Empat orang wiracaya itu semuanya adalah laki-laki jangkung mengenakan topeng dengan bentuk berbeda-beda. Wiracaya yang paling jangkung mengenakan topeng berbentuk kepala burung elang, Ia terlihat paling memiliki kharisma seorang pemimpin jika dibandingkan wiracaya yang lain. Sedangkan wiracaya yang paling pendek
meski memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter mengenakan topeng berwujud kepala burung gagak serta terlihat paling banyak bicara dibandingkan yang lain. Wiracaya yang terlihat paling cerdas terlihat mengamati situasi serta melihat-lihat kondisi para jawara sambil mengangguk-angguk pelan dari balik topeng berbentuk kepala burung hantunya. Sedangkan wiracaya yang paling pendiam dengan topeng dengan bentuk kepala burung bangau terlihat selalu berada menempel pada majikan mereka, seorang ksatria tampan bermata hijau zamrud.
Ksatria itu begitu tampan dengan dua bola mata berwarna hijau terang menyala menghiasi wajahnya yang memiliki ekspresi lembut, namun memiliki sorot mata tajam. Hidungnya besar mancung dan sedikit bengkok hingga berbentuk paruh burung elang bertengger di wajahnya yang dingin dan keras seperti batu karang di lautan. Sepasang alis tebal yang tumbuh tidak beraturan semakin menegaskan kesan liar darinya. Kulitnya sepucat mayat serta rambut sebahu kecoklatan diikat terjalin membentuk kepangan yang rapi. Pakaian ksatria hijau dengan dilapisi pelindung dada berwarna emas serta ikat pinggang terbuat dari kulit serigala. Sepasang pelindung terbuat dari baja berlapis emas tergantung di pundak, lengan serta lututnya. Masing-masing pelindung itu memiliki simbol berupa kepala harimau yang mengaum serta matahari di atas kepala harimau itu. Meski ksatria muda bermata hijau tersebut terlihat tenang dan lembut, tatapannya yang tajam menyimpan kebuasan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ada rasa kebanggaan, kesedihan dan juga kegetiran hidup yang terpancar jauh dari jiwa terdalamnya dimana terlukiskan dari sorot matanya ketika melihat dunia sekitarnya.
Ksatria itu melihat mayat beberapa jawara dengan tatapan iba untuk sesaat, namun tatapannya dalam sekejap berubah menjadi sedingin embun beku di pagi hari saat melihat puluhan jawara yang pingsan itu serta mendapat laporan dari wiracaya bawahannya tentang apa yang telah dilakukan para jawara di rumah makan itu. Beberapa tahun terakhir Ia mendengar para jawara yang telah turun pamor menjadi tidak lebih dari tukang pukul para pejabat. Padahal dahulu ketika ksatria muda itu kecil, Ia seringkali mendengar cerita tentang bagaimana kiprah para jawara dengan demikian gagahnya menjadi pendekar yang membela orang-orang tertindas dan miskin. Gigi ksatria muda itu pun bergemeletuk kesal saat ingatan masa kecilnya kembali melintas, ketika Ia bercita-cita menjadi seorang jawara yang hebat suatu hari nanti.
“Apakah mereka semua pingsan karena dua pendekar itu?” Ksatria itu bertanya kepada wiracaya yang mengenakan topeng berbentuk kepala burung elang sambil menunjuk Baruna dan Cakiya yang pingsan.
“Benar Tuanku. Lebih tepatnya salah satu dari mereka.” Jawab wiracaya yang mengenakan topeng kepala burung elang tersebut sambil menunjuk Baruna. “Jadi setelah pendekar yang bernama Baruna ini mengalahkan para jawara, Ia mengalahkan tiga orang lagi, lalu berkelahi melawan pendekar muda ini. Kami terpaksa menghentikan pertarungan mereka dengan menembakkan ramuan racun.”
“Apakah ramuan racun dari kepulauan timur jauh itu?”
“Benar, ramuan racun dari negeri seberang ini sungguh luar biasa.” Komentar wiracaya bertopeng kepala burung elang. “Yang menembakkan racun itu adalah dia.”
Wiracaya bertopeng kepala burung elang itu menunjuk salah seorang rekannya yang mengenakan topeng berbentuk kepala burung gagak. Wiracaya itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada ksatria muda itu sambil menunjukkan bambu tipis sepanjang satu setengah meter yang digunakannya sebagai alat untuk menembakkan racun
“Bagus. Kemampuanmu menggunakan panah beracun tidak diragukan lagi.” Puji Ksatria muda itu sambil tersenyum bangga pada anak buanya.
“Terima kasih Tuan." Balas wiracaya bertopeng kepala butung gagal. "Mereka mungkin tertidur beberapa hari karena takaran racunnya kuperbanyak?”
“Berapa banyak?” Tanya wiracaya yang mengenakan topeng kepala burung hantu tiba-tiba.
“Kutambah tiga tetes untuk masing-masing pendekar itu.” Jawab wiracaya bertopeng kepala gagak.
“Dasar gila!” Komentar wiracaya bertopeng burung hantu. “Itu ukuran yang biasa digunakan untuk meracuni gajah liar jantan atau segerombolan babi hutan.”
“Itu karena mereka memang bukan orang biasa.” Alasan wiracaya bertopeng kepala gagak tersebut. “Apa kau tidak menyadari dari daya rusak serta kemampuan pendekar itu saat mengamati mereka barusan. Pertarungan yang mereka lakukan sudah bukan lagi pada tingkat manusia pada umumnya. Benar bukan, Tuan Mahisa Kawanda?” Tanya wiracaya bertopeng kepala gagak kepada ksatria bermata hijau tersebut.
Ksatria muda bermata hijau yang dipanggil Mahisa mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh wiracaya bertopeng gagak itu. Pandangan Mahisa lalu menyapu ke seluruh penjuru rumah makan itu. Hampir seluruh bagian di rumah makan itu kini hancur berantakan akibat beberapa pertarungan yang terjadi sebelumnya. Ia pun menyusuri dua pendekar terakhir yang bertarung, sambil mengamati Cakiya, pandangannya kemudian tertuju pada tombak merah darah yang berada tidak jauh darinya. Pada pertarungan Cakiya dan Baruna, Mahisa mengetahui jika Cakiya mengambil tombak itu entah siapa pemiliknya. Mahisa kemudian menatap tombak itu lekat-lekat. Ia merasa jika ada ketertarikan aneh antara dirinya dan senjata pusaka itu. Ada kekuatan begitu memikat dan juga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang menarik Mahisa untuk meraih tombak berwarna merah tersebut.
“Ternyata ada gunanya juga kita semua mengamati pertarungan mereka berdua dahulu dengan diam-diam, lalu menembakkan racun bius disaat keduanya sedang lengah.” Mahisa menyunggingkan senyum puas sambil melirik dua pendekar hebat yang kini tidak sadarkan diri tersebut.
Mahisa melangkah mendekati Cakiya, lalu mengambil tombak berwarna merah itu dari genggaman pendekar berusia belasan tahun tersebut. Mahisa merasakan sebuah sensasi yang tidak nyaman begitu jemarinya bersentuhan dengan tombak tersebut. Waktu di sekitarnya terasa terhenti, dan kesadaran Mahisa ditarik secara paksa menuju sebuah tempat berupa sebuah kolam maha luas yang diisi penuh dengan
darah hingga sebatas lutut. Langit di atas kepalanya yang awalnya cerah, berubah menjadi gelap bercampur warna kelabu yang memiliki kesan suram serta penuh keputusasaan. Tombak merah yang akan digenggamnya pun mendadak hilang entah kemana. Mahisa hanya tercenung saat dirinya mendadak berada di sebuah tempat yang menurutnya cukup aneh sekaligus menakutkan itu. Ia tidak bersuara ketika sebuah sosok tiba-tiba muncul menyeruak dari tengah-tengah kolam darah.
Sosok harimau raksasa berwarna merah darah dengan mata bersinar berwarna hijau pucat muncul tepat di hadapannya. Harimau itu berukuran lebih besar dari pada harimau pada umumnya dengan tinggi mencapai
hampir tiga meter serta memiliki barisan gigi tajam yang bergerigi. Harimau itu terlihat sangat kurus hingga rusuknya terlihat begitu menonjol pada bagian tubuhnya. Meski terlihat sangat kurus, harimau itu begitu lencah mengitari Mahisa dengan kecepatan di luar nalar dengan menampakkan kelebatan tubuh raksasanya yang sangat cepat hingga Mahisa seperti melihat beberapa harimau merah mengepung dirinya. Setiap Harimau itu bergerak dengan kecepatan demikian, hanya menimbulkan riak yang sedemikian pelan pada permukaan kolam darah. Mahisa kemudian menyadari jika dirinya telah dibawa pada sebuah dimensi yang menjadi wilayah utama senjata pusaka. Ia pernah mendengar jika sebuah senjata pusaka yang memiliki kekuatan yang demikian besar, mampu membawa atau memindahkan kesadaran seseorang menuju ke suatu dimensi ciptaannya untuk berinteraksi.
“Wahai anak manusia.” Harimau itu tidak membuka mulutnya, namun sebuah suara bergemuruh yang terdengar begitu parau serta kasar bergema di kepala Mahisa. “Setelah menggenggam diriku, apa yang akan kaulakukan
denganku?”
Mahisa kemudian menyadari jika wujud harimau berwarna merah darah yang saat ini berada di hadapannya merupakan perwujudan dari senjata tombak berwarna merah darah yang tadi digenggamnya. Mahisa lalu mengumpulkan seluruh keberanianya, lalu menyapa sosok harimau berwarna merah darah tersebut.
“S…salam Tuan Harimau, nama hamba Mahisa, ksatria dari Ibu Kota Raja. Hamba diutus junjungan hamba untuk memburu orang-orang yang tidak setia pada Raja. Kalau anda berkenan izinkan hamba meminjam kekuatan dari Anda.”
“”Kutanya sekali lagi wahai anak manusia, setelah mengganggam diriku, apa yang akan kauperbuat?”Tanya harimau itu dengan suara yang lebih keras. “Aku akan mencabik-cabik semua yang kuhendaki.”
Mahisa hanya tersenyum penuh arti sambil memperlihatkan ekspresi kegembiraan, meski pun demikian sorot mata hijaunya tetap tajam serta terlihat menusuk. Mahisa membuka kedua tangannya seolah-olah berusaha merengkuh sosok harimau merah darah itu sambil tersenyum lebar.
“Kalau kekuatanmu untuk mencabik-cabik semuanya itu mampu membawaku menjadi seorang Raja, bergabunglah denganku. Kita ubah dunia yang demikian busuk serta penuh dengan kebencian ini menjadi dunia yang lebih baik dengan kekuatan kita.“
“Jika demikian keinginanmu, mari bergabunglah denganku.” Kata sosok harimau itu sambil mengeluarkan auman yang bergemuruh hingga seluruh tempat itu seolah-olah bergoncang hebat karena suara aumannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Sis Fauzi
Buka saja topengmu 😀
2022-03-01
2
Maret
hm, zamrud ❤️
2022-01-18
0
Dhina ♑
bermata Zamrud
2021-05-26
0