Tubuh Mahisa terasa dihempaskan dengan kuat saat auman harimau berwarna merah darah bergema di kepalanya. Mahisa mengejang hebat dan kesadarannya berangsur-angsur kembali seperti sedia kala. Ia pun menyadari jika dirinya tidak lagi berada di kolam darah maha luas bersama harimau raksasa berwarna merah darah itu. Mahisa merasakan dirinya sedang berdiri tegak menggenggam tombak berwarna merah darah serta dikelilingi empat orang wiracaya anak buahnya. Wajah Mahisa terlihat begitu pucat serta keringat dingin membasahi tubuhnya yang gemetar. Wajar Mahisa terlihat begitu ketakutan, sebab baru dirinya baru pertama kali mengalami peristiwa seperti itu dalam seumur hidupnya.
“A..apa yang terjadi?” Tanya Mahisa terlihat kebingungan ketika empat orang wiracaya mengelilingi dirinya.
“Begitu menggenggam tombak itu, tatapan anda kosong untuk sesaat, dan kemudian tubuh anda mengejang.”
“Anda tidak apa-apa Tuan?” Tanya wiracaya yang mengenakan topeng kepala burung elang. “Tombak yang anda genggam itu adalah tombak Kyai Pralananta milik seorang pengawal Bupati Lamunarta bernama Ranggaseta.” wiracaya yang mengenakan topeng burung elang menunjuk seorang pendekar berkulit gelap berambut putih yang sedang tidak sadarkan diri.
“Apakah senjata tombak itu mencoba untuk berbicara dengan anda?” Tanya wiracaya bertopeng kepala burung hantu.
Mahisa mengangguk memberi isyarat bahwa tombak Kyai Pralananta mencoba untuk berbicara padanya sekaligus juga mengatakan dirinya baik-baik saja. Meski demikian, kepalanya terasa seperti berputar-putar hebat serta bau amis darah yang begitu kuat menempel di hidungnya tiba-tiba muncul begitu saja dari indra penciumannya.
Mahisa berniat memeriksa kondisi Ranggaseta yang tidak berdaya dan memeriksa keadaannya. Seluruh tulang lengannya hancur serta beberapa bagian urat di lengannya yang putus. Mahisa langsung memahami jika Ranggaseta tidak akan mampu lagi menggunakan tombak Kyai Pralananta. Seluruh luka di lengan itu akan membuat Ranggaseta pensiun sebagai seorang pendekar untuk selamanya. Mahisa kemudian menimang tombak Kyai Pralananta sambil berkomentar dalam hati jika yang amat disayangkan apabila tombak pusaka sehebat Kyai Pralananta akan dimiliki oleh orang cacat yang tidak akan bisa menggunakan ilmu bela diri lagi. Di dalam benak Mahisa, kemudian muncul sebuah keinginan untuk menginginkan tombak Kyai Pralananta. Demikian pula empat orang wiracaya bawahan Mahisa merasa jika tombak Kyai Pralananta tersebut jauh lebih cocok jika digunakan ksatria seperti Mahisa.
“Tombak itu jauh lebih cocok jika dibawa oleh Tuan Mahisa dari pada menjadi milik Ranggaseta.” Komentar wiracaya bertopeng kepala burung gagak itu.
“Gagak Kanaka.” Tegur Mahisa pada wiracaya yang mengenakan topeng gagak “Kalau tidak ada orang lain di sekitar kita, panggil saja namaku, tidak usah menggunakan embel-embel kata Tuan.”
“Tapi…” Bantah Gagak Kanaka.
“Ini Perintah yang harus dipatuhi atasanmu.” Mahisa tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya.
Gagak Kanaka mengangguk mantab dengan tatapan penuh kekaguman terhadap Mahisa Kawanda yang sedang menimang-nimang tombak bilah Kyai Pralananta. Mahisa terlalu asyik memeriksa tombak tersebut hingga tidak sadar Gagak Kanaka tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan penuh kekaguman. Beberapa bulan yang lalu Gagak Kanaka dan Mahisa adalah rekan satu kelompok dalam satuan wiracaya, meski demikian dalam hal kemampuan dan kecerdasan Mahisa jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan Gagak Kanaka. Karena kemampuan Mahisa jauh di atas Gagak Kanaka, Gagak Kanaka selalu menganggap Mahisa sebagai sosok seorang kakak, sekali pun usia mereka hanya terpaut beberapa bulan.
Hanya beberapa minggu berselang Mahisa diangkat menjadi ksatria oleh Yasodana, namun dalam pengamatan Gagak Kanaka, Mahisa berkembang begitu pesat dalam hal ilmu taktik, persenjataan serta kepemimpinan. Mantan rekannya itu berhasil menyerap seluruh pelajaran yang diberikan oleh pihak Kerajaan dalam waktu singkat. Mahisa
mampu menguasai seni bela diri tangan kosong serta senjata dengan sangat baik, bahkan dalam waktu beberapa minggu itu hanya sedikit ksatria yang mampu menandingi kemampuan Mahisa dalam bela diri, terutama dalam seni bela diri menggunakan tombak. Dari segi karakter, Mahisa dalam pandangan Gagak Kanaka menjadi lebih memiliki kharisma serta aura seorang pemimpin mumpuni dengan pengetahuan serta tata krama seorang ksatria Kerajaan.
“Kita dahulu adalah rekan, aku hanya sedikit beruntung diangkat Tuan Yasodana sebagai ksatria untuk memudahkan kita semua memburu mereka. Dengan jabatanku sebagai ksatria dari Ibu Kota Kerajaan memudahkan kita mengakses seluruh wilayah kerajaan tanpa menunjukkan surat kuasa dari pejabat lokal. ” Kata Mahisa sambil menatap lekat-lekat mata tombak Kyai Pralananta,
Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah para prajurit memasuki rumah itu dari segala arah. Baik melalui dapur, pintu depan, maupun lubang yang berasal dari tembok bambu yang tidak sengaja dirusak Cakiya. Puluhan prajurit pamong dari kota Lamunarta tiba dengan sebilah tombak serta perisai melingkar dengan lambang matahari serta bulan sabit di bagian kiri dan kanan. Mereka berada tempat itu seolah-olah sedang berada di medan perang, siap bertempur dengan siapa pun hingga kematian menjemput.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Sis Fauzi
ow, jadi ksatria itu pejabat kerajaan
2022-03-01
2
Maret
next episode
2022-01-18
0
Dhina ♑
orang baik dan bijaksana, pasti rendah hati 🤗🤗
2021-06-02
0