemilik warung menata usaha rumah makan miliknya. Bahkan genting dari rumah makan itu dibuat dari batang bambu khusus yang dipotong. Rumah makan itu terbuat dari bambu seluruhnya dengan dinding, meja, kursi serta tiang yang terbuat dari bambu. Langit-langit rumah makan itu dibuat cukup tinggi hingga delapan meter hingga membuat suasana di dalamnya terasa sejuk, sekali pun di luar udara cukup panas.
Beberapa tiang yang menyangga rumah makan itu terdiri dari beberapa bambu yang kemudian diikat lalu dijadikan satu untuk menopang bangunan inti. Pemilik rumah makan juga menata tempat makan bagi pengunjungnya terbagi dalam dua jenis. Yang pertama meja dan tikar anyaman bambu bagi pengunjung yang ingin makan dengan posisi bersila ditempatkan pada sisi pinggir ruangan. Sementara itu meja dan kursi bagi pengunjung rumah makan yang ingin duduk di meja dan kursi berada di tengah ruangan.
Setelah mengamati ruangan secara detail, Ia kemudian mengamati orang-orang yang datang di rumah makan itu. Sekitar dua puluh orang lebih makan atau pun mengobrol di rumah makan itu, namun ada seseorang yang cukup menarik perhatian laki-laki itu. Yaitu, seorang perempuan muda yang tengah makan bersama dengan dua orang pengikutnya dimana mereka berdua mengenakan topi lebar serta penutup wajah.
Perempuan muda itu sepertinya sebaya dengan laki-laki itu, meski gerak-geriknya terlihat lebih dewasa serta memiliki kewibawaan seorang bangsawan. Tubuhnya yang ramping dibalut pakaian lengan panjang hijau muda yang terbuat dari kain yang jarang ditemui di kota-kota kecil seperti Lamunarta saat ini. Tubuh perempuan itu terlihat paling mungil jika dibandingkan dengan dua orang pengawalnya.
Rambutnya yang sebahu begitu hitam dan mengkilap bagaikan mutiara cair serta dibiarkan tergerai dihiasi jepit rambut berbentuk bunga matahari yang tebuat dari dari gading gajah. Kulitnya seputih pualam dengan wajah bulat dan mata sedikit sipit. Matanya yang hitam berkilau dihiasi hidungnya mungil serta bibir tipis berwarna jingga. Demikian pula alis perempuan itu melengkung indah dengan sempurna hingga Ia memiliki kesan terlihat sempurna sekalipun hanya diam tanpa sepatah kata pun di rumah makan itu. Saat ia mengunyah makanannya, deretan gigi putih yang tidak rata menghiasi bibirnyal. Cara berpakaian serta gerak-geriknya menandakan bahwa perempuan itu berasal dari kalangan ningrat.
Sementara itu, dua orang pengikutnya mengenakan pakaian serba tertutup berwarna hitam dan memakai topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka juga mengenakan pelindung bahu, pelindung betis serta pelindung lengan mereka terbuat dari plat logam yang dijahit benang tembaga.
Pakaian yang dikenakan dua orang itu merupakan seragam yang umum dipakai oleh seorang wiracaya, pasukan khusus yang dimiliki pihak kerajaan atau bangsawan kaya. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dilatih bela diri serta ilmu telik sandi untuk melindungi majikan, junjungan atau penyewa jasa mereka.
Meski pakaian dua orang wiracaya itu serba tertutup, bentuk serta lekuk tubuh mereka yang ramping menandakan bahwa mereka berdua adalah wiracaya perempuan yang masih berusia muda. Bagi laki-laki itu, keberadaan dua perempuan yang merupakan wiracaya pengawal perempuan bangsawan itu benar-benar di luar kebiasaan. Menurut pengalamannya, sangat jarang seorang perempuan menjadi wiracaya, mengingat latihan menjadi pasukan wiracaya cukup berat sekaligus berbahaya.
Belum lagi, dengan ujian untuk menjadi seorang wiracaya yang diadakan sangat
sulit karena fisik, pengetahuan serta mental calon wiracaya benar-benar diuji. Di dalam hatinya, jika dua orang perempuan itu benar-benar pasukan wiracaya yang terlatih tentu hal tersebut merupakan sebuah hal yang sangat luar biasa. Laki-laki yang memiliki fisik serta keahlian bela diri saja sulit untuk menjadi bagian dari pasukan wiracaya, apalagi hingga dua orang perempuan yang usianya cukup muda.
Laki-laki itu mengamati perempuan muda bersama dua orang wiracaya yang mengawalnya dengan seksama, namun secara sembunyi-sembunyi dengan sesekali mencuri pandang ke arah mereka. Meski demikian, tidak hanya laki-laki itu yang mengamati tiga orang perempuan muda tersebut. Hampir seluruh orang di rumah makan itu mengamati ketiganya dengan penuh tanda tanya besar mengenai identitas mereka. Tiga orang.
Mereka makan dengan cepat, namun berusaha untuk tetap sopan serta tidak terlalu menarik perhatian orang-orang di warung makan tersebut. Usai mekan dengan cepat, mereka segera meninggalkan langsung meninggalkan rumah makan itu dengan meninggalkan beberapa keping uang perunggu. Pelayan rumah makan yang melihat tiga orang perempuan itu meninggalkan uang cukup banyak kemudian berinisiatif untuk memberikan kembalian.
“Kembaliannya Gusti Putri.” Kata pelayanan rumah makan.
“Tidak usah.” Jawab perempuan itu dengan terburu-buru meninggalkan tempat itu diikuti kedua pengikutnya.
Baru beberapa langkah, perempuan itu tiba-tiba dicegat oleh sekumpulan laki-laki yang dipimpin oleh seorang pemuda berumur awal dua puluh tahunan. Pemuda itu terlihat dari kalangan orang kaya atau sangat berkuasa karena pakaiannya terbuat dari kain sutera mahal berwarna merah gelap yang dihiasi bordiran kuda berwarna emas. Sementara, beberapa perhiasan gelang emas menggantung di tangan kirinya.
Tubuhnya gempal dengan rambut belah tengah yang kaku serta berminyak. Ia tidak henti-hentinya tersenyum penuh kepercayaan diri saat berjalan maupun bertatapan mata dengan seseorang. Terlebih lagi, jika dirinya bertemu dengan perempuan yang menurutnya menarik, Ia tidak henti-hentinya menggodanya hingga mereka merasa jijik atau risih.
Sedangkan sekelompok laki-laki yang mengawal permuda itu mengenakan pakaian kemeja dengan
motif kepala harimau, anjing hutan, ular serta motif binatang buas lain, dengan ukuran agak longgar serta bagian ujung lengan yang dilapisi kulit dan pelat logam. Demikian pula celana longgar yang mereka kenakan memiliki motif yang seragam dengan pakaian yang mereka kenakan. Kaki mereka yang kokoh serta berotot dibungkus oleh alas kaki yang terbuat dari kulit, meski demikian beberapa dari mereka tidak mengenakan alas kaki.
Gaya pakaian serta gerak-gerik mereka menandakan bahwa mereka adalah seorang jawara, sekelompok orang dari kalangan rakyat biasa yang memiliki keahlian bela diri. Para jawara banyak yang bekerja sebagai tukang pukul, penagih hutang atau pengawal orang-orang tertentu. Banyak para jawara yang bekerja di dunia kejahatan hingga reputasi mereka cukup buruk di mata masyarakat, akan tetapi tidak sedikit juga jawara berwatak bijaksana yang bekerja melindungi orang-orang yang tidak beruntung.
“Hai Nona cantik.” Sapa Pemuda berpakaian mencolok itu.
Perempuan muda dan dua orang pengawalnya tidak membalas sapaannya sepatah kata pun saat pemuda itu menyapa mereka. Mengetahui dirinya diacuhkan, pemuda itu menjadi tidak senang, Ia berniat melabrak perempuan muda itu, akan tetapi saat melihat dua wiracaya yang mengawalnya, pemuda itu berpikir dua kali untuk bersikap kasar. Terlebih lagi jika melihat pakaian serta wiracaya yang mengawalnya, perempuan itu terlihat bukan seorang bangsawan sembarangan.
“Wah…aku tidak percaya jika Gusti Putri rupanya tidak mengenali saya?” Tanya Pemuda itu. “Apakah Anda orang luar Lamunarta?”
Perempuan itu mengangguk dengan lembut lalu menjawab. “Maafkan saya Tuan, memang benar saya berasal dari Ibu Kota Kerajaan, dan saya baru tiba di kota ini beberapa hari yang lalu. Jadi kurang begitu mengenal orang-orang yang di Kota ini. Terlebih lagi, saya memang hanya tinggal di sini untuk sementara.”
“Wah begitu…” Pemuda itu berdecak berkali-kali sambil memasang wajah seolah-olah memperlihatkan ekspresi sedih. “Apakah Anda membutuhkan perlindungan atau pengawalan dariku Gusti Putri. Pada waktu malam hari banyak orang-orang jahat berkeliaran, aku takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Gusti Putri.”
“Ma..maaf, saya benar-benar berterima kasih atas kemurahan hati dari Tuan sekalian.” Jawab perempuan itu dengan sungkan. “Akan tetapi dengan berat hati kebaikan Tuan tidak dapat saya kabulkan karena saya akan meninggalkan kota ini sebelum gerbang kota ditutup rapat saat gelap.”
“Kalau soal gerbang kota. Serahkan saja padaku. Dengan perintahku, para penjaga gerbang dapat dapat membuka dan menutup pintu gerbang kapan pun jika kuminta. Jangankan soal pintu gerbang kota ini. Gerbang di istana para dewa akan kuperintahkan terbuka untuk dirimu.” Rayu pemuda yang mengenakan lusinan perhiasan itu.
Mendengar rayuan pemuda itu, beberapa jawara pengawalnya berusaha menahan tawa, akan tetapi terdapat seorang jawara yang tidak dapat menahan tawanya hingga mulutnya terdengar suara cekikikan diantara para jawara.
“Hei…kulihat kau tertawa.” Lirik pemuda itu kepada jawara yang setengah mati menahan tawa, namun gagal saat mendengarkan rayuan gombalnya.
“Ma…maaf Raden Wardhana.” Kata jawara yang tidak kuat manahan tawa tersebut terlihat ketakutan.
“Apa kau tidak mengetahui siapa aku hah!?” Pemuda itu lalu menghampiri jawara yang menertawakannya, lalu menepuk-nepuk pipi jawara itu dengan tatapan jengkel.
“A…anda adalah Raden Tumenggung Wardhana, putera sulung dari Bupati Lamunarta, Raden Tumenggung Adiwardhana.”
Perempuan muda dan dua orang pengawalnya itu pun cukup terkejut ketika mengetahui pemuda berpakaian mencolok serta penuh dengan perhiasan di tubuhnya itu adalah putera dari Bupati Lamunarta. Ia pun segera memberi salam pada Wardhana.
“Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan putera tuan Bupati, akan tetapi mohon maaf jika anda berkenan, saya sungguh-sungguh sedang ada urusan yang amat mendesak.” Jawab perempuan itu dengan cepat serta gerakannya terlihat begitu canggung dan ingin segera meninggalkan tempatnya berada saat ini.
“Wah-wah tidak bisa begitu. Gusti Putri, tidak menyukai keramahtamahan saya ini rupanya. Sebagai penerus penguasa kota ini, sakit rasanya jika ketulusan hati seorang Wardhana ditolak mentah-mentah, bahkan oleh seorang bangsawan dari Ibu Kota.” Kata Wardhana menyipitkan mata sambil menjetikkan jarinya. Belasan orang pendekar berpakaian jawara tiba-tiba memasuki warung makan itu usai Wardhana menjetikkan jarinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
An War
kebanyakan gambaran,,,,bikin males baca
2022-07-01
0
Erni Sari
semangat
2022-03-02
2
Maret
like
2022-01-18
0