“Itu kembang api kemuning dari Ibu Kota kerajaan!” Salah satu anggota pasukan pamong yang tertua tiba-tiba berteriak usai kembang api itu meledak di udara.
“Kita harus bergegas ke sana.” Kata salah satu prajurit.
“Tapi kita membawa tahanan ini.” Protes Tobil. “Ini tahanan hukuman mati, reputasi kita bisa buruk kalau meninggalkannya di sini. Apalagi jika tahanan ini melarikan diri saat kita kawal. Bisa-bisa kita sendiri yang diadili di alun-aku besok pagi.”
“Bagaimana jika kita cari pohon paling besar disekitar sini, lalu kita ikat dia di pohon itu.” Usul salah satu prajurit pamong.
“Terlalu bersiko.” Bantah Panjul. “Rantai dan batang pohon jika digesek-gesekkan dalam waktu lama bisa melonggarkan ikatan. Seperti yang terjadi pada sapi milik Lurah Desa Murwadiryan yang diikat rantai selama setengah hari itu, ikatannya longgar dan kemudian sapi itu mengamuk lalu lari.”
“Tapi itu kan sapi bukan orang.” Bantah Tobil.
“Hai Tobil kawanku yang paling cerdas se-Kerajaan.“ Panjul gemas ingin menyentil dahi Tobil. “Pakai organ dalam tempurung kepalamu yang kau sebut otak itu. Pemuda itu bisa mengalahkan Kebo Abang dengan mudah dan bisa bergerak santai selama berkilo-kilo meter dengan rantai dan bola besi seberat puluhan kilogram yang dibebankan padanya itu menandakan bahwa Ia bukan orang sembarangan.” Panjul menunjuk Cakiya yang terkekeh melihat dua prajurit pamong itu bertengkar.
“Baiklah Tobil dan Panjul, bawa tahanan itu ke penjara kota. Sisanya ikut denganku.” Usul prajurit yang paling tua itu.
Belum sempat Tobil dan Panjul menyetujui usul untuk mengawal Cakiya, sekelebat bayangan tiba-tiba melesat melewati para prajurit itu lalu meninggalkan mereka. Pada awalnya para prajurit itu tidak menyadari jika sosok yang berkelebat itu adalah Cakiya. Mereka baru menyadari setelah menoleh ke belakang karena suara gemerincing rantai yang terantuk besi pemberat yang tadinya diikatkan pada Cakiya.
“Hei tahanan itu melarikan diri!” Teriak salah satu prajurit.
“Kejar dia, jangan sampai lolos!” Teriak prajurit yang paling tua di antara mereka.
“Aduh tahanannya lari Bil.” Komentar Panjul kepada Tobil.
“Wah susah.” Tobil terlihat putus asa lalu membanting tombaknya.
“Sepertinya bocah itu berlari mengikuti arah kembang api. Ayo kejar!” Teriak prajurit pamong yang paling tua memerintahkan para prajurit yang lebih muda.
Para prajurit itu segera berlari berusaha untuk menyusul Cakiya yang kali ini bergerak dengan kecepatan yang sulit dinalar oleh akal sehat mereka. Bertahun-tahun mereka melihat para pendekar malang pelintang di Kota Lamunarta ini, namun baru kali ini para prajurit pamong itu melihat pendekar berusia muda yang sekuat, selicin dan selincah Cakiya. Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana Cakiya dapat membebaskan ikatan rantai yang sedemikian kuat membelenggunya. Belum lagi, dengan adanya kenyataan jika Cakiya dapat membebaskan diri dari rantai tersebut dengan sangat cepat tanpa mereka sadari. Tidak mengherankan jika Cakiya masih dapat bersikap tenang-tenang saja saat rantai itu membelenggunya. Sambil berlari sekuat tenaga para prajurit pamong itu berusaha menangkap Cakiya, kecuali Tobil dan Panjul.
“Tidak usah kita kejar. Larinya saja seperti hantu.” Keluh Tobil. “Tidak bakal tertangkap kecuali kita tumbuh sayap.”
“Sayapnya tumbuh di kepalamu saja Bil, pasti dirimu akan digilai gadis-gadis. "Seloroh Panjul. “Kita minum di kedai dawet sekitar sini saja.” Usul Panjul.
“Uang dari anak buah Kebo Abang tadi kamu yang membawa bukan?” Tanya Tobil yang dibalas anggukan oleh Panjul.
Kedua prajurit itu pun mencari kedai minuman dawet dan berniat mengobrol sore sambil menikmati camilan. Mereka tidak menghiraukan urusan soal Cakiya karena yakin jika pendekar muda itu tidak akan tertangkap oleh prajurit pamong seperti mereka. Lagi pula mereka sudah untung memperoleh beberapa keping perak dari anak buah Kebo Abang. Cakiya sendiri sudah berlari melesat jauh meninggalkan para prajurit yang tadi mengawalnya, Ia segera berlari secepat mungkin menuju sumber ledakan kembang api tersebut hingga pemandangan disekitarnya berubah menjadi siluet. Akan tetapi, Cakiya masih dapat melihat sekitarnya dengan cukup jelas. Ia sempat berpapasan dengan seorang penunggang kuda berpakaian ningrat yang kakinya sedang terluka, darah tanpa henti menetes dari pijakan pelana bagian kanan pemuda itu. Cakiya menduga bahwa pemuda itu merupakan anak seorang pejabat penting atau juga memiliki hubungan dengan kembang api tersebut, karena setelah Cakiya jauh melewati pemuda tersebut, para prajurit pamong pengejarnya mendadak menghentikan usahanya untuk mengejar Cakiya dan justru berusaha menolong pemuda tersebut.
Beberapa ratus meter kemudian, Cakiya tiba di sebuah rumah makan yang berada dalam kondisi yang menurutnya cukup aneh. Dari kejauhan banyak orang-orang yang mengerumuninya, tetapi tidak berani untuk masuk ke dalam rumah makan itu. Dari keterangan orang-orang sekitar yang berkerumun, Cakiya mendapat informasi jika di rumah
makan itu, seorang anak Bupati mencoba meringkus seorang pendekar yang menjadi buronan Kerajaan. Dibantu puluhan jawara serta ajudan Bupati, mereka mencoba menangkap buronan itu. Akan tetapi, pendekar itu berhasil mengalahkan ajudan Bupati, memojokkan para jawara hingga membunuh beberapa jawara.
Dalam perkelahian itu pula, pendekar buronan Kerajaan itu berhasil melukai anak sang Bupati pada bagian kaki. Rupanya penunggang kuda dengan luka di kaki yang Cakiya lihat sebelumnya adalah anak Bupati, tidak mengherankan jika para prajurit pamong sampai mengabaikan Cakiya dan juga panggilan dari kembang api kemuning serta lebih memilih menolong pemuda tersebut. Menurut cerita yang didengar Cakiya, Anak Bupati itu menyalakan kembang api kemuning sebelum melarikan diri dari rumah makan itu lalu mencari bantuan terdekat. Cerita yang berhasil diperoleh Cakiya dari orang-orang, membuat rasa penasaran semakin bertambah di benak Cakiya. Ia kemudian memutuskan bergerak memasuki rumah makan itu melalui pintu belakang.
Cakiya menyusup melalui dapur lalu mencoba mengintip dari sela-sela jendela dapur, Ia melihat beberapa jawara terlihat terkapar tidak berdaya di dalam rumah makan tersebut. Mereka terluka parah, namun luka-luka yang mereka alami tidak mengancam nyawa. Dari luka-luka yang diderita oleh para jawara itu, Cakiya lalu menyimpulkan bahwa orang yang melukai mereka bukan orang sembarangan. Cakiya berpikir jika pelakunya sangat berhati-hati serta tidak sembarangan membunuh, karena terlihat tidak mengincar bagian vital yang mengancam nyawa. Meskipun demikian dari luar dapur, Cakiya dapat mencium bau amis darah yang amat pekat dari dalam rumah makan tersebut. Ia pun berniat memasuki rumah makan itu, karena ingin tahu tentang kejadian apa yang membuat seorang anak pejabat begitu yang dikawal puluhan ahli bela diri bisa sedemikian terdesak hingga menyalakan kembang api kemuning .
Saat Cakiya melangkahkan kakinya, dua orang pendekar jawara serta seorang ksatria tiba secara bersamaan tepat di belakang punggung Cakiya. Cakiya membalikkan tubuh lalu menatap mereka bertiga, di dalam benaknya Cakiya menduga jika dua orang pendekar tersebut merupakan pengawal dari ksatria tersebut. Ksatria itu terlihat begitu terlatih dengan tubuh kekar. Kedua matanya cemerlang serta wajahnya sangat tampan. Akan tetapi, Cakiya merasa jika bahasa tubuhnya terlalu kasar serta sikapnya terlihat begitu sombong. Ksatria itu mendesis jengkel saat melihat para jawara yang tidak berdaya dari sela-sela jendela dapur. Ia bahkan menatap Cakiya dengan angkuh seolah-olah Cakiya tidak lebih dari noda yang mengganggu penglihatan ksatria itu. Begitu pula dengan kedua jawara yang mengawalnya tersebut, mereka memandang Cakiya dengan tajam seolah-olah Cakiya adalah saingan atau musuh lama. Melihat gelagat ketiga orang itu yang kurang bersahabat, Cakiya mengurungkan niat untuk memasuki rumah makan itu. Cakiya berniat mengamati perkembangan situasi terlebih dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Maret
belajar sejarah
2022-01-18
0
Pulau Batam
lanjut...
2021-12-07
0
Sis Fauzi
suka genre seperti ini 😀❤️
2021-08-16
2