...🍁🍁🍁...
Perjalanan yang tadinya lancar berubah menjadi sangat lambat. Situasi macet pun tidak bisa dihindari. Merasa cukup lelah selama berjalan di puncak, membuat semuanya tertidur pulas, kecuali Sadha yang sedang fokus mengemudi di jalan macet. Kondisi macet sangat membuat Sadha jengah. Apalagi hari sudah semakin sore.
Perjalanan menuju rumah masih sangat panjang. Demi menghilangkan rasa bosan, Sadha pun menghidupkan musik tapi ia menggunakan headphone agar tidak mengganggu yang lain. Sadha yang masih mendengarkan musik pun sesekali melihat keluar untuk mencari tau penyebab kemacetan yang terjadi.
Beberapa lama kemudian, kemacetan pun masih belum terselesaikan. Sadha menghela nafas panjang lalu menyandarkan tubuhnya.
"Ya ampun, macetnya panjang sekali. Ini sudah mau maghrib pula."
Sadha pun meracau karena rasa bosan dan kesal bercampur menjadi satu.
"Bagaimana mau cepat sampai rumah. Ini saja mobilnya tidak bergerak karena macet."
Saat Sadha melihat ke spion kiri, otomatis Sadha melihat wajah adik perempuannya yang duduk di sampingnya itu. Sadha terkejut saat melihat penampakan yang tidak enak di wajah adik perempuannya itu. Sadha melihat ada darah yang mengalir keluar dari hidung Dhina. Sadha sangat terkejut sampai tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan berusaha tetap tenang, Sadha menghela nafas. Lalu berusaha membangunkan Dhina dengan suara yang pelan.
"Adek... Adek... bangun Dek."
Dengan suara yang tertahan dan sangat pelan, Sadha berusaha membangunkan sang adik. Sementara darah segar di hidungnya masih saja mengalir keluar.
"Adek... Sayang... bangun Dek, Adek..."
Sadha pun terus berusaha dan menahan diri untuk tidak menangis saat melihat kondisi adik perempuannya itu
"Mas Sadha... ada apa Mas?"
Dhina yang akhirnya terbangun dan berusaha keras membuka matanya yang berat karena kepalanya terasa sangat sakit pun melihat ke arah Sadha.
"H-hidung Adek... berdarah!" ujar Sadha gugup seraya menunjuk ke arah wajah sang adik.
Mendengar yang dikatakan Sadha, Dhina pun langsung terkejut. Lalu tanpa berkata-kata, ia langsung melihat ke kaca spion.
Mata Dhina membulat sempurna saat melihat darah segar kembali mengalir di hidung itu. Dhina pun segera meraih tisu yang ada di dalam mobil dan langsung menutupi hidungnya.
Sadha yang masih syok melihat itu hanya terdiam dan sesekali mengeryitkan dahinya saat menatap Dhina. Dhina yang melihat ekspresi Sadha seperti itu pun langsung menggelengkan kepalanya, seakan meminta Sadha untuk tidak memberitahu siapapun.
Setelah Dhina berhasil membersihkan darah di hidungnya. Ia kembali melihat ke arah mas tengahnya itu yang sedang fokus mengemudi karena sudah berhasil melewati kemacetan.
"Mas... Adek..."
"Adek kenapa sebenarnya? Kenapa bisa sampai mimisan seperti itu?" potong Sadha yang melihat ke Dhina namun tetap fokus mengemudi.
"Mas... jangan terlalu keras suaranya. Nanti Ayah, Ibu, Mas Ammar, Mas Dhana, dan Kak Ibel dengar." ujar Dhina yang meletakkan telunjuk di bibirnya.
"Memang kenapa Dek? Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera di periksa!" jawab Sadha pelan dan menatap nanar sang adik.
"Adek tidak apa-apa, Mas. Mungkin karena kelelahan saja. Apalagi seharian tadi kita banyak jalan. Bisa saja karena itu. Jadi Mas tidak perlu khawatir." ujar Dhina yang berusaha meyakinkan mas tengahnya itu.
"Tapi Dek, kalau nanti tambah parah bagaimana?" jawab Sadha yang meraih tangan Dhina.
"Tidak, Mas. Adek akan baik-baik saja. Ini hanya karena kelelahan saja kok. Percaya sama Adek." ujar Dhina yang masih berusaha meyakinkan Sadha.
Sadha hanya diam dan kembali fokus mengemudi setelah mendengar jawaban adik perempuannya itu. Sadha merasa tidak puas dengan jawaban Dhina. Lalu...
"Mas... jangan bilang siapapun ya. Adek tidak ingin membuat semuanya khawatir. Mas Sadha janji ya sama Adek." ujar Dhina yang meraih tangan Sadha dan memohon untuk tidak mengatakan kejadian tadi pada siapapun.
Sadha yang mendengar permintaan adik perempuannya itu merasa bingung dan heran. Sadha berpikir kalau kejadian seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jika terjadi sesuatu pada Dhina bagaimana? Disatu sisi, Sadha merasa khawatir dengan kondisi Dhina. Tapi disisi lain, ia juga tidak bisa memberitahu semuanya sekarang. Saat ini bukan lah waktu yang tepat untuk mengatakan pada semuanya karena mereka sedang dalam perjalanan pulang. Sadha menghela nafas berat dan melihat ke arah Dhina.
"Mas tidak bisa janji, Dek. Kalau sekali lagi Adek mimisan, dan Mas melihatnya. Mas tidak akan kasih toleransi lagi. Ayah, Ibu, Mas Ammar dan Dhana harus tau. Tapi untuk saat ini, Mas akan turuti keinginan Adek karena kita masih dalam perjalanan." jawab Sadha pelan yang sedang mengemudi sambil melihat ke arah Dhina.
"Iya Mas. Terima kasih ya. Sekarang Mas jangan khawatir lagi. Adek benar tidak apa-apa." ujar Dhina yang cukup lega karena Sadha menuruti keinginannya kali ini.
"Iya, Sayang." jawab Sadha yang melihat ke arah Dhina seraya membelai lembut kepala adik perempuannya itu.
Sebenarnya Dhina masih merasa cemas kalau tiba-tiba Sadha akan bicara pada semuanya. Namun untuk saat ini, paling tidak dirinya selamat. Kini ia bertekad untuk hati-hati lagi jika sedang bersama dengan keluarganya. Sedangkan Sadha, masih saja memikirkan kejadian tadi. Walaupun Dhina sudah berusaha membuatnya tenang namun ia takut terjadi sesuatu pada Dhina.
Kini tidak hanya Ibel yang mengetahui kondisi kesehatan Dhina yang sebenarnya, tapi juga Sadha.
Setelah dua setengah jam melakukan perjalanan karena terjebak macet, kini mereka sudah sampai di rumah Ibel. Sebelum pulang, mereka mengantarkan dokter cantik itu terlebih dahulu. Sebelum turun, Ibel berpamitan pada semuanya.
"Om, Tante... Ibel berterima kasih sekali karena sudah diizinkan untuk ikut liburan bersama." ucap Ibel seraya memegang tangan Bu Aini.
"Sama-sama, Nak. Tante dan Om senang bisa bertemu dan berkenalan sama kamu." jawab Bu Aini yang membalas genggaman Ibel.
"Iya, Bel. Besok jika ada waktu, jangan lupa main ke rumah ya. Pintu rumah akan selalu terbuka untuk kamu." timpal Pak Aidi yang duduk di belakang.
"InsyaAllah, Om. Kalau ada waktu, Ibel akan datang ke rumah." jawab Ibel yang tersenyum pada Pak Aidi.
Pak Aidi dan Bu Aini pun mengangguk seraya tersenyum pada gadis cantik itu.
"Oh iya, Om, Tante dan semuanya tidak masuk mau ke dalam dulu?" tanya Ibel yang menawarkan semuanya untuk mampir.
"Boleh juga tuh, Yah, Bu. Anggap saja Ayah dan Ibu berkenalan juga dengan calon besan." timpal Dhina yang duduk di depan sambil tertawa.
Melihat sikap Dhina yang berusaha tenang dan tetap ceria membuat hati Sadha terasa sakit.
Bagaimana bisa Adek menyembunyikan kejadian tadi dengan bersikap biasa saja seperti ini? Adek kenapa sebenarnya? Ya Allah, apa yang terjadi sama Adek. Gumam Sadha dalam hati.
Ingin rasanya Sadha mengatakan kejadian tadi pada Pak Aidi, Bu Aini, Ammar dan Dhana. Tapi Sadha juga berpikir kalau semuanya saat ini sangat kelelahan. Jadi Sadha hanya bisa diam dan menatap sendu ke arah Dhina.
"Apaan sih, Dek. Heboh terus sejak tadi. Ayo, Bel. Aku antar kamu sampai depan pintu." ujar Ammar pada Dhina dan sambil mengajak Ibel turun.
"Kawal sampai halal ya, Mas." pekik Dhina yang menggoda mas sulungnya sambil tertawa.
"Sudah, Nak. Kamu itu suka sekali menggoda kakakmu." ujar Bu Aini seraya menepuk bahu Dhina namun Dhina masih saja tertawa.
"Sadha, Dhana, Adek... Kakak pulang dulu ya. Kakak senang sekali bisa dekat dengan kalian bertiga. Sampai ketemu lagi ya." ujar Ibel pada ketiga adik Ammar seraya turun dari mobil.
"Iya, Kak. Dhana juga senang bisa dekat dengan Kak Ibel." jawab Dhana dari arah belakang.
"Hati-hati, Kak. Sampai jumpa lagi." timpal Sadha yang tersadar dari lamunan karena Ibel memanggil namanya.
"Sampai ketemu lagi, Kakak cantik. Terima kasih sudah ikut ya, Kak." timpal Dhina yang melambaikan tangannya kepada Ibel.
"Kakak masuk dulu ya. Om, tante... Ibel pamit masuk dulu ya. Assalamualaikum semuanya." ucap Ibel sambil memberikan salam.
"Wa'alaikumsalam." jawab semuanya serentak.
Ammar pun mengantarkan Ibel masuk sampai ke depan pintu rumahnya. Saat berjalan masuk...
"Terima kasih ya, Mas. Untuk hari ini. Sampai bertemu besok di rumah sakit." ujar Ibel pada Ammar yang sudah sampai di depan pintu rumah.
"Sama-sama, Bel. Aku juga senang bisa memperkenalkan kamu ke keluargaku. Aku dulu pamit ya. Titip salam untuk Bunda. Maaf aku tidak bisa masuk, sampai bertemu besok. Assalamualaikum." tutur Ammar yang pamit pada Ibel sambil memberikan salam.
"Wa'alaikumsalam, Mas. Hati-hati ya." jawab Ibel yang melambaikan tangan pada Ammar.
Setelah mengantar Ibel, Ammar pun kembali ke mobil. Namun Ammar tidak langsung masuk, karena ia ingin duduk di depan dan meminta Dhina pindah ke tengah bersama Bu Aini.
"Adek... pindah ke sebelah Ibu ya. Mas ingin duduk di sini." ujar Ammar yang baru datang dari arah rumah Ibel sambil membuka pintu depan mobil.
"Tidak mau! Mas apaan sih. Tanggung pindah, Mas. Lagi pula sudah dekat juga. Adek sudah nyaman di sini." jawab Dhina yang berusaha mempertahankan tempat duduknya.
"Ayolah, Dek. Sekali saja mengalah sama Mas." ujar Ammar lagi yang memohon pada Dhina.
"Tidak, Mas. Adek tidak mau titik." jawab Dhina sambil memangku tangannya.
"Sudahlah, Nak. Biarkan saja Adek kamu di sana. Ayo cepat masuk! Hari sudah semakin malam." timpal Bu Aini pada putra sulungnya itu.
"Dasar Adek keras kepala!"
Ammar yang jengkel dengan sang adik pun menutup kembali pintu mobil dan mencubit pipi adik perempuannya itu.
"Sakit tau Mas." ujar Dhina yang mengerucutkan bibirnya.
Semua yang melihat tingkah Ammar dan Dhina hanya bisa menggelengkan kepala, kecuali Sadha. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pikirannya masih saja teringat dengan kejadian saat macet tadi. Wajah Dhina yang hidungnya berlumuran darah, masih saja terbayang oleh Sadha. Semenjak kejadian tadi, sama dengan Ibel. Sadha lebih banyak diam dan kadang melamun. Namun lamunan Sadha belum disadari oleh keluarganya.
Saat perjalanan menuju rumah, tiba-tiba saja Ammar yang sedang memperhatikan jalan melihat seekor kucing yang akan melintas tapi Sadha masih saja menginjak gas mobilnya.
"Sadha... awas!!!"
Mendengar Ammar yang memanggilnya, berhasil membuat Sadha tersadar dari lamunan dan langsung menginjak rem mobil sehingga mobil pun berhenti secara mendadak .
"Ada apa Mas?" tanya Sadha yang terkejut sambil menginjak rem mobil.
"Kamu hampir menabrak kucing! Apa kamu tidak melihat jalan?" ujar Ammar yang kesal karena Sadha tidak hati-hati.
"Ya ampun, Mas. Mas mengagetkan kita saja." timpal Dhina yang melihat ke belakang.
"Sadha... kamu tidak apa-apa Nak?" tanya Bu Aini seraya memegang bahu Sadha.
"Sadha tidak apa-apa, Bu. Maaf ya Bu, Sadha melamun. Maaf ya Ayah, Mas." ujar Sadha yang masih syok karena terkejut.
"Kalau mengemudi jangan melamun! Ini jalan raya, kamu mau membahayakan kita semua!?" ujar Ammar yang kesal dengan pernyataan Sadha bahwa ia tadi sempat melamun.
"Iya, Mas. Maaf. Sadha khilaf." jawab Sadha yang merasa bersalah pada semuanya.
"Sudahlah, Mas. Yang penting Mas Sadha sudah minta maaf dan kita semua tidak apa-apa." timpal Dhana yang menenangkan mas sulungnya itu.
"Ya sudah, jangan pada ribut. Sadha... ayo lanjutkan perjalanan! Ini sudah malam, kita harus cepat sampai di rumah." ujar Pak Aidi dengan tegas dan membuat semuanya diam.
"Iya, Ayah. Sekali lagi Sadha minta maaf."
Dhina yang melihat Sadha dimarahi oleh Ammar karena ceroboh dalam mengemudi pun merasa tidak tega dengan mas tengahnya itu. Dhina tau apa yang membuat Sadha melamun. Sadha melamun karena masih teringat dengan kejadian tadi. Ia masih memikirkan kondisi Dhina saat ini dan itu membuatnya tidak fokus.
Kini semuanya tampak diam, tidak ada yang bercanda ataupun memulai pembicaraan. Suasana diseparuh perjalanan berubah menjadi hening hingga mereka sampai ke rumah.
Akhirnya, keluarga Pak Aidi pun sampai di rumah dengan selamat. Satu per satu diantara mereka pun turun dan masuk ke dalam rumah.
"Jangan lupa kunci pagarnya ya, Nak." ujar Pak Aidi yang menoleh ke arah Sadha lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Iya, Ayah." jawab Sadha.
Dhina yang masih berdiri di dekat mobil, ingin menunggu Sadha untuk masuk bersama ke dalam rumah. Sedangkan Ammar langsung masuk ke dalam dengan raut wajah yang masih kesal. Mungkin Ammar masih kesal dengan Sadha yang ceroboh saat mengemudi tadi. Sementara Dhana yang baru turun, melihat adik kembarnya masih berdiri di dekat mobil.
"Ayo Dek, kita masuk! Mandi habis itu istirahat. Wajah Adek pucat sekali tuh." ujar Dhana yang mengajak adik kembarnya masuk dan melihat wajah Dhina yang pucat.
"Adek tidak apa-apa, Mas. Mas Dhana duluan saja karena Adek ingin menunggu Mas Sadha." jawab Dhina yang melihat ke arah Sadha yang sedang menutup pagar.
"Kalau begitu kita tunggu Mas Sadha saja dulu." ujar Dhana yang ikut berdiri bersama Dhina untuk menunggu Sadha.
Dhina pun tersenyum melihat sikap Dhana yang juga ikut menunggu Sadha. Sedangkan Sadha sudah selesai menutup dan mengunci pagar. Saat ia ingin masuk, Sadha melihat kedua adik kembarnya masih berdiri di dekat mobil. Lalu Sadha pun menghampiri mereka.
"Kalian kenapa masih di sini?" tanya Sadha sambil berjalan menuju si kembar.
"Kita lagi menunggu Mas Sadha, biar bisa masuk bersama." jawab Dhana yang mengangkat kedua alisnya.
"Ya ampun, so sweet sekali kedua adik kembar Mas yang menggemaskan ini. Ayo, masuk! Kalian bilang saja kalau kalian itu kangen Mas gandeng seperti ini." ujar Sadha yang tertawa melihat adik kembarnya itu sambil menarik mereka berdua.
Di dalam rumah, Bu Aini yang melihat Sadha dan si kembar baru masuk langsung menghampiri mereka.
"Kalian langsung masuk kamar, mandi, habis itu istirahat ya, Nak. Ibu dan Ayah mau istirahat dulu. Mas Ammar kalian juga sudah istirahat. Kalian juga ya." ujar Bu Aini pada anak-anaknya.
"Siap, Bu. Selamat istirahat Ibu." jawab mereka bertiga serentak sambil hormat pada sang ibu.
Bu Aini yang melihat tingkah mereka hanya menggelengkan kepala. Lalu langsung pergi menuju kamarnya. Sedangkan Sadha dan si kembar sedang berjalan menuju kamar lantai atas.
Saat berjalan menaiki tangga, tiba-tiba Dhina teringat dengan kejadian tadi saat di jalan menuju rumah. Dhina teringat kalau Ammar masih kesal dengan Sadha. Hal itu terlihat saat Ammar turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Lalu...
"Mas... tunggu!" ujar Dhina yang meraih tangan Sadha dan Dhana.
"Ada apa Dek?" tanya Sadha yang menatap Dhina.
"Kita ke kamar Mas Ammar sebentar ya. Ada yang ingin Adek selesaikan." jawab Dhina yang membuat Dhana bingung namun tidak dengan Sadha.
Sadha mengira kalau Dhina akan mengatakan sendiri tentang kondisi kesehatannya saat ini. Sadha menghela nafas panjang dan hanya mengikuti Dhina karena tangannya ditarik oleh adik perempuannya itu.
Tok... Tok... Tok...
Tok... Tok... Tok...
"Mas... Mas sudah tidur ya." sahut Dhina dari luar kamar Ammar sambil mengetuk pintu.
"Belum, Dek. Tunggu sebentar." jawab Ammar dari dalam kamar.
Dhina pun tersenyum lega karena Ammar belum tidur. Tidak lama kemudian, Ammar pun membuka pintu kamarnya dan melihat ketiga adiknya.
"Kalian? Ada apa? Kenapa belum tidur? Ini sudah malam." ujar Ammar yang menatap ketiga adiknya satu per satu.
"Boleh duduk sebentar Mas? Ada yang ingin Adek bicarakan." tanya Dhina yang membuat Ammar bingung.
"Untuk apa Dek? Besok saja ya. Ini sudah malam." jawab Ammar yang memegang bahu Dhina.
"Sebentar saja Mas. Setelah selesai kami akan pergi ke kamar." ujar Dhina pada Ammar dan membuat Ammar tidak tega.
"Ya sudah, ayo masuk!" jawab Ammar yang menyuruh ketiga adiknya masuk lalu mereka duduk.
"Mas... Mas Ammar masih kesal ya sama Mas Sadha?" ujar Dhina pada Ammar dan membuat Ammar mengangkat kepalanya.
Sadha yang mendengarkan pertanyaan Dhina tadi membuatnya sedikit kecewa. Ia mengira kalau adik perempuannya itu akan jujur tentang kondisinya pada Ammar dan Dhana. Tapi yang Sadha pikirkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
"Maafkan Mas Sadha, Mas. Mas Sadha tidak sengaja hampir menabrak kucing itu. Adek tidak ingin melihat masnya Adek diam seperti ini." tutur Dhina yang memohon pada Ammar.
"Sadha minta maaf, Mas. Sadha tidak menyangka kalau Adek membawa kita ke sini untuk membahas masalah tadi. Sadha janji tidak akan mengulangi kesalahan seperti tadi lagi." timpal Sadha yang beranjak lalu berjalan ke arah Ammar.
"Mas sudah memaafkan kamu, Sadha. Mas tidak marah, Mas hanya kesal saja tadi. Maaf ya, Dik. Mas sempat marah sama kamu." ujar Ammar yang memeluk Sadha dengan erat.
"Kalau seperti ini baru enak dilihat. Tidak enak diam-diam seperti tadi, Mas. Ingin bercanda saja jadi canggung rasanya." timpal Dhana yang berjalan ke arah Dhina.
Berkat Dhina kesalahpahaman di antara Ammar dan Sadha kini telah usai. Setelah semua selesai, Sadha dan si kembar pun masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat.
Sadha yang sudah berbaring pun masih memikirkan kondisi Dhina dan membuatnya susah untuk tidur. Namun karena besok ia harus pergi ke kantor, Sadha pun terpaksa harus memejamkan matanya. Akhirnya Sadha terlelap dengan pikirannya yang masih melayang pada Dhina.
.
.
.
.
.
Happy Reading All❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments
Little Peony
Lanjut ya Thor salam dari Crushed by CEO ya ✨✨✨✨✨
2021-05-23
1
Ica Snow Kim
MAS AMMAR TEMUKAN TISU BERDARAH DI KAMAR DHINA, LALU MENGAMBILNYA & AKAN MENGECEKNYA 😓😓😓
2021-05-12
1
Ica Snow Kim
SETELAH IBEL, SEKARANG SADHA YG LIHAT DHINA MIMISAN 😓😓😓,
HAMPIR AJA SEMUANYA CELAKA, KARENA SADHA HAMPIR NABRAK KUCING 😓😓😓
2021-05-12
1