Cakiya mundur beberapa langkah, sambil memutar tombaknya beberapa kali, Ia kemudian maju setengah langkah dengan kaki sebelah kanan terlebih dahulu. Lalu, dengan kaki kiri sebagai tumpuan, Cakiya kemudian menusukkan tombak Kyai Pralananta ke arah pendekar bertombak putih tersebut dengan pinggang sebagai sasaran. Serangan Cakiya hanya menyerempet pakaian pendekar bertombak putih itu, karena dirinya dengan sigap bergerak menyamping saat Cakiya sedang menggerakkan kaki kiri sebagai tumpuan jurusnya. Jurus tombak yang dilancarkan Cakiya gagal melukai pendekar bertombak putih itu, namun sepertinya jurus milik Cakiya tidak
berniat ingin melukai, tapi hanya memberikan pesan kepada pendekar bertombak putih itu.
Tujuan jurus Cakiya menunjukkan jurus itu benar-benar tercapai, karena kedua mata pendekar bertombak putih itu terbelalak kaget sewaktu melihat jurus tombak milik Cakiya. Belum sempat pendekar bertombak putih itu dilanda keterkejutan, Cakiya lalu menyerangnya secara beruntun dengan jurus-jurus yang membuat lawannya tidak henti-hentinya dilanda keheranan. Meski terkejut bercampur heran, pendekar bertombak tersebut tetap berusaha menghalau jurus-jurus tombak yang dilancarkan Cakiya. Setelah beberapa jurus, Cakiya melompar mundur beberapa meter untuk menjaga jarak. Pendekar bertombak putih tersebut juga tidak menjadi seagresif sebelumnya usai mengetahui Cakiya dapat melakukan jurus-jurus tombak yang ternyata memiliki gaya serangan yang sama persis dengan gaya serangan miliknya. Ia sepertinya berusaha untuk mengenal Cakiya lebih jauh lagi karena kesamaan jurus yang digunakan olehnya.
“Sungguh Tuan adalah pendekar yang tiada duanya. ” Puji Cakiya. “Nama saya Cakiya, sungguh sebuah keberuntungan bagi saya bertemu ahli bela diri dengan bakat luar biasa seperti Tuan.”
“Namaku Baruna. Baruna Witaka. Kukira kau satu aliran denganku.” Balas Baruna.
“Maaf kugunakan jurus tombak Tuan Baruna dalam pertarungan pertama kita ini.”
“Apakah kau juga dari perguruan Harimau Bulan?” Tanya Baruna.
Cakiya hanya menggeleng pelan dengan lebar sambil mengerutkan alisnya. “Maaf, saya bukan berasal dari perguruan Harimau Bulan yang tersohor itu.”
Keduanya lalu mundur beberapa langkah lalu memasang posisi siaga serta penuh kewaspadaan untuk berjaga-jaga bila salah satu dari mereka berdua melancarkan serangan mendadak. Meski demikian keduanya tetap melanjutkan percakapan dengan memasang kuda-kuda khas jurus tombak aliran Harimau Bulan.
“Lalu dari mana kau dapat menggunakan jurus tombak aliran Harimau Bulan?”
“Tuan sendiri yang mengajari Saya.”
Baruna mengerutkan alis saat mendengar jawaban dari Cakiya yang menurutnya tidak masuk akal. Sepanjang ingatannya Ia tidak pernah mengenal orang seperti Cakiya. Sejak umur sepuluh tahun Baruna tinggal di perguruan Harimau Bulan dan baru meninggalkan perguruan tiga tahun yang lalu. Itu pun karena Baruna terpaksa melarikan diri akibat kematian sang Guru yang dituduhkan kepadanya. Tiga tahun di dunia luar Baruna menjadi pelarian serta terus diburu oleh saudara-saudara seperguruan. Insting bertahan hidupnya benar-benar terasah selama menjadi pelarian itu.
Selama diburu oleh saudara-saudara seperguruannya, Baruna tidak pernah tinggal berlama-lama di sebuah kota atau tempat. Saat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, Baruna selalu sendirian, Ia nyaris mati berkali-kali dalam pertarungan, beberapa kali keracunan makanan, hingga lusinan kali ditipu orang asing hingga nyaris celaka. Tiga tahun dalam pelarian membentuk sifatnya menjadi pribadi yang begitu kaku serta sulit untuk mempercayai orang lain, terlebih lagi pada orang asing yang baru pertama kali ditemuinya. Dalam pelariannya, Baruna hanya memiliki beberapa orang teman, akan tetapi Ia tidak pernah sekali pun mengajarkan ilmu bela diri kepada siapa pun. Apalagi dengan pemuda belasan tahun seperti Cakiya yang muncul mendadak di hadapannya kerena tertarik oleh letusan kembang api kemuning. Apa yang dikatakan Cakiya, benar-benar mengusik akal dan nalar sehat Baruna.
“Kalau pun sekarang kau sedang bercanda, guyonanmu benar-benar tidak lucu.” Baruna melirik tajam kearah kedua mata Cakiya yang sedikit sipit itu.
“Saya benar-benar mengatakan yang sebenarnya Tuan.” Cakiya tersenyum sambil menutup kedua maatanya sambil menghela nafas panjang seolah-olah bahasa tubuhnya sudah memaklumi jika Baruna sangsi pada jawaban yang diberikan Cakiya. “Bagaiman mengatakannya ya?” Gumam Cakiya.
Cakiya hanya tersenyum lebar saat Baruna mengira dirinya yang menggunakan jurus tombak aliran Harimau Bulan merupakan saudara seperguruannya. Baruna begitu jengkel saat Cakiya terlihat begitu ceria meski situasi di sekitar mereka benar-benar suram. Dari beberapa mayat jawara korban serangan tombak milik Ranggaseta yang tergeletak di tempat itu meninggalkan genangan darah hingga merembes di lantai. Para jawara serta pendekar, maupun kaum ksatria kini memburu dirinya akibat kembang api kemuning yang dibunyikan oleh anak seorang pejabat secara asal-asalan. Hingga, saudara seperguruannya yang memburunya seperti kriminal selama tiga tahun benar-benar membuat pikiran Baruna terasa begitu tertekan serta lelah. Beberapa situasi yang dialami Baruna saat ini benar-benar mempengaruhi kondisi emosinya, sehingga membuat dirinya cepat untuk naik darah.
“Apanya yang lucu.” Baruna yang suasana hatinya sedang dalam suasana kurang baik merasa bahwa senyuman Cakiya cukup mengganggu. “Apapun jawabanmu tidak mengubah kenyataan bahwa kita harus bertarung hingga salah satu di antara kita kalah.”
Baruna yang kesal lalu melompat dan menusukkan tombak dengan dada Cakiya sebagai sasaran, sedangkan Cakiya juga melakukan gerakan yang sama persis dengan Baruna. Dua tombak yang melesat itu pun saling beradu di udara, hingga terdengar suara logam beradu cukup kencang hingga beratus-ratus meter jauhnya. Orang-orang yang berkerumun tidak jauh dari rumah makan tempat Cakiya dan Baruna saat ini berduel pun, mengernyitkan wajah atau menutup kedua telinga mereka. Mereka menduga jika pertarungan di dalam begitu sengitnya hingga suara senjata beradu sangat keras bisa didengar dari luar. Suasana pun menjadi begitu tegang menghinggapi orang-orang berkerumun di tempat itu. Beberapa dari mereka yang cukup sering melihat perkelahian antar pendekar menduga jika yang jenis senjara yang beradu di dalam rumah makan itu bukan senjara sembarangan.
Kenyataanya memang demikian, baik tombak Kyai Pralananta maupun tombak Rudra Arutala bukan senjata sembarangan. Meski tombak milik Ranggaseta bukan merupakan senjata pusaka yang setingkat dengan tombak milik Baruna, namun tombak milik Ranggaseta memiliki daya tahan yang baik sehingga mampu beradu secara langsung dengan tombak Rudra Arutala. Perbedaan di antara kedua pusaka itu hanya pada kemampuan khusus serta daya rusak, selebihnya dalam daya tahan serta kekerasan logam. kedua senjata pusaka itu tidak jauh berbeda.
Karena dampak dua pusaka yang beradu, baik Cakiya maupun Baruna itu terpental hingga sejauh beberapa meter. Namun kedua pendekar itu tetap berdiri tegak mempertahankan posisi mereka dengan kuda-kuda yang begitu mantap seolah-olah paku tertancap pada kedua telapak kaki mereka berdua. Meski dibantu oleh senjata pusaka setingkat tombak Rudra Arutala, hasil adu senjata yang imbang membuat Baruna menyadari jika Cakiya bukan pendekar sembarangan yang dapat dikalahkan secara serampangan, Ia harus segera menyusun taktik dengan tepat, jika tidak ingin salah langkah dan kemudian menelan kekalahan di tangan Cakiya. Setelah adu
senjata pusaka itu, Cakiya kembali membuka percakapan di tengah pertarungan.
“Memang ini sulit dipercaya. Kalau saya mengatakannya pasti Tuan Baruna menganggapku sedang membual atau sedang mabuk hingga omongan saya melantur.”
Cakiya menggaruk-nggaruk kepala sambil memiringkan kepalanya. Baruna menatap Cakiya dengan begitu jengkel. Baruna menyadari jika Cakiya memiliki karakter yang suka bertele-tele serta sulit untuk berterus terang. Sikap yang demikian merupakan hal yang kurang disukai oleh Baruna.
“Entah Tuan percaya atau tidak, Saya mengamati sesaat pertarungan Tuan dengan dua orang jawara dan ksatria itu.”
“Maksudmu, kau mampu mengingat semua gerakanku dan menirukan jurusku dalam sekali pengamatan.” Dahi Baruna mengkerut, wajahnya sedikit mengernyit seolah-olah bakat yang dimiliki Cakiya benar-benar tidak nyata.
Cakiya mengangguk pelan sambil berkata.“Kurang lebih seperti itu Tuan.”
Baruna nyaris tidak percaya pada kemampuan aneh pemuda belasan tahun yang mengaku dapat meniru jurusnya tersebut. Namun, ingatan Baruna kemudian mencoba menelisik beberapa kejadian sebelumnya. Ia membandingkan jurus-jurus tombak yang saat ini digunakan Cakiya dengan jurus-jurus tombak dari Perguruan Harimau Bulan yang digunakannya untuk mengalahkan lawan-lawan sebelum Cakiya. Sepertinya apa yang dikatakan Cakiya benar-benar jujur. Jurus-jurus Cakiya sama persis dengan jurus Baruna yang digunakan untuk bertarung melawan tiga orang lawan sebelum Cakiya. Baruna kemudian menatap Cakiya dengan takjub seolah-olah Cakiya adalah makhluk atau binatang unik yang pertama kali dilihat dalam seumur hidupnya.
Di dalam benaknya, Baruna menduga jika Cakiya kemungkinan memiliki banyak jurus dari berbagai aliran bela diri dari kemampuannya itu. Gaya pertarungan Cakiya yang berubah-ubah serta jurusnya yang sangat bervariasi membuat Baruna merasakan jika melawan Cakiya hampir sama dengan bertarung dengan beberapa orang sekaligus dari aliran berbeda-beda. Baruna tidak bisa menebak secara pasti. jurus-jurus apa saja yang sudah dikuasai Cakiya. Ia bisa menguasai puluhan jurus atau bahkan ratusan jurus, ditambah lagi, ada kemungkinan dari
berbagai jurus yang dikuasai Cakiya, terdapat jurus yang sangat mematikan. Hal itulah yang membuat Cakiya adalah pendekar sangat berbahaya di mata Baruna.
Baruna pun tidak dapat memastikan, setelah Cakiya siapa lagi musuh yang tiba akibat panggilan dari kembang api kemuning. Bisa saja lawan yang muncul nantinya jauh lebih kuat serta memiliki kemampuan lebih menakjubkan dari pada Cakiya. Di dalam hatinya Baruna mengeluh jika melawan satu musuh seperti Cakiya saja benar-benar melelahkan, apalagi jika melawan Cakiya-Cakiya lain yang akan bermunculan. Baruna pun berpikir sebaiknya, secepat mungkin memenangkan pertarungan melawan Cakiya. Baruna kemudian berniat mengeluarkan jurus pamungkas Perguruan Harimau Bulan. Jika jurus itu berhasil mengalahkan Cakiya atau tidak, Ia tidak peduli lagi. Setelah melancarkan jurus itu, Ia berniat menggunakan kemampuan keris Rudra Arutala untuk segera lari secepat dan sejauh mungkin dari rumah makan ini agar menghindari kejaran orang-orang yang memburunya. Baruna terpaksa melakukannya atau nyawanya bisa berada dalam bahaya jika tertangkap dan kemudian diganjar hukuman mati.
“Kemampuanmu sebagai seorang pendekar benar-benar hebat, akan tetapi aku harus secepat mungkin mengalahkanmu.” Kata Baruna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Sis Fauzi
ku tombak hatimu 😂😂
2022-03-01
0
Maret
mantul
2022-01-18
0
🐌KANG MAGERAN🐌
hai, mampir lagi nih🤗semangat yah😘
2021-06-06
0