Laki-laki jangkung yang dipanggil Baruna oleh Ranggaseta tidak menjawab sepatah kata pun saat Ranggaseta memanggil namanya. Ia justru menundukkan kepala menyapa Ranggaseta dengan sopan seolah-olah mereka berteman meski Ranggaseta menunjukkan sikap sebaliknya. Baruna kemudian berdiri, menyibakkan pakaiannyadari debu dan kotoran, kemudian meraih tongkat senjatanya. Dengan tatapan datar Baruna memandang Ranggaseta dengan ketenangan serta kewaspadaan seorang ahli bela diri yang terlatih.
“Rupanya takdir menuntunku untuk membalaskan dendam mendiang Guru sekaligus menangkap buronan Kerajaan.” Ranggaseta tertawa dengan getir sambil melirik Baruna serta tiga orang perempuan itu. “Ratusan murid perguruan Harimau Bulan berususah payah untuk mencarimu untuk membalas dendam. Setengah dari mereka kalah olehmu dalam beberapa tahun belakangan ini. Tidak kusangka, justru dirimu sendiri yang mendatangi kota tempatku berada. Roda takdir benar-benar sebuah lelucon yang buruk.”
“Apakah Anda Ranggaseta si Tombak Darah?” Tanya Baruna. Ia sudah mendengar bahwa Ranggaseta merupakan salah satu tokoh yang disegani di Kota Lamunarta ini.
Ranggaseta hanya mengangguk muram ketika Baruna memanggil nama julukannya. Bersama tombak merah kesayangannya Ranggaseta selalu melakukan tugas-tugas kotor yang diperintahkan oleh Bupati Adiwardhana, dengan bengis serta tidak mengenal belas kasihan hingga mendapat julukan si Tombak Darah. Banyak yang menilai jika Ranggaseta sebenarnya jauh lebih tepat disebut sebagai jagal sang Bupati dari pada ajudan. Reputasi Ranggaseta selama puluhan tahun di kota Lamunarta sebagai seorang pendekar yang paling ditakuti di kota itu benar-benar tidak diragukan lagi. Bahkan, anak-anak kecil di kota Lamunarta saat menangis di malam hari akan langsung terdiam, jika Ibu mereka mengatakan Ranggaseta si Tombak Darah akan datang jika ada anak kecil menangis di malam hari.
Tugas Ranggaseta kebanyakan membungkam orang-orang yang menyatakan ketidakpuasannya dengan sang Bupati, atau mencegah orang-orang yang hendak pergi ke Ibu Kota mengadukan kezaliman dan kesewenang-wenangan sang Bupati Adiwardhana kepada Raja. Ia juga memiliki pekerjaan tambahan melenyapkan nyawa atau melakukan intimidasi dengan kekerasan pada orang-orang yang tidak disukai Bupati Adiwardhana. Bupati Lamunarta memang terkenal memiiki banyak kebiasaan buruk, antara lain suka menarik pajak melebih dari ketentuan yang ditetapkan Kerajaan, memeras orang-orang hingga menculik anak-anak gadis demi memuaskan nafsu birahinya. Kebiasaan itulah yang membuat Bupati Adiwardhana banyak memiliki musuh, serta terpaksa menyewa jasa para jawara atau sesekali menggunakan jasa wiracaya untuk melindungi dirinya. Selain menyewa jasa para jawara untuk melindungi dirinya, Bupati Adiwardhana juga menggunakan jasa para ahli bela diri untuk membuat orang-orang di Kota Lamunarta tetap tunduk dan hormat kepadanya. Termasuk dengan mengangkat seorang pendekar tangguh bernama Ranggaseta sebagai ajudan utama.
“Apakah Anda juga dari perguruan Harimau Bulan?” Tanya Baruna. “Aku pernah membaca surat lama dari Anda beberapa tahun yang lalu, saat Guru memerintahkanku membersihkan kamar serta membuang surat-surat yang menurut beliau sudah layak dibuang. Kudengar juga dari saudara-saudara seperguruan bahwa Anda adalah salah
satu murid dari Perguruan Harimau Bulan yang berhasil bekerja kepada seorang Bupati sebagai seorang pejabat.”
“Dua puluh tahun lalu aku belajar bela diri di perguruan Harimau Bulan. Lima tahun kemudian setelah menguasai semua jurus dan ajian perguruan Harimau Bulan, aku pergi merantau di Ibu Kota. Kemudian, atas petunjuk dari Tuan Yasodana, aku kemudian bekerja menjadi ajudan utama dari Bupati Lamunarta.”
“ Ternyata Anda adalah kakak seperguruanku.” Baruna menundukkan tubuhnya dengan sopan. Maaf karena jarak umur kita yang terlalu jauh membuat adik seperguruan kakang yang tidak sopan ini tidak mengenal Kakang.”
Akan tetapi, sikap sopan Baruna justru dibalas Ranggaseta dengan meludah di tanah lalu menggumamkan umpatan kasar. Ranggaseta sepertinya memendam amarah yang amat besar, meski sebenarnya dua orang itu belum pernah bertemu sekali pun. Dua puluh tahun lalu, Baruna masih berusia kurang lebih dua atau tiga tahun serta belum menjejakkan kaki di Ibu Kota Kerajaan. Baruna baru diasuh oleh Guru pemilik pemilik perguruan Harimau Bulan sekaligus menjadi murid perguruan itu saat dirinya berumur sepuluh tahun. Sepuluh tahun lebih Baruna tinggal di perguruan Harimau Bulan yang berada di Ibu Kota Kerajaan, selama sepuluh tahun lebih pula Ranggaseta tidak pernah pulang mengunjungi perguruan itu untuk sekedar menjenguk sang Guru atau pun mengunjungi saudara-saudara seperguruannya yang masih tinggal di sana. Entah karena alasan yang tidak diketahui Ranggaseta tidak pernah menjejakkan kaki di Ibu Kota Kerajaan atau pun mengunjungi perguruan Harimau Bulan. Yang Ranggaseta lakukan hanya sebatas mengirimkan surat beserta sejumlah uang dalam jumlah besar kepada Sang Guru untuk membantu perguruan Harimau Bulan selama beberapa tahun sekali.
“Di mataku kau bukan lagi murid perguruan Perguruan Harimau Bulan. Sudah banyak saudara seperguruan yang mengadu padaku tentang kejahatan-kejahatanmu pada Perguruan Harimau Bulan. Hari ini atas nama mendiang Guru, Kau tidak akan meninggalkan tempat ini dengan jasad tidak utuh!” Ranggaseta menggebrak meja bambu hingga hancur berkeping-keping.
“Aku hanya membela diri Kakang, tidak lebih dari keinginan dasar untuk bertahan hidup. Mereka dahulu yang menyerang diriku. Silahkan Kakang Ranggaseta bertanya pada murid-murid perguruan Harimau Bulan yang telah kukalahkan.”
“Termasuk dengan lima orang bersaudara dari desa Nawolo itu?” Tanya Ranggaseta dengan suara garang.
“Benar kakang, mereka semua benar-benar tangguh, akan tetapi mereka mudah untuk tidak
fokus serta perhatian mereka gampang dialihkan. Begitu kukalahkan yang terlemah dari mereka, jurus-jurus mereka menjadi mudah ditebak hingga aku bisa mengalahkan mereka. ”
“Tapi masalahnya, Kau juga membuat tiga dari lima orang saudara seperguruanmu itu cacat!” Bentak Ranggaseta. “Tanpa bantuan dari Tuan Yasodana, mereka semua akan menjadi gelandangan karena satu-satunya keahlian mereka dalam beladiri telah Kau musnahkan!”
“Tidak tahukah Kakang jika selama ini mereka bekerja sebagai perampok dan pemerkosa di sekitar jalan menuju Kota Lamunarta dan Kota Wanjitirta?” Kata Baruna dengan tenang. “Aku ingat sekitar tujuh atau sembilan tahun lalu mereka pamit kepada Guru untuk merantau, sesekali mereka pulang ke perguruan dan mengaku bekerja sebagai tukang kapal. Akan tetapi, saat bertemu mereka berlima di kota Wanjitirta, aku melihat dengan mata kepala sendiri jika jalan hidup mereka benar-benar seperti itu.”
“Mereka menjadi orang seperti apa itu bukan urusanmu. Itu hak mereka berlima, Kau tidak punya kuasa untuk mengatur kakak-kakak seperguanmu itu, bahkan melukai mereka hingga cacat!” Salak Ranggaseta. “Kau sudah membuat masa depan mereka suram dengan mematahkan tulang tangan dan memutus urat lengan mereka!”
“Aku harus melakukannya.” Balas Baruna. “Selama ini mereka menyalahgunakan bela diri Perguruan Harimau Bulan. Akan lebih banyak lagi korban dari orang-orang tidak bersalah seandainya mereka semua tidak kuhentikan.”
Mendengar jawaban Baruna, Ranggaseta hanya menggemeletukkan gigi serta menggeram dengan kesal. “Hai kalian monyet-monyet.” Ranggaseta memanggil para jawara yang mengawal Wardhana. “Kalian tangkap tiga orang perempuan itu. Orang ini biar aku yang mengurusnya. ”
Para jawara mengangguk lalu segera mengepung tiga perempuan itu serta dua orang pengawalnya. Perempuan itu dan dua orang pengawalnya hanya saling memandang satu sama lain, lalu dengan cekatan segera menyiagakan diri dengan memasang kuda-kuda. Mereka bertiga siap untuk berduel melawan para jawara.
“Dendam seluruh anggota perguruan Harimau Bulan atas kematian Guru, akan kupastikan terbalas hari ini.” Ranggaseta memutar-mutar tombaknya beberapa kali di udara sambil berbisik. “Tombak Kyai Pralananta, cabik-cabiklah tubuh pengkhianat durhaka ini!”
Ranggaseta merangsek maju menusukkan tombak dengan ulu hati adik seperguruannya itu sebagai sasaran. Tetapi, rupanya Baruna tidak menanggapi serangan tusukan tombak dari Ranggaseta, alih-alih menghadang serangan itu. Ia justru menghindar serangan Ranggaseta, dan kemudian bergerak memutarinya. Baruna justru melesat menghampiri para jawara yang sedang mengepung perempuan bangsawan itu dan pengawalnya. Baruna pun melancarkan serangan tongkatnya kepada para jawara dan menembus kepungan mereka. Ia berusaha untuk melindungi tiga orang perempuan itu dari serangan anak buah Wardhana.
“Aku memang tidak kenal dengan kalian.” Kata Baruna kepada perempuan bangsawan muda itu. “ Tapi, tidak sepantasnya kalian terlibat dalam situasi buruk seperti ini. Mereka semua akan kubereskan, sekarang pergilah.”
Perempuan muda itu pun mengangguk serta sedikit membungkukkan tubuhnya, pertanda bahwa dirinya menyetujui usul dari Baruna sekaligus berterima kasih kepadanya. Ketiga orang perempuan itu segera bergerak cepat berusaha melarikan diri dari tempat itu, sementara Baruna melindungi mereka dari para jawara. Beberapa orang jawara berusaha menghalangi mereka, namun dihadang oleh rangkaian jurus tongkat Baruna dimana kualitas jurusnya sangat berbeda dari jurus-jurus para pendekar yang pernah mereka semua lawan.
Baruna sepertinya memiliki pengetahuan tentang bagian anatomi tubuh manusia dengan baik, sewaktu memukulkan tongkatnya kepada para jawara, Ia dapat mengetahui bagian tubuh mana yang dapat memberikan rasa sakit yang demikian hebat. Setiap kali bagian tubuh para jawara terkena jurus-jurus tongkat Baruna, mereka tidak dapat bangkit lagi untuk menyerang dalam waktu cukup lama karena menderita rasa sakit luar biasa. Beberapa jawara bahkan pingsan karena tidak kuat menahan sakit dari serangan tongkat Baruna. Jurus-jurus Baruna, berhasil menghambat para jawara hingga perempuan itu dan dua wiracaya pengawalnya berhasil melarikan diri dari Wardhana dan pengikutnya.
“Ah….mau pergi kemana Gusti Putri yang cantik.” Wardhana terlihat begitu sedih saat mereka bertiga berhasil melarikan diri.
Akan tetapi, saat mengetahui jika mereka bertiga berhasil melarikan diri karena ulah dari Baruna. Anak Bupati itu pun murka. Sambil menendang-nendang tanah serta menggigit perhiasan emas yang melingari pergelangan tangan kanannya Ia menjerit-jerit marah.
“Ranggaseta bunuh saja laki-laki bertongkat itu.” Perintah Wardhana.
“Siap Raden Wardhana.” Jawab Ranggaseta.
“Kalian semua kepung orang itu. Aku ingin mayatnya tergantung di alun-alun kota pagi ini!” Jerit Wardhana memberi perintah kepada para jawara.
“Baik Tuan.” Jawab para jawara hampir bersamaan dan segara mengepung Baruna.
Beberapa jawara yang terkena serangan Baruna sudah pulih seperti sedia kala dan juga sudah mampu bergerak dengan bebas. Para jawara yang pingsan akibat dihantam tongkat Baruna pun juga sudah sadar dan kembali untuk bertarung melawan Baruna. Di rumah makan itu kini hanya ada Wardhana serta lusinan jawara bawahannya yang dibantu oleh Ranggaseta. Ranggaseta dan para jawara begitu percaya diri akan mudah mengalahkan Baruna. Ranggaseta meyakini jika Baruna memang pendekar kuat, karena mampu mengalahkan ratusan saudara perguruan
mereka. Namun, dalam sudut pandang Ranggaseta, Ia menaksir jika batas kekuatan adik seperguruannya itu jauh lebih kecil dari pada gabungan kekuatan dirinya yang digabung dengan para jawara.
Dari segi jumlah serta pengalaman, Baruna memang kalah jauh jika dibandingkan dengan lawan-lawannya. Meski demikian, rasa takut sama sekali tidak terlintas dari dalam benak Baruna. Tangan kanannya menggenggam tongkat serta diacungkan secara vertikal di udara, sementara Ia memposisikan kaki kirinya lurus ke depan, sementara kaki kanannya sedikit menekuk ke belakang. Baruna menyiapkan kuda-kuda jurus Perguruan Harimau Bulan untuk menghadang serangan musuh. Kedua tatapannya semakin tajam serta penuh kilatan semangat untuk terus melanjutkan pertarungan. Sementara itu, lengan kirinya berada di balik pakaian seolah-olah akan meraih sesuatu.
“Baruna….Baruna, kau memang naif.” Komentar Ranggaseta.”Lihat dirimu yang menyedihkan itu, kau
sekarang sendirian melawanku dan melawan para jawara dari Tuan Bupati ini.”
“Maaf Kakang, ada yang ingin kuluruskan.” Potong Baruna yang tangan kirinya masih sibuk meraih sesuatu dari balik pakaiannya. “Pertama-tama aku membiarkan tiga orang perempuan itu lari dengan alasan agar aku bisa mengeluarkan jurus dengan leluasa. Yang kedua adalah saat ini aku tidak bertarung sendiri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Abu Alfin
menegangkan
2022-12-19
0
Maret
lanjut
2022-01-18
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
lanjut...
2021-10-14
0