Mengetahui rentetan ledakan tersebut, muncul berbagai pertanyaan dari dalam benak Baruna, apakah ledakan itu disebabkan karena pertarungan dirinya melawan para jawara yang dipimpin Ranggaseta ataukah karena hal lain. Meski demikian, berbagai pertanyaan di dalam kepala Baruna mengenai sumber ledakan itu akhirnya terjawab sudah oleh komentar seorang jawara usai terjadi ledakan tersebut.
“Rupanya Raden Wardhana menghidupkan kembang api kemuning dari Kerajaan.” Komentar Salah satu jawara.
“Semakin rusuh saja jadinya.” Keluh salah satu jawara.
“Nanti, bisa-bisa bayaran kita berkurang atau direbut orang lain.” Sahut jawara yang lain.
“Kembang api kemuning dari Kerajaan.” Gumam Baruna.
Baruna sendiri pernah mendengar mengenai kembang api kemuning yang merupakan kembang api sinyal milik Kerajaan. Kembang api itu merupakan sebuah kembang api khusus dimana kepemilikannya hanya boleh dimiliki oleh keluarga pejabat setingkat Bupati atau bangsawan ibu kota yang kepemilikannya ditunjuk langsung oleh Raja. Jika kembang api tersebut dibunyikan oleh orang yang tidak berhak, orang tersebut dapat dikenai hukuman gantung di alun-alun. Kembang api jenis ini memiliki fungsi untuk memanggil pasukan wiracaya atau pun orang-orang pengikutnya jika terjadi bahaya atau ancaman keamanan yang sangat genting. Alasan mengapa hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan memilikinya salah satunya adalah harga kembang api tersebut yang sangat mahal. Bahan baku mesiu yang didatangkan dari kapal yang berasal dari negeri asing yang sangat jauh, serta serta harus dipesan beberapa tahun sebelumnya membuat kembang api kemuning begitu langka serta terbatas.
Ketika kembang api sinyal bahaya tersebut dibunyikan, para wiracaya, pasukan pamong, pendekar pengikut pejabat yang bersangkutan wajib mendatangi tempat dibunyikannya kembang api kemuning. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, mereka dapat diganjar hukuman mati dengan tuduhan melawan pejabat atau mencoba memberontak terhadapat Kerajaan. Selain itu, tidak hanya para pengikut yang mendatangi sinyal kembang api tersebut, pendekar bayaran yang menginginkan imbalan juga diperbolehkan membantu atau pejabat yang membunyikan kembang api
tersebut.
“Sebelum orang-orang Kerajaan atau pendekar-pendekar lainnya tiba di tempat ini, bagaimana jika kita menyelesaikan urusan kita.” Usul salah satu jawara sambil melirik Baruna dan menatap Ranggaseta yang sudah tidak bergerak, namun masih bernafas.
Para jawara hanya menatap nanar mengetahui pimpinan mereka yang pingsan dan terluka parah karena serangan Baruna. Mereka awalnya terlihat seperti dilanda kebingungan saat mengetahui Ranggaseta yang begitu ditakuti karena kekuatan dan kebrutalannya, kini tidak sadarkan diri. Terlebih lagi lengannya sudah remuk sehingga tidak akan mampu lagi menggunakan jurus-jurusnya. Melihat pemimpin mereka dipastikan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, para jawara itu justru saling memandang satu sama lain serta menyunggingkan senyum aneh yang cukup janggal bagi Baruna. Firasat Baruna berkata bahwa para jawara itu akan melakukan hal-hal yang buruk, namun bukan ditujukan kepada dirinya.
“Hei bagaimana jika kita semua bertaruh.” Usul salah seorang jawara salah satu anak buah Wardhana tiba-tiba. “Siapa diantara kita yang lebih dahulu melenyapkan Ranggaseta akan menjadi pimpinan kita.”
“Hahahaha setuju.” Jawab rekannya yang kemudian disambut anggukan persetujuan jawara yang lain.
“Ayo, kita segera lenyapkan nyawa orang sombong ini.” Usul salah satu jawara sambil melirik Ranggaseta yang dijawab anggukan persetujuan oleh rekan-rekannya.
“Sudah lama kunantikan saat-saat seperti ini, kalau ingat dia yang terus-terusan memanggil kita monyet atau anjing membuatku ingin buru-buru menghabisinya.” Sahut jawara yang lain.
Beberapa jawara yang tadi memapah Wardhana kembali ke rumah makan. Seorang dari mereka mengenakan pakaian yang berlumuran darah, karena membantu Wardhana mati-matian menaiki kudanya. Wajah mereka terlihat kusut serta tidak bersemangat saat mengetahui jika majikan mereka membunyikan kembang api kemuning yang akan mengundang hampir semua pendekar dan prajurit di kota itu untuk membereskan Baruna.
“Kemana Tuan Muda?” Tanya salah satu jawara.
“Pulang naik kuda, setelah membunyikan kembang api kemuning yang disimpannya di pelana. Sepertinya sebentar lagi para pendekar dari kelompok lain, pasukan pamong atau wiracaya kerajaan yang bertugas di kota ini akan tiba.” Jawab salah satu jawara yang baru tiba. “Ada apa ini, kenapa kalian terlihat senang,padahal bayaran kita jelas-jelas akan berkurang dengan datangnya orang lain selain kita?”
“Untuk soal uang tidak masalah, yang penting orang ini tidak akan lagi memimpin kita.” Jawab salah satu jawara sambil memperagakan gerakan memotong lehernya menggunakan telapak tangan seolah-olah menyembelih dirinya sendiri.
Dua orang jawara yang tadi memapah Wardhana sudah tanggap apa yang dibicarakan oleh rekan-rekannya saat mereka tidak ada di tempat itu. Ia pun menyetujui usul tersebut sambil menyeringai lebar kegirangan.
“Jangan lupa taruhannya juga.” Kekeh salah satu jawara yang berlumuran darah Wardhana.
“Yang ertama kali membunuhnya akan menjadi pimpinan kita” Jawab rekannya. “Tapi kalau hanya itu sepertinya tidak seru, bagaimana jika ditambah dua keping emas?”
“Setuju!”
“Kita setuju.” Sahut yang lain.
Wajah para jawara menjadi sumringah ketika saat mereka bermufakat untuk melenyapkan nyawa Ranggaseta disertai dengan taruhan. Taruhannya adalah siapa di antara mereka yang mampu melenyapkan nyawa Ranggaseta paling dulu akan menjadi pemimpin mereka dan juga memperoleh dua keping emas. Mengetahui rencana mereka, Baruna tiba-tiba menjadi muak, serta tersulut amarahnya. Ia tidak menyangka jika para jawara yang dalam sejarahnya merupakan orang-orang terlatih dalam hal bela diri dimana seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan justru menjadi orang-orang pengecut yang tega mengkhianati pemimpin mereka saat Ranggaseta sudah lagi tidak berdaya. Alih-alih mereka menolong Ranggaseta, mereka justru berusaha menyingkirkan serta mengambil keuntungan dari kalahnya Ranggaseta.
“Tidak kusangka kalian benar-benar lebih rendah dari binatang.” Desis Baruna menahan amarahnya.
“Ayolah kawan.” Gelak salah satu jawara. “Kau itu juga sama bejatnya dengan kami, tidak usah sok suci. Kau itu tidak hanya membunuh gurumu yang sudah menampung dan merawatmu, tapi juga mencuri keris pusaka Perguruan Harimau Bulan yang menyebabkan perguruanmu dibubarkan oleh Raja. Kita ini sama bukan.” Kelakarnya yang disambut tawa cemooh para jawara.
“Benar, nanti kita bilang pada Tuan Bupati kalau Ranggaseta berkhianat dan menewaskan rekan-rekan kita dan juga melukai Raden Wardhana.” Kata jawara yang sebelumnya memapah Wardhana keluar dan pakaiannya penuh debu memberikan usul. “Kita juga harus berterima kasih kepada tuan pendekar yang di sana atas jasa-jasanya.
“Tuan pendekar tidak usah khawatir. Kalau misalnya aku menang taruhan, akan kuberi setengah dari hadiahnya.” Kelakar jawara yang mengenakan pakaian berlumuran darah.
Para jawara terbahak-bahak senang mendengar kelakar dari rekannya yang akan membagi hasil taruhannya kepada Baruna jika memenangkan taruhan tersebut. Mereka lalu berniat untuk membunuh Ranggaseta yang kini tidak berdaya. Beberapa dari mereka kemudian mengambil senjata berupa belati serta keris dari balik pakaian mereka lalu menghunuskannya. Dengan senjata di tangan, para jawara berjalan ke arah Ranggaseta dan berniat minikamnya beramai-ramai.
“Berbisiklah Nyai Rudra Arutala dan Bernyayilah Kyai Sakwari Warsita.” Desis Baruna dengan amarah yang menggelegak. “Bantulah aku, pendekar tanpa nama tombak Rudra Warsita Arutala.”
Hembusan angin kuat tiba-tiba mengelilingi tempat itu sekali lagi, akan tetapi kali ini hembusannya jauh berbeda. Angin kencang yang berhembus begitu dingin hingga menusuk sumsum tulang belakang siapapun yang tertiup olehnya angin itu. Bulu kuduk para jawara meremang saat angin itu berhembus melewati mereka dan kemudian bergerak menuju arah Baruna yang memutar-mutar tongkatnya dengan pelan. Di dalam hati, para jawara bertanya-tanya apa yang sedang Baruna lakukan kali ini. Dan akhirnya para jawara akhirnya mendapatkan jawabannya ketika melihat perubahan senjata yang digenggam oleh Baruna.
Baruna kini tidak lagi menggenggam sebuah tongkat. Di dalam genggamannya Ia membawa sebuah senjata berupa tombak dengan gagang berwarna putih dengan hiasan guratan berbentuk awan berwarna biru. Sementara pada bagian bilah, ujung tombak berbentuk melengkung dengan warna putih nyaris memiliki permukaan yang transparan. Bentuk tombak tersebut, merupakan gabungan senjata tongkat milik Baruna dengan keris Rudra Arutala miliknya. Tanpa banyak bicara Baruna pun segara merangsek maju menyerang para jawara yang berniat untuk melenyapkan nyawa Ranggaseta. Dengan sekuat tenaga Baruna berusaha melindungi kakak seperguruannya itu. Jauh di dalam hatinya, ada perasaan menyesal Baruna telah membuat kakak seperguruannya itu cacat, Akan tetapi dirinya merasa wajib melakukan hal itu, sebab apa yang dilakukan Ranggaseta selama ini sudah menyimpang terlalu jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
asta guna
namanya keren
2024-02-24
0
Maret
terbaik
2022-01-18
0
Maret
best author
2022-01-18
0