“Tuan-Tuan silakan jika ingin memburu siapa pun yang berada di dalam. Saya sendiri hanya seorang pemuda yang kebetulan melintas di dekat sini dan tertarik oleh kembang api yang dibunyikan dari sini. Sebetulnya saya tidak lebih dari ingin melihat-lihat saja.”
Ksatria dan serta dua orang jawara itu hanya menjawab kata-kaya Cakiya dengan kebisuan dan berlalu meninggalkannya dengan melangkah masuk melalui pintu dapur yang telah kosong ditinggalkan pemilik serta pelayannya yang telah melarikan diri setelah ledakan kembang api kemuning yang disulut oleh Wardhana. Salah satu jawara yang berada paling depan dari tiga orang tersebut mendorong Cakiya ke arah samping karena dianggapnya menghalangi mereka memasuki dapur. Mereka bertiga masuk ke rumah makan itu dengan langkah penuh percaya diri bersikap seolah-olah kemenangan sudah di dapan mata, meski pun belum bertemu atau setidaknya mengetahui kekuatan pendekar yang menjadi buronan itu. Melihat watak ketiga orang itu yang demikian sombong, Cakiya justru tersenyum geli, di dalam hati Ia justru menanti-nanti apakah kehebatan ksatria serta dua orang jawara pengawalnya itu berbanding lurus dengan kesombongan mereka. Cakiya lalu mencoba menyembunyikan diri di balik tembok bambu rumah makan itu sambil mengintip dari sela-sela anyaman tembok bambu.
Dari sela-sela lubang tembok anyaman bambu, Cakiya mengamati bagian dalam rumah makan yang ternyata sedimikian kacau. Ia dapat melihat beberapa jawara tewas bersimbah darah dengan perut yang berlubang, mayat mereka terlihat begitu pucat hingga berwarna putih karena terlalu banyak kehabisan darah. Selain itu disekitar ruangan, Cakiya melihat seorang pendekar tinggi besar berkulit gelap dengan rambut penuh uban sedang terkapar tidak berdaya. Cakiya kemudian mengamati sosok ksatria bersama dua orang jawara yang menatap pendekar berkulit gelap berambut putih yang tengah pingsan itu. Tidak jauh dari pendekar berkulit gelap itu berdiri sosok pendekar berpakaian sederhana menyandang tombak putih dengan bilah sebening kaca. Cakiya memiliki firasat bahwa tombak yang dipegang pendekar itu bukan senjata pusaka biasa, karena Ia dapat melihat hembusan angin tidak wajar yang berada di sekeliling tubuh pemuda itu.
“Jadi Ranggaseta kalah.” Gumam ksatria yang tadi bertemu dengan Cakiya di bagian belakang rumah makan kepada pendekar bertombak tersebut.
Cakiya tidak begitu jelas mendengar percakapan mereka karena intonasi nada bicara antara ksatria dan pendekar bertombak putih tersebut sangat pelan. Setelah beberapa percakapan yang tidak dapat Cakiya dengarkan, terdengar umpatan dari salah satu jawara, dan mereka bertiga pun segera terlibat perkelahian dengan tujuan meringkus pendekar bertombak putih. Mereka saling bertukar jurus selama beberapa saat hingga pendekar bertombak putih itu terlihat begitu mendominasi pertarungan. Cakiya begitu antusias mengamati pertarungan mereka bertiga. Ia begitu kagum pada pemuda bertombak itu yang begitu cekatan memainkan jurus tombaknya. Cakiya menebak jika pendekar bertombak putih itu akan memenangkan pertarungan itu dengan cepat karena beberapa alasan.
Yang pertama pendekar bertombak putih itu begitu tenang serta menguasai jurus-jurusnya. Kedua setiap gerakan pendekar bertombak itu sangat efektif, tidak ada satu jurus pun yang sia-sia. Setiap mengeluarkan satu jurus, Ia selalu dapat merepotkan semua lawannya meski ksatria dan dua orang jawara yang melawannya juga merupakan
petarung yang cukup hebat. Yang ketiga, senjata tombak putih yang dipegang pemuda itu bukan senjata sembarangan. Cakiya menduga tombak putih itu juga memiliki kekuatan selain mengendalikan angin, juga memberikan kekuatan berupa kecepatan atau daya rusak dari penggunanya. Beberapa kali Cakiya melihat angin berpusar mengelilingi pergelangan kaki serta tangan pendekar bertombak putih tersebut, dan membuat gerakannya menjadi lebih cepat hingga sulit untuk ditangkap mata Cakiya. Cakiya terpaksa berkonsentrasi lebih tinggi agar penglihatannya dapat menangkap gerakan pendekar bertombak putih itu secara keseluruhan. Konsentrasinya yang demikian tinggi membuat Cakiya tidak memperhatikan sekitarnya, hingga Cakiya tidak menyadari jika tubuhnya terlalu condong pada tembok bambu yang menjadi sandarannya.
Tembok bambu yang menjadi tempat bersandar Cakiya pun roboh bersamaan dengan ketiga pendekar yang terkejut saat melihat sosok Cakiya menjebol tembok rumah makan tersebut. Kelengahan mereka bertiga karena Cakiya tidak sengaja merusak tembok bambu itu dimanfaatkan oleh pemuda bertombak putih itu untuk melumpuhkan ksatria dan dua orang jawara pengawalnya. Prediksi Cakiya bahwa pendekar bertombak putih akan memenangkan pertarungan melawan ksatria serta dua orang jawara pengawalnya benar-benar menjadi kenyataan. Meski demikian, penyebab kemenangan pendekar bertombak putih itu akibat kecerobohan Cakiya yang kurang hati-hati bersandar pada tembok bambu, yang membuat ketiga lawan pendekar bertombak putih itu lengah. Saat melancarkan jurus untukmelumpuhkan ksatria dan dua orang jawara pengikutmya. Cakiya mendengar pendekar bertombak itu bergumam.
“Jurus Harimau Bulan Mengumpulkan Awan.” Pendekar bertombak putih itu menghantamkan ujung bagian bawah bilah tombak miliknya sebanyak tiga kali pada dahi, hidung serta dagu secara cepat pada ketiga lawannya.
Mereka pun tidak sadarkan diri setelah menerima jurus dari pendekar bertombak putih itu dan beringsut ke tanah dengan posisi telentang. Usai melumpuhkan ketiga lawannya, pendekar bertombak putih itu segera menyerang Cakiya tanpa mengatakan sepatah kata pun sambil mengayunkan tombaknya secara vertikal. Pendekar bertombak putih itu mengira Cakiya adalah teman dari orang-orang yang memburunya. Kekacauan akibat pertempuran di tempat itu membuat pendekar bertombak putih sulit membedakan kawan maupun lawan. Cakiya dapat melihat sinar mata pendekar bertombak putih tersebut benar-benar menyorotkan rasa marah, sedih sekaligus frustasi dalam satu tatapan. Cakiya dapat memaklumi jika pendekar itu menyerangnya dengan liar membabi buta. Pertarungan berdarah dimana selalu berdatangan orang asing tanpa bisa diduga kedatangannya, memang membuat
seseorang sulit membedakan kawan atau lawan.
“Tunggu sebentar Tuan, aku tidak berniat untuk menyerang Anda.” Kata Cakiya.
“Setiap pendekar lemah yang mengendap-endap untuk mencoba menyerangku saat lengah atau para pengguna racun, pasti memberikan alasan demikian, begitu aksinya ketahuan. Mengatakan bahwa akan menjelaskan duduk
persoalan, atau mengatakan ada salah paham yang harus diluruskan. Jangan harap aku mempercayai setiap kata-katamu.” Pendekar bertombak putih itu pun maju menyerang Cakiya dengan tombaknya.
Cakiya berkata di dalam benaknya bahwa pendekar bertombak putih itu baru berhenti mengincar dirinya, bila sudah tidak berdaya atau tidak mampu untuk bertarung lagi. Cakiya pun terpaksa menghadang serangan pendekar bertombak putih itu, sambil membulatkan tekad untuk serius melawannya. Alih-alih menghindar atau menangkis jurus tombak dari pendekar bertombak putih itu, Cakiya justru maju beberapa langkah menghindari jangkauan bilah tombak putih yang tajam tersebut, lalu menggunakan jurus tendangan menyamping dengan sasaran bagian gagang tombak putih itu. Bunyi dua benda tumpul bergema hingga ke seluruh bagian ruangan. Dinding serta tiang rumah makan itu bergetar akibat dua jurus yang saling beradu. Tempat Cakiya berpijak pun meninggalkan retakan serta ceruk selebar beberapa sentimeter dengan bara api membara di sekitar bagian retakan. Rupanya Cakiya benar-benar menghadapi pendekar bertombak putih itu dengan serius hingga mengerahkan seluruh tenaganya menghadang serangan pendekar bertombak putih tersebut.
“Jurus Tendangan Celeng Geni dari Pancadaha.” Gumam Pendekar bertombak putih itu melihat retakan membara yang membekas di lantai dari tempat Cakiya melakukan kuda-kuda. “Aku tidak mengenalmu hai pendekar Perguruan Celeng Geni, tapi kalau kau datang kemari untuk memburuku akan kulayani.”
Pendekar bertombak putih itu kemudian menyerang Cakiya dengan mengibaskan tombak secara vertikal dengan kecepatan tinggi. Saat tombak itu berayun, Cakiya dapat melihat angin berhembus berputar tidak hanya pada kedua lengan pendekar itu, namun juga pada bagian ujung tombak. Meski kecepatan serangan pendekar bertombak putih itu dibantu angin yang muncul dari tombak pusaka itu, Cakiya masih dapat menghindarinya. Saat tombak itu melesat menyamping Cakiya melompat maju dengan posisi bersalto lalu melayang di udara dengan posisi kedua kaki menekuk serta kedua lengannya merentang dengan telapak tangan yang terbuka. Cakiya yang berada di udara lalu berniat membalas serangan, akan tetapi lawan Cakiya lebih sigap. Pendekar bertombak putih itu segera melompat mundur begitu Cakiya berhasil menghindari serangan tombaknya.
“Jurus Srigunting Membawa Kapas dari Pancadaha ” Pendekar bertombak putih itu terkejut melihat kuda-kuda Cakiya saat berada di udara. “Itu jurus dari Perguruan Srigunting Putih dari Pancadaha.”
“Benar sekali Tuan.” Balas Cakiya. “ Pengetahuan Tuan mengenai jurus-jurus aliran bela diri sungguh luas, ditambah lagi dengan jurus serta tombak pusaka milik Tuan juga benar-benar hebat sekali.”
Pujian Cakiya tidak ditanggapi oleh pendekar bertombak putih itu, Ia tetap menyerang Cakiya dengan cepat. Cakiya dapat melihat jika angin berpusar di kedua lengan serta pergelangan kaki pendekar bertombak putih itu. Baru kali ini Ia berhadapan dengan lawan yang memiliki kecepatan di luar nalar. Cakiya yang terdesak kemudian mencukil sebuah tanah mengarakannya kea rah wajah pendekar bertombak putih itu. Serangan itu berhasil membuatnya untuk sesaat. Kesempatan tersebut digunakan Cakiya untuk segera berlari di ujung ruangan, lalu meraih sebilah tombak berwarna merah darah yang berada tidak jauh dari mayat beberapa orang jawara. Tombak yang diraih Cakiya adalah tombak Kyai Pralananta milik Ranggaseta.
“Kupinjam sebentar.” Cakiya meraih tombak itu.
Saat Cakiya menggenggam tombak tersebut, dirinya merasakan sebuah sensasi yang tidak nyaman. Samar-samar Cakiya melihat harimau raksasa berwarna merah darah dengan mata bersinar berwarna hijau pucat berkelebat membelakangi dirinya. Bulu kuduk Cakiya meremang saat visi harimau jadi-jadian itu berkelebat di dalam benaknya. Ia enggan untuk menggenggam tombak itu untuk menggunakannya sebagai senjata atau bahkan memilikinya. Akan tetapi, situasi yang tidak memungkinkan memaksanya untuk menggunakan tombak Kyai Pralananta dalam pertempuran. Dengan sigap Cakiya mengayunkan tombak milik Ranggaseta tersebut serta berusaha menahan jurus-jurus pendekar bertombak putih itu. Apa yang dilakukan Cakiya dengan tombak merah dalam genggamannya kemudian mengejutkan lawannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Maret
semoga sukses
2022-01-18
0
Dhina ♑
14
13) 👍👍👍👍👍👍♥️♥️♥️♥️♥️♥️👍👍👍♥️♥️♥️♥️♥️⭐⭐⭐⭐⭐♥️♥️♥️⭐⭐⭐⭐♥️♥️♥️♥️👍👍👍♥️♥️♥️
2021-05-19
0
ARSY ALFAZZA
👍🏻👍🏻
2021-03-23
4