...🍁🍁🍁...
Jarak yang Ammar tempuh dari rumah menuju rumah sakit hanya butuh waktu setengah jam. Kini Ammar sudah sampai di tempat parkir rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, Ammar bergegas masuk ke dalam. Rumah sakit Pusat ini merupakan tempat ia memulai karir sebagai seorang Dokter Spesialis Kanker. Dengan cepat Ammar melangkahkan kakinya. Tanpa melihat ke sekitar, Ammar masih terus berjalan dengan cepat.
Tanpa Ammar sadari, sejak ia masuk ke rumah sakit ada seseorang yang memperhatikan dirinya dari jauh. Orang itu melihat Ammar yang sedang berjalan menuju ruangannya. Lalu orang itu pun mengikuti Ammar dari belakang. Setelah Ammar masuk ke ruangannya, Ammar keluar lagi dan terus berjalan menuju laboratorium.
Orang yang memperhatikan Ammar tadi masih terus mengikutinya sampai ruang labor. Setelah sampai di labor, Ammar meminta pada petugas labor untuk memeriksa darah yang ada di tisu tadi.
"Suster... tolong periksa darah yang ada di tisu ini. Tolong periksa dengan benar. Jangan sampai ada yang tertinggal." ujar Ammar yang baru datang lalu memberikan tisu berdarah itu pada seorang suster.
"Baik, Dokter." jawab Suster seraya mengambil sampel darah yang ada di tisu itu.
"Tolong berikan hasilnya secepat mungkin pada saya." ujar Ammar yang bicara terbata karena nafasnya tidak teratur.
"Baik, Dokter. Hasilnya akan keluar besok pagi karena darah di tisu ini sudah kering. Jadi akan sulit untuk memeriksanya." jawab Suster.
"Oke, tidak apa-apa. Hubungi saya kalau hasilnya sudah keluar. Saya butuh cepat hasil labor itu." ujar Ammar yang ingin berjalan keluar ruangan labor.
"Baik, Dokter." jawab Suster yang melihat Ammar berlalu keluar ruangan.
Ammar yang nafasnya masih belum teratur pun memilih untuk duduk. Namun saat ia ingin duduk, tiba-tiba ia terkejut saat seseorang yang ia kenali menepuk bahunya dari samping. Orang itu adalah orang yang mengikutinya sejak tadi.
"Ammar... kamu tidak apa-apa?"
"Astagfirullahalazim." ucap Ammar yang terkejut karena ada orang yang memegang bahunya.
"Kamu kenapa seperti orang yang ketakutan? Are you okey Am?" ujar orang itu lagi pada Ammar yang masih terkejut.
"Ya ampun, Dokter Ronald. Dokter mengagetkan saya saja. Saya kira siapa tadi." jawab Ammar yang berusaha tenang dan mengatur nafasnya.
Dokter Ronald... lebih panjangnya Dokter Ronald Armadanto. Seorang dokter spesialis kanker yang usianya satu tahun lebih tua dari Ammar. Dia adalah senior Ammar saat kuliah dulu. Mereka sangat dekat walaupun usia mereka yang berbeda. Mereka bersahabat sejak Ammar masuk semester empat. Saat itu Ammar mempunyai sebuah tugas kuliah dan tugas yang ia kerjakan itu sebelumnya juga pernah dikerjakan oleh Dokter Ronald.
Hal itu membuat Ammar sering bertanya tentang tugas pada Dokter Ronald dan membuat keduanya menjadi akrab. Suatu saat, Dokter Ronald sempat terpisah dengan Ammar karena lokasi koastnya yang berada di luar kota. Sedangkan Ammar masih menyelesaikan pendidikannya di Jakarta. Namun beberapa tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan di RS ini sebagai rekan kerja. Sekilas tentang Dokter Ronald.
"Iya, ini saya. Bukan orang lain." jawab Dokter Ronald yang merasa heran melihat tingkah Ammar.
"Dokter sedang apa di sini?" tanya Ammar yang sudah mulai tenang dan melihat ke Dokter Ronald.
"Saya melihat kamu masuk dan berjalan ke sini. Saya kira ada yang urgent, makanya saya ikuti kamu. Kamu sedang apa di ruang labor?" ujar Dokter Ronald dan duduk di samping Ammar.
"Saya tidak apa-apa, Dok. Saya hanya ada perlu saja di ruangan ini. Ada sesuatu yang harus saya periksa." jawab Ammar yang duduk bersama Dokter Ronald.
"Apa yang ingin kamu periksa sampai kamu terlihat panik seperti tadi, Am?" tanya Dokter Ronald pada Ammar.
Sejak dekat dengan Ammar, Dokter Ronald memang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Ammar pun terdiam saat mendapat pertanyaan dari Dokter Ronald.
Apakah aku perlu menceritakan hal ini pada Dokter Ronald? Pada keluargaku saja aku belum menceritakan hal ini. Tapi ada baiknya aku cerita pada Dokter Ronald. Agar dia bisa membantuku untuk mencari solusi dari masalah ini. Gumam Ammar dalam hati.
"Hei, kenapa kamu diam? Saya sedang bicara sama kamu." ujar Dokter Ronald menyadarkan Ammar dengan menepuk pundaknya.
"Maaf Dokter, saya melamun." jawab Ammar yang tersadar dari lamunannya.
"Sepertinya sedang ada yang kamu pikirkan, Am. Cerita saja siapa tau saya bisa membantu kamu." ujar Dokter Ronald sambil menepuk bahu Ammar lagi.
Ammar pun menghela nafas saat mendengar perkataan Dokter Ronald. Ia tidak bisa lagi menahan sesak yang memenuhi hati dan kepalanya saat ini. Lalu...
"Saya menemukan tisu berdarah di kamar adik perempuan saya, dok. Sejak kemarin sikap adik saya itu banyak berubah. Dia tidak pernah telat bangun pagi, tapi kemarin dan hari ini, dia bangun telat lagi bahkan lewat dari jam biasanya. Dia sering melamun dan wajahnya sering pucat, mudah lelah dan lesu juga, Dok." jelas Ammar yang mengusap wajahnya karena merasa khawatir dengan Dhina.
"Lalu? Apa kamu sudah menanyakan hal itu padanya? Saya tau betul kamu, Am. Kamu sangat menyayangi adik perempuanmu itu. Pasti saat ini pikiran kamu sedang kacau dan khawatir." ujar Dokter Ronald yang berusaha menenangkan Ammar.
"Saya sudah coba bertanya, Dok. Tapi tetap saja, dia tidak mau jujur dengan saya ataupun masnya yang lain. Dia selalu bilang baik-baik saja. Tapi hati saya selalu menolak dengan apa yang dia katakan. Setelah menemukan tisu itu, saya langsung ke sini dan meminta Suster untuk memeriksanya. Hasilnya keluar besok, Dok. Jujur saya takut dan khawatir sekali dengan kondisi adik saya." tutur Ammar yang matanya sudah mulai berkaca-kaca.
"Kamu tenang saja, Am. Selama hasilnya belum keluar, kita masih bisa berdo'a agar tidak terjadi sesuatu yang serius pada adik kamu. Saya akan bantu kamu, Am. Kamu jangan khawatir." ujar Dokter Ronald yang berusaha menenangkan Ammar.
"Terima kasih, Dok. Setidaknya untuk saat ini pikiran saya sedikit lega. Saya harus mempersiapkan diri untuk menerima semua kemungkinan yang akan terjadi pada adik saya. Terima kasih sekali lagi, Dok. Sudah mau mendengarkan cerita saya." ujar Ammar yang meraih tangan Dokter Ronald.
"Kamu tidak perlu berterima kasih, Am. Kamu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Saya senang bisa membantu kamu. Jadi jangan segan untuk bercerita pada saya." jawab Dokter Ronald yang menganggukan kepalanya dan dibalas anggukan oleh Ammar.
Setelah bercerita tentang perubahan sikap Dhina pada Dokter Ronald, kini Ammar sudah merasa lebih tenang. Ia tidak punya pilihan lain dan memilih menceritakan masalah yang sedang ia hadapi pada sahabatnya sendiri. Kini mereka berdua kembali ke rutinitas untuk memeriksa kondisi setiap pasien.
Sebagai seorang dokter, Ammar harus tetap profesional dalam menangani pasiennya. Walaupun pikirannya saat ini masih tertuju pada Dhina, tapi tanggung jawab dan tugas sebagai seorang dokter harus tetap ia jalani dengan baik dan benar. Semua ini demi menjaga reputasinya sebagai dokter.
***
Saat ini Sadha sedang melakukan meeting dengan para klien. Di ruangan meeting Sadha yang sedang memperhatikan presentasi dari klien tiba-tiba teringat kembali dengan adik perempuannya. Kondisi Dhina yang tidak baik membuat konsentrasi Sadha hilang. Sadha tetap melihat ke arah layar monitor tapi pikirannya melayang pada adik perempuannya yang saat ini sedang berada di rumah. Saat presentasi selesai, Sadha pun tidak menyadarinya, bahkan pada saat salah satu klien yang mulai bertanya pada Sadha terkait kesepakatan antara perusahaannya dan perusahaan klien itu.
"Bagaimana Pak Sadha, apakah ada yang belum jelas dari presentasi kami?" tanya seorang klien pada Sadha.
Sadha yang melamun pun tidak merespon sang klien.
"Pak Sadha... apakah ada yang ingin anda tanyakan pada kami terkait kesepakatan ini?" tanya ulang klien tadi pada Sadha dan ia masih tetap diam.
Melihat Sadha yang masih terdiam, membuat para klien menjadi heran. Lalu sekretaris Sadha yang duduk di sebelah Sadha, berusaha untuk menyadarkan bosnya itu dari lamunan.
"Pak Sadha... apakah anda baik-baik saja Pak?" tanya sekretaris Sadha yang menepuk bahunya dari belakang.
"Eh, iya. Saya baik-baik saja. Silakan lanjutkan presentasinya." jawab Sadha yang tersadar.
"Presentasinya sudah selesai dari tadi, Pak. Kini mereka sedang bertanya pada Pak Sadha." ujar sekretaris Sadha yang berbisik dan memberitahu bahwa presentasi telah selesai.
"Oh, iya. Saya minta maaf atas sikap saya tadi. Apa pertanyaannya bisa diulangi kembali?" jelas Sadha dan membuat semuanya jadi heran melihat sikap Sadha yang tidak seperti biasanya.
"Apakah ada yang ingin Pak Sadha tanyakan terkait kesepakatan kita ini?" tanya ulang klien tadi pada Sadha.
"Melihat presentasi dan proposal dari perusahaan kalian, rasanya saya tidak perlu mengajukan pertanyaan lagi. Saya menyetujui kesepakatan ini. Kalau begitu, selamat menjalankan proyek. Saya harap kita akan sama-sama untung dengan kesepakatan ini." ujar Sadha yang beranjak dan bersalaman dengan klien itu.
"Baik, terima kasih kembali Pak Sadha. Kami senang bisa bekerja sama dengan perusahaan ini." jawab klien itu sambil membalas salaman Sadha.
Meeting pun selesai. Lalu Sadha langsung beranjak dari duduknya dan keluar dari ruang meeting. Perempuan yang menjadi sekretaris Sadha, mengikutinya keluar ruangan dan berusaha untuk memanggilnya.
"Sadha, tunggu aku!" pekik seorang wanita sekaligus sekretaris Sadha dari arah ruang meeting dan berlari menghampirinya.
Sadha hanya melihat ke belakang saat wanita itu memanggilnya. Sadha pun mengacuhkan wanita itu lalu melanjutkan langkah menuju ruangannya.
Setelah sampai, Sadha langsung masuk dan duduk di kursinya sambil mengusap wajah dan kepalanya yang sedang memikirkan kondisi Dhina. Sekretaris Sadha pun terus mengikuti Sadha karena merasa heran dengan teman sekaligus atasannya itu.
"Sadha... kamu kenapa sih?" hardik wanita itu yang masuk ke ruangan Sadha.
"Kamu itu tidak punya sopan santun ya. Aku ini atasan kamu. Panggil Pak atau apalah yang lebih sopan. Formal sedikit kalau di kantor." ujar Sadha yang membenarkan posisi duduknya.
"Biasanya juga seperti ini. Hanya di saat tertentu saja aku memanggilmu dengan sebutan itu." jawab wanita itu lalu duduk di depan Sadha.
Sadha hanya diam saat wanita cantik itu duduk di depannya. Lalu...
"Kamu kenapa Sad? Dari tadi kamu diam terus. Kamu ada masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini." ujar wanita cantik yang ada di depan Sadha.
"Ya ampun, Vanny. Kamu itu bisa diam tidak. Aku sedang malas berdebat sama kamu. Jangan berisik!" jawab Sadha pada wanita yang bernama Vanny itu.
Vanny... nama lengkapnya Vanny Dwiputri. Seorang wanita cantik, putih, tinggi dan juga pintar. Dia adalah teman Sadha saat kecil dan kini menjadi sekretaris Sadha di perusahaan tempat ia bekerja.
Vanny sempat terpisah dengan Sadha saat mereka lulus SMP karena Vanny harus ikut pindah dengan orang tuanya ke luar kota. Namun karena Vanny mendapat beasiswa kuliah yang sama dengan Sadha, membuat mereka berdua dipertemukan kembali. Awalnya Sadha tidak mengenali Vanny karena waktu SMP Vanny tidak cantik seperti sekarang.
Saat ini mereka mengakui hanya sebagai sahabat. Memang, tipe pria yang dingin seperti Sadha tidak mudah untuk dekat dengan seorang wanita. Saat ini hanya Vanny satu-satunya wanita yang dekat dengan Sadha. Sekilas tentang Vanny.
"Habisnya sikap kamu itu aneh. Saat meeting saja kamu masih bisa melamun. Untung saja klien kita tidak banyak protes, kalau tidak akan hancur meeting tadi karena lamunan kamu itu." ceroteh Vanny yang masih menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja.
"Aku lagi banyak pikiran." jawab Sadha sembarang pada Vanny dan membuat Vanny merasa bingung.
"Banyak pikiran? Orang dingin seperti kamu ini bisa juga ya banyak pikiran. Aku pikir orang yang sifatnya dingin itu, tidak peduli dengan sekitarnya." ujar Vanny yang memainkan ponselnya.
"Jangan asal bicara kamu. Aku itu dingin hanya pada orang yang tidak dan baru aku kenal. Kalau sama keluarga, aku tidak dingin seperti itu." jawab Sadha yang jengah lalu beranjak dari duduknya.
"Kamu sedang ada masalah keluarga. Ada masalah apa Sad? Cerita saja, toh kita juga sudah bersahabat lama. Aku sering cerita ke kamu, kamu juga sering cerita ke aku. Tidak ada salahnya untuk saling berbagi cerita agar beban kita tidak berat." ujar Vanny yang ikut berdiri dan menghampiri Sadha.
"Aku belum bisa cerita sekarang, Van. Aku juga belum tau kepastian dari masalah yang sedang mengganggu pikiran ku ini. Sejak kemarin pikiranku memang sedikit kacau hingga tidur aku pun jadi tidak enak." jawab Sadha yang kembali mengusap kepalanya sendiri karena masih kepikiran dengan Dhina.
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku do'akan agar masalahmu cepat selesai ya, Sad. Kalau butuh teman curhat, jangan segan untuk temui aku." ujar Vanny yang berusaha membuat Sadha tenang sambil meraih bahu Sadha.
"Terima kasih banyak, Van. Kamu memang sahabat baik aku dari kecil. Aku janji akan cerita, kalau masalahnya sudah selesai." jawab Sadha seraya meraih tangan Vanny yang ada di pundaknya dan membalikkan tubuhnya.
"Sama-sama, itu gunanya sahabat. Kalau begitu aku keluar ya. Aku ingin melanjutkan pekerjaan dan membuat laporan meeting tadi agar kamu bisa tanda tangan." ujar Vanny yang tersenyum pada Sadha.
"Oke... nanti kalau sudah selesai langsung berikan padaku ya." jawab Sadha sambil melepaskan genggaman tangannya pada Vanny.
"Siap, Bos." jawab Vanny sambil hormat dan berlalu pergi menuju tempatnya bekerja.
Setelah Vanny keluar dari ruangan Sadha, Vanny langsung melanjutkan pekerjaannya. Begitu pula dengan Sadha. Dengan pikiran yang masih kacau, membuat Sadha selalu hilang konsentrasi. Kasih sayang yang begitu besar pada sang adik perempuan satu-satunya, membuat dirinya selalu dirundung kecemasan yang tak terhingga. Sadha takut, adik perempuannya itu tiba-tiba jadi sakit ataupun ada hal lain. Apalagi dengan sifat Dhina yang tertutup, membuat Sadha semakin sulit untuk mengetahui sesuatu.
Setelah meeting tadi sebenarnya ia ingin menelpon Dhana yang sedang bersama Dhina di rumah saat ini. Tapi karena takut Dhana curiga, Sadha pun mengurungkan niatnya. Rasanya Sadha ingin cepat pulang, tapi ia harus profesional. Bagaimana pun juga Sadha baru saja naik jabatan beberapa hari yang lalu. Jadi ia harus mempertanggung jawabkan posisinya saat ini dan menyampingkan masalah pribadi saat berada di kantor.
.
.
.
.
.
Happy reading All❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments
coni
Dhina lihatlah kakak²mu udah pada khawatir, untung mas Ammar gercep😌😌😌
2021-05-01
0
Arthi Yuniar
Kasian Dhina semoga dia tidak menderita sakit parah
2021-04-13
0
Nofi Kahza
ammar pinter deh langsung gercep gk nunggu lama lngsung bertindak..
amar n sadha bener2 dbuat frustasi krn memikirkan keadaan dhina. dhina kamu beruntung banget punya kakak2 cowok yg sangat sayang ma kamu🥰
2021-03-09
4