Nyanyian lagu permainan anak-anak bergema di jalanan kota menarik perhatian orang-orang yang berada di jalanan Kota Lamunarta. Orang-orang yang berada di rumah mereka melongokkan kepala dari jendela rumah mereka mencari sumber nyanyian di sore hari itu. Anak-anak berhamburan keluar di pinggir jalan melihat siapa laki-laki yang tengah menyanyikan lagu yang demikian memikat itu. Akan tetapi, ketika orang tua mereka melihat siapa laki-laki yang tengah menyanyikan lagu anak-anak itu, mereka segera menarik lengan anak-anak mereka ke dalam rumah atau menyuruh anak-anak mereka masuk ke rumah. Lagu itu dinyanyikan oleh seorang pemuda yang ditangkap oleh pasukan pengamanan kota yang disebut prajurit pamong. Pemuda berusia belasan tahun itu mengaku bernama Cakiya.
Cakiya tertangkap pada tengah hari setelah dilaporkan oleh sekumpulan pemuda tengah berkelahi melawan seorang tokoh bernama Kebo Abang dan beberapa anak buahnya. Segera, setelah menerima laporan para pasukan pamong segera berkumpul untuk mengamankan situasi. Kebo Abang memang seorang berandalan terkenal di Lamunarta serta cukup sering membuat masalah yang cukup merepotkan bagi para pasukan pamong maupun
pejabat setempat. Pasukan pamong kemudian segera bergerak mengamankan situasi serta mencegah Kebo Abang tidak berlaku semakin brutal kepada korbannya.
Akan tetapi alih-alih para pasukan pamong mengamankan korban Kebo Abang, mereka justru melihat Kebo Abang dan anak buahnya yang disiksa dengan golok dan tangan kosong oleh korbannya yang belakangan mengaku bernama Cakiya. Yang mengherankan lagi, ternyata sekumpulan pemuda yang melaporkan kepada pasukan pamong adalah anak buah Kebo Abang yang meminta bantuan karena Kebo Abang dan rekan-rekan mereka sedang dihajar Cakiya. Anehnya, mengetahui kedatangan pasukan pamong, Cakiya sama sekali tidak melawan dengan ilmu bela dirinya yang menurut anak buah Kebo Abang benar-benar luar biasa, Ia justru pasrah saat ditangkap beramai-ramai oleh pasukan pamong lalu diikat menggunakan tali dadung. Namun, Cakiya justru meminta diikat oleh rantai paling besar yang ada di Lamunarta. Awalnya para pasukan pamong mengabaikan permintaan Cakiya, namun setelah Cakiya melepaskan diri dari tali dadung dengan satu tarikan nafas,barulah pasukan pamong kemudian yakin bahwa Cakiya bukan orang sembarangan, sehingga mereka pun sibuk mencari rantai serta pemberat yang biasanya digunakan untuk mengikat penjahat berbahaya.
Sambil menunggu datangnya rantai untuk mengikat Cakiya para prajurit pamong kemudian mengumpulkan informasi apa yang dilakukan Cakiya, serta hukuman apa yang akan menantinya. Anak buah Kebo Abang pun mengadu dengan sorot mata penuh kemenangan jika Cakiya sudah merusak barang bersejarah milik teman mereka, melukai tokoh adat di Lamunarta hingga mencuri golok pusaka milik Kebo Abang. Tuduhan-tuduhan tersebut awalnya ditolak Cakiya mentah-mentah, akan tetapi karena Ia kalah jumlah serta Cakiya melihat salah satu anak buah Kebo Abang menyodorkan beberapa keping perak kepada prajurit pamong secara sembunyi-sembunyi, Cakiya kemudian diputuskan bersalah dengan tuduhan-tuduhan dari anak buah Kebo Abang tersebut. Di Kota Lamunarta pencuri serta menyerang tokoh adat diganjar hukuman cukup berat, apalagi jika mencuri benda pusaka. Maka, para prajurit pamong memutuskan secara sepihak, jika atas restu dari Bupati, esok hari Cakiya akan dihukum gantung di alun-alun pada esok hari. Sementara, untuk satu malam Cakiya akan diinapkan di penjara kota Lamunarta yang jaraknya kira-kira tiga kilometer dari tempatnya berada sekarang. Cakiya kemudian diikat dengan rantai serta digiring menuju penjara kota Lamunarta.
Iring-iringan tahanan hukuman mati yang terdiri dari belasan prajurit pamong serta Cakiya yang kini menjadi tahanan menjadi tontonan orang-orang kota Lamunarta. Banyak orang-orang menganggapnya hilang akal atau mengalami tekanan jiwa yang begitu hebat, karena alih-aih bersedih untuk dibawa ke penjara, Cakiya justru terlihat riang serta menyanyikan lagu permainan anak-anak sepanjang perjalanan mereka. Langkah Cakiya yang ringan membuat para prajurit serta orang-orang yang menontonnya disapu rasa keheranan. Kedua kakinya sudah dirantai dengan berat tiga kilogram serta pemberat seberat dua puluh kilogram, kedua lengannya juga diikat rantai yang total beratnya mencapai lima kilogram. Total, Cakiya membawa belasan kilogram saat bergerak, namun, para pasukan pamong kota Lamunarta itu justru selalu tertinggal saat Cakiya melangkah. Zirah mereka hanya terbuat dari logam kuningan yang ringan, begitu pula dengan pelindung bahu maupun pelindung lutut mereka, jauh lebih berat dibandingkan dengan rantai serta pemberat yang dibebankan kepada Cakiya sebagai tahanan kota Lamunarta Mereka pun berjalan selama beberapa kilometer hingga jalan-jalan kota Lamunarta yang tadinya penuh keramaian orang-orang kini menjadi sepi. Pemandangan jalan yang tadinya dipenuhi rumah, kini berangsur-angusr berubah menjadi kebun atau petak sawah.
“Hei jangan cepat-cepat.” Teriak salah satu prajurit pada Cakiya yang mulai kelelahan mengikuti irama langkahnya.
Rekannya sesama prajurit pamong yang juga jengkel dengan Cakiya kemudian berniat menjahilinya dengan cara menarik rantai tersebut sewaktu Cakiya melangkahkan kakinya. Namun, justru dirinya yang tiba-tiba tersentak rantai tersebut. Ia lalu jatuh berguling beberapa kali hingga nyaris terseret rantai yang mengikat Cakiya. Cakiya tidak menyadari jika belenggu rantainya mencelakai salah satu prajurit pamong yang berada di belakangnya. Lagu permainan anak-anak yang begitu riang dinyanyikannya keras-keras membuat Cakiya benar-benar tidak merasakan bahwa rantai yang membelenggunya tersangkut oleh salah satu prajurit pamong kota Lamunarta tersebut.
“HEI KAU BERHENTI!” Bentak salah satu prajurit yang paling senior.
Bentakan dari prajurit itu menghentikan langkah Cakiya. Cakiya membalikkan badan lalu menatap para prajurit tersebut dengan ekspresi keheranan.
“Bukankah Anda semua akan membawa saya ke penjara bukan?” Tanya Cakiya kepada para pasukan pamong. “Kenapa anda justru tidur-tiduran di jalan?” Tanya Cakiya kepada prajurit yang jatuh karena mencoba menjahili Cakiya.
“Tapi, bisakah kau berjalan lebih pelan. Kami cukup kelelahan mengikutimu.” Minta salah satu prajurit pamong.
Cakiya mengangguk dan kemudian melambatkan langkahnya hingga akhirnya dirinya berada di barisan belakang mengikuti para prajurit pamong. Meski tubuhnya diikat rantai serta diberi pemberat, Ia tidak terlihat kesulitan saat bergerak. Bahasa tubuhnya seakan-akan menunjukkan bahwa rantai yang mengikatkaki serta lengannya dapat dilepaskan kapan saja jika Cakiya mau. Para prajurit dilanda keheranan bagaimana Cakiya yang menjadi tahanan serta akan dipenjara untuk diadili di alun-alun kota Lamunarta, justru terlihat ceria. Para prajurit sudah paham jika seorang tahanan diadili di alun-alun akan dihukum mati di alun-alun kota pada waktu pagi hari. Bahkan, muncul istilah umum di kota itu, “diadili di alun-alun pada waktu pagi” yang artinya sudah pasti akan mati.
Mereka kembali lagi memasuki daerah padat penduduk, jalan-jalan yang tadinya dipenuhi dengan sawah serta kebun kembali dipenuhi oleh rumah-rumah penduduk. Meski demikian suasananya tidak seramai daerah sebelumnya. Beberapa rumah di tempat itu selain sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai warung makan, atau tempat menjual minuman serta jajanan pasar. Beberapa orang terlihat berkumpul serta mengobrol, meski mereka tertarik dengan kehadiran rombongan prajurit pamong mereka hanya berani melihat dari kejauhan. Daerah ini memang terkenal dengan orang-orang yang kurang menyukai orang-orang yang bekerja pada Kerajaan. Orang-orang di sekitar tempat itu tidak bertegur sapa kepada rombongan pamong yang menggiring Cakiya itu dengan rantai. Mereka justru membisu saat berapapasan dengan para prajurit pamong atau menatap mereka semua dengan tatapan dingin. Bahkan anak-anak yang bermain di sekitar mereka pun segera menjauh atau mencari tempat bersembunyi dengan sorot mata yang kurang bersahabat. Suasana yang demikian turut mempengaruhi suasana hati para prajurit pamong hingga salah satu di antara mereka tidak dapat menahan diri lagi.
“Sialan.” Maki salah satu prajurit pamong yang berada di berisan tengah sambil melirik Cakiya yang kini bersiul-siul riang. Wajah prajurit itu bopeng serta deretan gigi bagian depannya hilang. “ Panjul, bagaimana jika kita pukuli dia saat melewati jalan yang sepi.” Kata Prajurit itu kepada rekannya yang nyaris tidak memiliki rambut di kepalanya. Bahkan pada bagian alis pun hanya menyisakan rambut sebanyak ujung kuku jari kelingking.
“Dasar Tobil goblok.” Maki Panjul sambil menampik rekannya yang dipanggil Tobil tersebut.”Kau tidak lihat tadi kita menangkapnya karena berkelahi melawan kelompok Kebo Abang. Meski gerombolan itu bukan dari kalangan jawara, pimpinan mereka bernama Kebo Abang itu pendekar kuat yang bahkan disegani oleh para jawara.”
“Kukira dia cuma pencuri biasa.”
“Aku curiga atas apa yang akan dilakukan pencuri itu nanti di
tahanan.” Tobil mengerutkan alisnya. “Apalagi waktu ditangkap oleh kita, Ia
sama sekali tidak memberikan perlawanan”
“Haish tidak usah berpikir yang berat-berat, ada baiknya kit-.”
Kalimat Panjul kemudian terpotong oleh suara kembang api yang menyala terang di udara sekali pun cuaca pada waktu sore itu benar-benar cerah. Baik pasukan pamong maupun Cakiya menyadari bahwa yang meledak di udara itu bukan kembang api biasa yang dinyalakan untuk bersenang-senang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Maret
menarik
2022-01-18
0
Cucu Suliani
Hadir kak,,
💞salam manis dari Bukan Jodoh 💞
2021-06-04
0
Dhina ♑
12
11) ⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐♥️♥️⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐♥️♥️♥️👍👍👍👍👍👍👍👍♥️♥️♥️👍👍👍👍👍👍♥️♥️♥️👍👍👍👍⭐⭐♥️♥️♥️⭐⭐⭐⭐⭐👍👍👍👍♥️♥️♥️👍♥️👍
2021-05-19
0