Puluhan prajurit pamong itu tiba dengan wajah garang, namun saat melihat sosok Mahisa yang berpakaian ksatria dengan simbol kepala harimau serta matahari serta dikawal oleh empat orang wiracaya, mereka mendadak menjadi ramah. Simbol harimau dan matahari merupakan simbol bangsawan kelas atas dari Ibu Kota Kerajaan.
“Ah…Tu,Tuan.” Sapa pimpinan pasukan pamong kepada Mahisa. “Nama saya Notokusno pimpinan pasukan pamong dari gerbang Timur. Begitu melihat kembang api kemuning kami segera ke tempat ini untuk menyelidiki apa yang terjadi.”
Kepala pasukan pamong benar-benar tergugup-gugup ketika bertemu dengan Mahisa, yang mengenakan seragam khas kaum ksatria dari Ibu Kota. Belum lagi dengan fisik Mahisa yang berbeda jika dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya. Tubuh Mahisa begitu jangkung, wajahnya begitu tampan dengan hidung mancung seperti paruh burung elang serta sepasang mata hijau bagaikan permata zamrud. Baru pertama kali dalam hidupnya pimpinan pasukan pamong itu melihat orang dengan fisik yang demikian mengenakan pakaian khusus dari kaum ksatria sehingga Ia merasa canggung ketika bertemu dengan Mahisa.
Mahisa sendiri membalas sapaan pimpinan pasukan pamong itu dengan senyuman ramah, dan kemudian menundukkan kepala dengan posisi tubuh sedikit membungkuk. Hampir semua pasukan pamong yang berada di tempat itu begitu terkejut ketika melihat Mahisa menunduk dengan sopan kepada pasukan pamong seperti
mereka. Adab seorang ksatria umumnya tidak menyapa dahulu atau menundukkan kepala serta memberi salam dengan bahasa yang sopan serta tutur kata halus kepada prajurit rendahan seperti mereka. Namun, apa yang dilakukan Mahisa berlawanan dengan adab kaum ksatria pada umumnya. Melihat Mahisa yang begitu santun dan sopan membuat pasukan pamong semakin sungkan serta hormat pada Mahisa. Hati mereka tergerak ketika melihat sosok bangsawan rendah hati seperti itu.
“Namaku Mahisa Sabrang Kawanda, pengikut Tuan Yasodana dari Ibu Kota Kerajaan. Karena suatu alasan Tuan Yasodana kemudian mengutus kami di kota Lamunarta selama beberapa hari ini. Saat kami sedang melaksakan tugas, kami segera mengikuti tanda dari kembang api kemuning diledakkan oleh seseorang. Belakangan kami semua baru mengetahui jika kembang api kemuning rupanya dibunyikan Raden Wardhana.”
Para prajurit pamong itu mengangguk canggung ketika Mahisa memperkenalkan dirinya. “Baik Tuan, jika ada yang bisa kami bantu di sini, mohon jangan sungkan pada kami semua.” Sambut pimpinan pasukan pamong tersebut.
Mahisa kemudian memberikan perintah kepada para wiracaya pengikutnya dan para prajurit pamong untuk mencari senjata pusaka atau pun barang berharga yang dibawa orang-orang yang sudah tidak berdaya atau tidak sadarkan diri di tempat itu. Mereka lalu mengumpulkan semua senjata serta barang berharga di atas meja kayu rumah makan itu. Ketika mereka semua tengah mengumpulkan benda-benda tersebut, Mahisa lalu memberi perintah tambahan.
“Cari tombak milik Baruna itu.” Perintah Mahisa kepada wiracaya bertopeng kepala burung hantu tersebut."Sepertinya tombak itu merupakan salah satu wujud dari kemampuan Keris Rudra Arutala untuk berubah bentuk menjadi senjata lain."
Dibantu dua orang prajurit pamong, wiracaya bertopeng burung hantu tersebut mencari tombak milik Baruna. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan tombak tersebut. Kemudian Mahisa memerintahkan Gagak Kanaka dan juga wiracaya bertopeng burung elang memncari tombak milik Baruna tersebut, meski hasilnya tetap saja nihil. Para prajurit pamong yang sudah selesai mengumpulkan barang-barang berharga yang lain menwarkan diri untuk membantu para wiracaya mencari tombak berwarna puih milik Baruna. Akan tetapi, keberadaan tombak itu tidak ditemukan dimanapun bagaikan menghilang ditelan bumi.
“Tombaknya hilang.” Lapor wiracaya yang mengenakan topeng kepala burung elang.
“Apa!?” Mahisa tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya begitu mengetahui tombak pusaka yang merupakan perubahan dari keris pusaka Rudra Arutala itu hilang.
“Kami sudah berusaha mencari di manapun, tetapi tidak dapat menemukannya.” Tambah Notokusno.
Mahisa hanya mengangguk muram, Ia seolah-olah sudah memahami apa yang terjadi. Rencananya Mahisa akan menyerahkan tombak putih tersebut kepada junjungan yang mengangkatnya menjasi seorang ksatria, Yasodana. Sayangnya, nasib baik kembali tidak berpihak pada Mahisa. Tombak itu mendadak hilang saat Mahisa dan
anak buahnya akan mencari senjata pusaka tersebut. Dengan leher terasa setengah tercekat karena disapu rasa kekecewaan, Ia berusaha memberi semangat kepada anak buahnya maupun para prajurit pamong.
“Delapan pusaka memang bukan pusaka sembarangan yang dapat direbut sedemikian mudah.” Kata Mahisa sambil mengangkat tombak Pralananta lalu mengagumi setiap detai ketajaman bilah mata tombak milik Ranggaseta itu. “Gada Arutala akan bertambah berat serta membakar siapa pun yang memaksanya menjadi pemiliknya. Kemungkinan pusaka milik Baruna ini juga memiliki strategi perlawanan agar tidak dimiliki oleh orang-orang yang dianggapnya tidak layak.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan.” Tanya wiracaya bertopeng kepala burung hantu.
“Soal Baruna itu, kita selesaikan secepat mungkin. Serahkan Baruna dan pendekar muda itu pada orang-orang Lamunarta. Aku juga ingin melihat apakah keris Rudra Arutala akan mencari majikan baru lagi setelah kematian Baruna. Pendekar muda itu sebaiknya juga dihukum mati, kudengar, Ia mencuri senjata dan berbuat keonaran di sekitar wilayah alun-alun. Kita harus memfokuskan diri pada misi utama kita.”
“Baik Tuan.” Jawab wiracaya bertopeng kepala burung hantu itu.
“Jika Tuan-Tuan prajurit sekalian tidak keberatan bagaimana jika dua ini kami
serahkan kepada Anda sekalian.” Mahisa lalu menunjuk Baruna serta Cakiya
yang tidak sadarkan diri.
“”Baik Tuan Mahisa.” Jawab Notokusno.
“Bawa juga seorang ksatria serta dua orang jawara ini.” Mahisa menunjuk ksatria serta dua orang jawara yang pingsan dalam pertarungan melawan Baruna.
“Baik Tuan.”
“Selain itu, apakah anda sekalian tidak keberatan untuk berjaga-jaga luar tempat ini?”
Para prajurit pamong mengangguk disusul dengan jawaban menyetujui usul dari Mahisa tersebut. Mereka pun segera mengamankan Baruna serta Cakiya, lalu membawa dua orang pendekar itu pergi dari rumah makan itu. Selain itu seorang ksatria serta dua orang jawara pengikutnya yang sebelumnya berduel melawan Baruna juga diangkut oleh para prajurit pamong.
Namun, ketika para prajurit pamong berniat membawa para jawara anak buah Wardhana serta Ranggaseta ke luar dari rumah makan itu, Mahisa melarangnya. Mahisa melarang dengan alasan akan meminta keterangan dari para jawara itu. Para prajurit pamong pun tidak membantah perintah Mahisa selain karena sungkan bahwa Mahisa begitu sopan juga tidak ingin mendapat masalah jika berani membantah orang-orang dari Ibu Kota Kerajaan. Para pejabat Ibu Kota Kerajaan dikenal memiliki berbagai kemampuan bela diri yang hebat serta koneksi luas di kalangan para pejabat, sehingga keberadaan para pejabat dari Ibu Kota begitu disegani dan ditakuti oleh orang-orang dari luar daerah Ibu Kota.
Setelah seluruh prajurit pamong itu berada di luar, Mahisa lalu memerintahkan wiracaya yang mengenakan topeng kepala burung hantu dan kepala burung elang untuk membuat formasi di empat sisi ruangan. Para wiracaya itu kemudian mengangguk bersamaan, lalu berdiri di masing-masing sisi ruangan sambil menggumamkan mantra dalam bahasa yang sulit dipahami selama beberapa saat. Tempat itu yang pada awalnya cukup bising karena suara-suara dari orang-orang yang berkumpul di luar rumah makan itu, mendadak menjadi sunyi senyap. Udara di tempat itu yang awalnya begitu menyesakkan serta bau darah anyir mendadak tergantikan oleh aroma harum bunga-bunga yang menusuk. Mengetahui suasana tempat itu berubah drastis, Mahisa mengangguk puas dengan hasil kerja keempat anak buahnya tersebut, Usai merapal jurus tersebut, para wiracaya meninggalkan formasi lalu bergabung bersama Mahisa sambil mengawasi sekeliling mereka jika ada seseorang tidak diundang yang berhasil menembus ajian pelindung yang mereka buat.
“Sekarang tidak ada yang bisa menguping pembicaraan kita. Bahkan jika prajurit pamong mencuri lihat, yang mereka lihat hanya ilusi.” Lapor wiracaya bertopeng kepala burung elang kepada Cakiya.
“Bagus Garuda Cemani. “Formasi ajian Tarian Catur Kamboja kalian semakin lama semakin baik. Rapalan mantra kalian semakin efisien dan cepat. Konsentrasi untuk mengendalikan energi juga semakin efisien.” Puji Mahisa.
“Terima Kasih” Garuda Cemani mengangguk mantab.
“Gara-gara kembang api kemuning itu kita kehilangan jejak.” Keluh wiracaya bertopeng kepala burung hantu sambil memeriksa senjata sitaan dan barang-barang berharga milik para jawara.
“Tidak usah sedih Arcaya Jingga. Mereka masih tidak jauh dari tempat ini.” Hibur Mahisa. “Hanya soal waktu sebelum kita bisa berhasil menangkap mereka bertiga.”
“Apa ada yang aneh dari barang-barang itu?” Tanya Garuda Cemani.
Arcaya hanya menggeleng sambil menggeram jengkel. “Hanya senjata-senjata sampah dan barang-barang receh dari logam mulia. Selebihnya tidak ada yang lain.”
“Begitu.” Gumam Garuda Cemani meski ada nada kekecawaan terdengar dari suaranya. “Hanya
senjata tombak Kyai Pralananta saja yang bisa kita dapat.”
“Tidak untungnya kita meladeni kembang api kemuning itu, toh juga akhirnya kita mengalami kerugian. Lihat racun bius yang dihamburkan Gagak Kanaka itu. Belum lagi dengan tenaga kita yang terkuras untuk membuat formasi Tarian Catur Kamboja itu. Yang kita dapat hanya puluhan bilah senjata yang cukup sulit dijual dan juga puluhan jawara tidak berdaya ini.” Keluh Arcaya.
“Kupikir kita mendapat untung dari keberadaan kita di tempat ini.” Bantah Gagak Kanaka. “Lihat, kita mendapat senjata pusaka Kyai Pralananta. Itu senjata pusaka kelas atas dimana hanya satu tingkat di bawah delapan pusaka suci. Senjata ini sudah beberapa generasi menjadi rebutan aliran hitam dan putih hingga kemudian dimiliki oleh Ranggaseta. Kalau kaujual senjata itu, kau bisa menjadi tuan tanah selama beberapa generasi.” Kekeh Gagak Kanaka.
Arcaya mundur beberapa langkah serta menunjukkan gestur ketakutan saat melihat tombak Kyai Pralananta yang digenggam oleh Mahisa tersebut.
“Jangan dekatkan benda itu padaku.” Ujar Arcaya gugup.
“Ada apa denganmu?” Kekeh Gagak Kanaka. “Tidak biasanya takut pada senjata atau benda mati.”
“Bodoh.” Maki Arcaya. “Kau tidak tahu senjata itu selalu membawa petaka banjir darah serta membawa sial bagi siapa pun pemiliknya. Senjata itu sudah malang melintang dalam beberapa perang besar, entah kenapa bisa dimiliki orang seperti Ranggaseta. Buang saja senjata itu di laut atau jurang.”
“”Wah kupikir kau tidak percaya tahayul.” Ejek Gagak Kanaka.
“Terserah.” Arcaya terlihat jengkel.
“Sudah jangan bertengkar.” Sela Garuda Cemani. “Bagaimana jika kita siapkan perbekalan selanjutnya untuk memburu mereka saja. Kita berangkat sebelum gelap, bagaimana Raden Mahisa?”
Mahisa berdecak sambil menghela nafas panjang lalu menjawab Garuda Camani. “Sudah kubilang jika tidak ada orang asing di sekitar kira, panggil nama panggilanku saja. Agak aneh kalau kalian semua menyebutku Tuan, Raden, Gusti atau panggilan-panggilan ala bangsawan itu atau semacamnya. Gelar itu hanya kesepakatan, yang terpenting adalah hasil kita dalam bekerja. Bekerja mengabdi kepada Tuan Yasodana.”
“Baik Ra…ah maksud saya Mahisa.” Jawab Garuda Cemani canggung.
“Lalu bagaimana dengan para jawara dan si Ranggaseta itu?” Tanya Gagak Kanaka.
“Bunuh mereka semua, termasuk si Ranggaseta itu. Kudengar mereka semua bertemu dengannya sebelum berduel melawan Baruna. Kita harus melenyapkan saksi-saksi yang tidak perlu tentang keberadaan orang-orang itu . Bakar juga tempat makan ini.” Wajah Mahisa menjadi sedinging es ketika menuding seorang ksatria dan dua orang jawara. “Untuk pendekar dan ksatria yang sudah tidak berdaya itu, pindahkan mereka ke tempat aman. Selain itu sebarkan berita jika para jawara itu tewas akibat ulah Baruna. ”
“Lalu bagaimana dengan barang berharga mereka?” Tanya Gagak Kanaka sekali lagi.
“Tinggalkan saja barang-barang itu. Biar orang-orang sekitar yang mengurusnya. Kita
berangkat sebelum gelap.” Perintah Mahisa.
“A…apa benar senjata Kyai Pralananta itu akan Anda bawa?” Tanya Arcaya dengan nada suara khawatir bercampur ketakutan ketika menyadari jika Mahisa dari tadi tidak melepaskan tombak Kyai Pralananta dari genggamannya.
“Tidak usah khawatir dengan tahayul sahabatku. Mungkin pemilik-pemilik sebelumnya memiliki banyak kekurangan saat memiliki senjata ini, sehingga Kyai Pralananta memiliki reputasi yang sedemikian buruk. Tidak ada salahnya jika reputasi senjata pusaka ini akan kuperbaiki di tanganku.” Jawab Mahisa dengan senyum puas menimang-nimang tombak Kyai Pralananta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Sis Fauzi
mau juga dong tombak pralanantanya
2022-03-01
2
Maret
fenomenal
2022-01-18
0
Alfin Thofar
ada typo
2022-01-17
0