...🍀🍀🍀...
Di pagi hari yang cerah membuat suasana hati seorang gadis cantik menjadi lebih ceria seperti biasanya. Menjadi anak gadis satu-satunya dalam keluarga, membuat ia selalu disayangi dan dimanja oleh kedua orang tuanya dan juga kakak-kakaknya.
Seperti biasa, Dhina kembali bangun jam 6 hari ini. Ia suka sekali membantu Bi Iyah di dapur untuk membuat sarapan. Setelah bangun dan mandi, Dhina bergegas pergi ke dapur untuk membantu Bi Iyah.
"Selamat pagi, Bi." ucap si gadis cantik yang ceria dari arah ruang makan kepada Bi Iyah.
"Selamat pagi, Non Adek. Pagi-pagi sudah rapih saja, Non. Mau ke mana?" jawab Bi Iyah sambil senyum lebar pada Dhina.
Ya... Dhina memang lebih sering dipanggil dengan sebutan Adek dibandingkan dengan nama aslinya. Sejak kecil, orang tua dan ketiga masnya tidak pernah memanggil namanya. Posisinya sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga dan juga sebagai anak bungsu, menjadikan dirinya seperti gadis kecil dan karena sudah terbiasa, dirinya pun juga menyebut 'adek' sebagai panggilan sehari-hari. Berbeda jika ia berada di luar rumah, ia tidak menggunakan panggilan kesayangan bagi keluarganya itu.
"Tidak ke mana-mana kok, Bi. Adek mau bantu Bibi masak saja, seperti biasa." sambung Dhina sambil berjalan mendekati Bi Iyah.
"Tidak usah repot-repot, Non. Ini sudah menjadi tugas Bibi. Tidak usah ya, lebih baik Non Adek nonton saja di depan." pinta Bi Iyah agar Dhina tidak membantunya.
"Tidak apa-apa, Bi. Adek sudah biasa juga bantu Bibi di dapur. Lagi pula Adek tidak ada kegiatan, Bi. Kalau seperti ini, Adek cepat bosan di rumah." ucap Dhina dengan tampang melasnya yang lucu.
"Ya sudah. Tapi janji hati-hati ya, Non. Jangan sampai seperti kemarin." kata Bi Iyah sambil menatap Dhina.
"Iya, Bi. Adek janji." sambung Dhina sambil mengangkat jarinya yang menunjukan piss pada Bi Iyah.
Dhina akhirnya dapat izin dari Bi Iyah untuk membantunya memasak di dapur. Sempat sulit membujuk Bi Iyah karena kejadian kemarin yang membuat salah satu jari Dhina terluka karena pisau dan membuat Bi Iyah tidak mau melihat gadis itu terluka lagi. Namun Dhina tetap memaksakan diri sehingga Bi Iyah tidak ada pilihan lain.
Sekilas tentang Bi Iyah. Bi Iyah sangat menyayangi Dhina dan juga kakak-kakaknya. Bi Iyah sudah menganggap mereka sebagai anak-anaknya sendiri. Bi Iyah adalah seorang ART yang mencari nafkah untuk keperluan keluarganya di kampung. Bi Iyah mempunyai seorang suami dan juga seorang putri yang masih sekolah.
Suami Bi Iyah tidak mampu lagi untuk bekerja karena kecelakan yang pernah dialaminya beberapa waktu yang lalu. Hal itu membuat Bi Iyah pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib sebagai ART agar bisa mengirim uang kepada anak dan suaminya di kampung. Bi Iyah sudah 5 tahun bekerja di rumah Pak Aidi. Selama itu Bi Iyah bekerja dengan giat dan jujur. Pak Aidi dan Bu Aini juga senang dengan pekerjaan Bi Iyah sehingga membuat mereka betah mempekerjakan Bi Iyah di rumah.
"Semuanya sudah beres, Bi. Kita tinggal tunggu Ayah, Ibu dan yang lainnya untuk sarapan." ucap Dhina sambil meletakkan hidangan terakhir di meja makan.
"Kalau begitu, Bibi membereskan dapur dulu ya Non. Habis itu Bibi mau membersihkan halaman depan." jawab Bi Iyah yang ingin pergi ke dapur tapi dicegah oleh Dhina.
"Bibi tidak sarapan dulu?" tanya Dhina pada Bi Iyah sambil memegang tangan Bi Iyah.
"Bibi sudah makan, Non. Sebelum Non datang ke dapur, Bibi sudah makan duluan. Makan pagi bibi jadwalnya lebih pagi, Non." jelas Bi Iyah.
"Oh iya, Adek lupa. Ya sudah Bi. Adek mau ke kamar Mas Ammar dulu ya." ujar Dhina dan dibalas anggukan oleh Bi Iyah.
Setelah itu, Dhina pergi ke kamar Ammar yang ada di lantai dua rumahnya. Kamar Ammar, Sadha, Dhana dan Dhina bersebelahan satu sama lain dan kamar mereka berada di lantai atas.
Tok... Tok... Tok...
Tok... Tok... Tok...
Tok... Tok... Tok...
"Mas Ammar... Mas... sudah bangun belum. Ini sudah Adek bangunin ya. Kalau tidak bangun, bukan salah Adek loh, Mas." ucap Dhina sambil mengetuk pintu kamar Ammar.
Beberapa kali Dhina berusaha mengetuk pintu namun tidak ada jawaban dari sang pemiliknya.
"Mas... Mas Ammar...hmmm, tidak keluar juga nih orang. Kemarin minta tolong dibangunkan, sekarang malah tidak ada respon." gerutu Dhina yang masih berdiri didepan kamar Ammar.
Saat Dhina sedang marah-marah sendiri di depan kamar Ammar, tiba-tiba Dhana yang keluar dari kamarnya pun melihat dan menyapa Dhina.
"Hei, Dek. Adek sedang apa di depan kamar Mas Ammar?" tanya Dhana pada adik kembarnya itu sambil merapihkan lengan jaket levis yang ia kenakan.
"Tidak apa-apa, Mas. Kemarin Mas Ammar minta tolong dibangunkan, tapi saat Adek bangunkan malah tidak ada respon." ucap Dhina dengan tampang melasnya itu.
"Mungkin Mas Ammar lagi mandi, Dek. Jadi dia tidak dengar Adek ketuk pintu kamarnya. Lebih baik kita ke bawah. Apa sarapan Bi Iyah sudah masak?" ucap Dhana yang mencubit pipi cubby adik kembarnya itu karena menggemaskan.
"Sudah, Mas. Bi Iyah sudah selesai masak. Tapi nanti Mas Ammar malah marah sama Adek." Kata Dhina sambil memanyunkan bibirnya dan membuat Dhana gemas melihat tingkah adik kembar perempuannya itu.
"Sudah biarkan saja. Mas Ammar itu sudah dewasa, mana mungkin dia marah sama Adek hanya karena itu. Nanti Mas bantu Adek kalau Mas Ammar marah ya." ujar Dhana sambil mengusap kepala Dhina.
"Ya sudah, ayo." Kata Dhina mengajak Dhana turun ke lantai bawah.
Di lantai bawah, sudah ada Pak Aidi dan Bu Aini yang sedang menunggu anak-anak mereka bangun untuk sarapan. Bu Aini sedang menyiapkan bekal untuk Pak Aidi, Ammar dan Sadha untuk dibawa ke tempat kerja mereka masing-masing. Sedangkan Pak Aidi sedang asyik membaca koran sambil menunggu anak-anaknya turun dari lantai atas.
"Pagi Ibu, Ayah." sapa Dhana yang turun bersama Dhina.
"Pagi, Ayah. Pagi, Ibu." sapa Dhina yang memeluk ayah dan ibunya satu persatu dan mencium keduanya.
"Pagi juga anak Ibu yang ganteng dan yang cantik ini. Kenapa hanya kalian yang turun Sayang? Mas Ammar dan Mas Sadha kalian mana?" tanya Bu Aini pada anak-anaknya sambil asyik menyiapkan bekal.
"Pagi, anak-anak Ayah. Iya nih, kenapa hanya anak-anak kembar kita yang turun ya, Bu?" Sambung Pak Aidi sambil menggoda Dhina yang sudah duduk disebelah kiri ayahnya itu.
"Itu Mas Sadha. Baru turun, Yah. Kalau Mas Ammar tadi sudah Adek ketuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban." jawab Dhina sambil memajukan bibirnya dan mengarahkannya ke Sadha yang baru turun tangga dengan pakaian kantornya yang rapih.
"Mas Ammar mungkin masih mandi, Nak. Jangan cemberut seperti itu, nanti cantiknya hilang." goda Pak Aidi pada putrinya sambil mencubit pipinya itu.
"Pagi, Ayah. Pagi, Ibu. Pagi, Dhana. Pagi Adikku yang cantik. Kenapa pagi-pagi sudah cemberut? Tidak baik loh, Dek." ucap Sadha menggoda adiknya sambil duduk di kursi meja makan.
"Adek cemberut karena Mas Ammar, Mas." jawab Dhana yang dari tadi melihat tingkah lucu Dhina.
"Mas Ammar? Kenapa dengan Mas Ammar?" tanya Sadha sambil melihat Dhana.
"Mas Ammar minta dibangunkan sama Adek, tapi saat dibangunkan malah tidak ada jawaban. Nanti malah badmood sendiri sama Adek." timpal Dhina sambil makan nasi goreng kesukaannya.
Semua orang yang ada di meja makan dibuat terkekeh oleh sikap Dhina yang cemberut hanya karena Ammar tidak bangun saat dibangunkan olehnya. Tidak lama kemudian, terlihat Ammar yang sedang berjalan menuju meja makan untuk bergabung dengan yang lainnya.
"Pagi, Ayah. Pagi, Ibu. Pagi, adik-adik Mas yang ganteng dan adik Mas yang cantik." sapa Ammar menyapa semuanya sambil duduk di tempat ia biasanya makan bersama keluarga.
"Pagi, Nak. Tumben sekali kamu bangunnya terakhir. Ketiduran ya Sayang?" tanya Bu Aini pada putra sulungnya itu.
"Tidak, Bu. Saat Ammar dengar suara Adek di luar ketuk pintu kamar, Ammar langsung ke kamar mandi, jadi lupa kasih tau Adek kalau Amamr sudah bangun." jelas Ammar sambil melihat Bu Aini dan Dhina secara bergantian.
"Betulkan, Dek. Mas bilang juga apa. Mas Ammar lagi mandi, makanya tidak buka pintu kamar." timpal Dhana sambil menyenggol tangan adik kembarnya itu.
"Memang kenapa Dhana? Adek kenapa pagi-pagi sudah cemberut?" tanya Ammar sambil menatap kedua adik kembarnya itu secara bergantian.
"Adek cemberut karena Mas tidak buka pintu kamar, tidak menjawab saat dibangunkan. Adek kira Mas belum bangun, makanya dia cemberut gitu." jelas Dhana sambil terkekeh melihat tingkah lucu Dhina.
"Ya ampun, Sayang. Mas minta maaf ya. Terima kasih sudah membangunkan Mas. Mas hari ini ada jadwal operasi pasien kanker, makanya minta tolong dibangunkan sama Adek. Tadi malam itu Mas pulang telat. Untuk minta tolong ke Adek saja Mas chatting, bukan bilang langsung. Mas kira tadi sudah siang, makanya Mas langsung ke kamar mandi tanpa kasih tau Adek dulu kalau Mas sudah bangun. Terima kasih ya, Sayang. Nanti mau Mas belikan apa? Anggap saja permintaan maaf dari Mas." tutur Ammar panjang sambil membujuk sang adik yang masih asyik makan tapi sebenarnya mendengarkan perkataan Ammar.
"Itu Mas Ammar sudah minta maaf, Dek. Maafkan saja, nanti menyesal baru tau." timpal Sadha yang masih saja menggoda adik perempuannya itu.
Sifat Sadha yang dingin itu tidak berlaku untuk keluarganya. Apalagi pada adik perempuan satu-satunya itu, bahkan ia sangat jahil. Sifat dinginnya itu hanya berlaku di luar rumah saja.
"Adek mau es krim yang lagi viral sekarang. Masau?" ucap Dhina yang akhirnya buka suara sambil menatap Ammar dengan tajam.
"Oke, nanti Mas belikan saat Mas pulang dari rumah sakit. Tapi Adek jangan cemberut lagi ya. Senyum dulu!" ujar Ammar sambil tersenyum manis membujuk Dhina.
"Iya, sudah tidak cemberut lagi." jawab Dhina sambil senyum lebar pada mas sulungnya itu.
Setelah itu, mereka semua menikmati hidangan sarapan pagi bersama yang dibuat oleh Bi Iyah dan dibantu oleh Dhina. Setelah semuanya selesai, Pak Aidi dan Bu Aini pun berangkat kerja bersama karena kebetulan sekolah tempat Bu Aini mengajar searah dengan Kantor Dinas Pak Aidi. Sedangkan Ammar dan Sadha, pergi ke tempat kerja dengan mengendarai mobil mereka masing-masing.
Setelah semuanya pergi, Dhana juga ingin pergi ke cafe. Namun Dhina masih mencegahnya karena gadis itu ingin ikut dan masih membujuk Dhana yang tidak mau mengajaknya.
"Mas... Adek ikut ke cafe ya. Masa Mas tega tinggalin Adek sendirian di rumah. Adek bosan di rumah, Adek tidak ada kegiatan. Ya, ya, mas, Adek ikut." ujar sang adik kembar Dhana dengan tampang melas.
"Adek kenapa mau ikut? Mas di sana hanya ingin melihat cafe sebentar saja. Habis itu Mas mau pergi berkumpul dengan teman. Masa Mas bawa Adek ikut berkumpul sama teman Mas sih. Mas lama kalau sudah kumpul-kumpul." jawab Dhana sambil menggenggam kedua tangan adik kembarnya itu.
"Pokoknya Adek mau ikut! Tidak masalah kalau Mas kumpul sama temannya lama. Adek tunggu, yang penting Adek tidak di rumah. Boleh ya Mas, boleh ya, ya Mas." tutur Dhina dengan wajah melasnya yang semakin jadi dan membuat Dhana tidak tega meninggalkan adiknya itu.
Dhana pun terdiam dan menatap lekat manik sang adik yang membuatnya berpikir ulang untuk meninggalkannya sendiri di rumah bersama Bi Iyah.
"Adek janji tidak akan menganggu Mas saat kumpul sama teman-teman nanti. Adek akan diam saja dan tidak akan bicara apapun." sambung Dhina sambil memohon pada sang mas kembarnya itu.
"Ya sudah. Tapi janjinya ditepati ya, Dek. Tidak akan mendesak Mas pulang. Awas saja! Nanti Mas tinggal baru tau." ucap Dhana sambil melebarkan matanya ke arah adik kembarnya itu.
"Janji, Mas." jawab Dhina dengan senyum lebarnya yang manis itu membuat Dhana pun ikut tersenyum.
"Ya sudah, ayo! Kita ke cafe dulu. Nanti di cafe kalau Adek ingin sesuatu, tinggal pesan saja. Semua karyawan di sana juga sudah kenal sama Adek." jelas Dhana sebelum nanti setiba di cafe Dhina merengek ingin sesuatu.
"Iya, Masku sayang." jawab Dhina singkat.
Akhirnya Dhana dan Dhina pergi ke cafe dengan menggunakan motor besar milik Dhana. Walaupun Dhina terbilang sudah dewasa, tapi sikap kepada mas-masnya itu tetap seperti anak kecil, suka merajuk, cemberut, merengek ingin ikut atau ingin sesuatu. Tapi hal itu tidak membuat Dhina lemah, ia tetap anak yang mandiri, baik, rajin dan juga pintar. Hanya di waktu dan di tempat tertentu saja ia bersikap seperti anak kecil. Di tempat lain, ia menjadi seorang wanita yang mandiri dan juga tidak suka dikasihani. Bahkan, diantara mereka berempat, Dhina lah yang paling dewasa pemikirannya dibandingkan ketiga masnya.
.
.
.
.
.
Happy Reading All ❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments
Nona Bucin 18294
Hai Dina sicantik dan paling rajin bangun pagi. semangat updatenya ya kak. Jangan lupa juga selalu kesehatan. Salam hangat dari Mama muda 😀😀😀
2021-07-01
0
Mega Pawitri
didunia nyata ada gak sih yang kayak gitu? akurr , keluarga harmonis bangetttt .. sukses . sempurna.. pengen masuk kedunia novel
2021-06-22
0
Arthi Yuniar
Keluarga yg bahagia dan harmonis ya..mulai baca dari awal nih kak😊
2021-04-12
0