Mengejar Cinta Pertama Suamiku
Derungan mobil terdengar memasuki halaman rumah, rombongan keluarga yang akan melamarku sudah tiba. Aku semakin gugup, berkali-kali kupandangi pantulan bayanganku sendiri di cermin, jilbab, gamis, bedak, sedikit liptint, OK. Tanganku gemetar dan dingin.
"Auw ...!"
Rasanya sakit, ketika kucubit tanganku sendiri, artinya ini bukanlah mimpi. Aku tidak menyangka seseorang yang baru kulihat beberapa minggu yang lalu, yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama, datang melamarku.
Suara ketukan pintu membuyarkan pikiranku.
"Medina, ayo keluar Nak, acara khitbah akan segera dimulai!" seru ibuku dan membuat hatiku semakin berdebar tidak karuan.
"Iya, Bu!"
Kutarik nafas dan kemudian kuhembuskan perlahan, mencoba mengendalikan rasa gugup yang meledak-ledak dan beradu dengan rasa bahagia.
"Bissmillahirohmanirohim!"
Kumantapkan langkah kaki untuk keluar.
Ada 6 orang yang datang, termasuk calon suamiku. Aku disambut dengan salam yang ramah, mereka sudah menunggu, semua mata tertuju padaku. Aku sangat gugup dan malu sampai tidak berani mengedarkan pandangan, aku menunduk sepanjang paman calon suamiku, Kiyai Sholeh, menjelaskan maksud kedatangannya yang sudah jelas, dan mengharap keluargaku menyambut dengan baik niat ibadah ini. Aku hampir tidak mendengar dengan jelas setiap kalimat-kalimatnya, karena rasanya jantungku berdetak terlalu kencang.
"Bagaimana Nak Medina, apa bersedia menerima Musa, keponakan saya yang penuh kekurangan ini?" pungkasnya kemudian.
"Insha Alloh saya bersedia," jawabku malu-malu kucing.
Rasa penasaran akan ekspresi Mas Musa, mendorongku untuk memberanikan diri melirik mimik wajahnya yang Subhannalloh, tampan. Dia tersenyum seraya mengucap Hamdallah, bahagia kurasakan tidak terkira, ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku yakin perasaanku bersambut pada Mas Musa.
Mas Musa baru saja menyelesaikan pendidikan di Tarim, Yaman. Dan baru sekitar sebulan ini pulang ke tanah air, Mas Musa berasal dari sebuah kota dengan jarak sekitar 1 jam dari tempatku. Paman Mas Musa adalah orang berpengaruh di daerahku, sehingga ketika Beliau mengungkapkan akan melamarku untuk keponakannya, orang tuaku langsung setuju, dan bagiku ini adalah berkah yang luar biasa, seseorang yang tampan, sholeh, dan berpendidikan tiba-tiba menginginkan aku, Medina khafiza sebagai istrinya.
Berbagai persiapan membuat sibuk seisi rumah dan acara seperti ini selalu digunakan sebagai ajang berkumpul sanak saudara dan juga beberapa tetangga. Sepertinya keluarga calon suamiku adalah orang yang terpandang di daerahnya, hingga iring-iringan di kabarkan mencapai 3 bus besar. Aku senang, banyak yang akan mendoakan pernikahanku nanti, sepertinya ini akan menjadi acara yang meriah, semoga tidak menghilangkan kesakralan ijab qobulnya nanti.
Hingga pada hari yang ditentukan, menggema sebuah suara yang tegas, namun lembut dan merdu menyebut namaku Medina khafiza binti Jamaludin sebagai istrinya.
"Alhamdulillah!"
Besarnya acara tidak sebanding dengan tenagaku yang terbatas, tapi semua tetap berjalan dengan lancar. Malam pertama kami dilalui dengan bacaan doa Mas Musa di puncak kepalaku, dia mengajakku bersholawat, kemudian istirahat, karena acara hari ini begitu menguras tenaga. Sekali lagi aku begitu mengagumi kepribadian suamiku ini, Mas Musa. Rasanya masih tidak percaya bisa menyebutnya dengan gelar suamiku.
Kira-kira sepertiga malam, aku terbangun, aku mendengar isakan tangis seseorang, kuedarkan pandangan dan melihat Mas Musa sedang bersimpuh di atas sajadahnya, di sudut kecil kamar pengantin kami yang indah. Tidak terdengar jelas doanya, tapi sepertinya Mas Musa sedang mengungkapkan rasa syukurnya atas ibadah seumur hidup kami ini, sebahagia itu kah dirimu Mas Musa?
Aku merasa malu hingga akhirnya aku ikut bangun bermaksud mengikuti Mas Musa melaksanakan sholat malam, aku pun merasakan rasa syukur yang sama.
"Mas Musa, kenapa nggak bangunin aku?"
"Ehh, maaf Dek, kamu jadi terbangun, kamu tidur lelap banget, pasti capek seharian menyalami tamu, Mas mau bangunin enggak tega."
"Ya udah, aku ambil wudhu dulu ya, Mas," pamitku seraya pergi.
"Mau mas temenin nggak, Dek?"
"Enggak usah Mas sudah biasa kok." Mas Musa hanya mengangguk dan meneruskan doanya.
Kikuk sekali rasanya, tapi setiap detiknya begitu mendebarkan. Aku pasti akan menikmati proses pengenalan ini, semoga aku tidak mengecewakan Mas Musa, aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuknya.
Singkat cerita, seminggu setelah menikah aku diboyong ke luar kota, Mas Musa baru saja mendapatkan tawaran mengajar di sana. Aku sudah terbiasa tinggal jauh dari orang tuaku, karena sebelumnya aku tinggal di asrama, namun karena kepergianku kali ini dengan status yang berbeda, rasa haru yang kurasa pun berbeda.
"Jadi istri yang sholehah ya Nak, ayah sama ibu yakin sudah mendidik Medina dengan benar, jadilah bidadari untuk suami kamu," pesan ibuku ketika aku akan pergi.
"Pasti Bu, doakan Medina ya." aku memeluknya dengan erat sebelum akhirnya pergi sebagai seorang istri.
Sepanjang perjalanan Mas Musa menceritakan pengalaman-pengalamannya tentang Hadramauth, kota para nabi, keindahannya, ketenangannya, kedamaiannya, semua Mas Musa jabarkan, betapa terpesonanya aku dengan cerita-cerita suamiku ini. Mas Musa pandai sekali mencairkan sikapku yang kikuk, dan benar saja obrolan kita sudah lebih akrab bahkan Mas Musa mulai sedikit membelai pipiku. Perjalanan ini adalah kesempatan pertama aku bebas berdua dengan Mas Musa, karena selama di rumahku, keluargaku selalu berebut untuk berbincang-bincang dengan Mas Musa, sampai aku tidak punya kesempatan untuk sekedar ngobrol berdua.
"Makasih ya Dek, sudah mau mengikuti kemana mas pergi."
"Nggak perlu berterima kasih juga Mas, Medina rela hidup di mana aja asal sama Mas Musa."
"Mas Musa belum bisa beliin Adek rumah, sementara kita ngontrak dulu ya Dek, semoga rejeki mas cepat terkumpul jadi bisa ngasih adek rumah yang nyaman."
"Aamiin, semoga lelahmu menjadi berkah, Mas." rasanya ingin mengucapkan lebih dari itu karena janji Mas Musa sungguh sangat membuatku bahagia, tapi aku harus menjaga sikapku di depan Mas Musa jangan sampai aku terlihat lebay.
Sampai di rumah yang sudah dipersiapkan oleh teman Mas Musa, kita disambut oleh beberapa teman Mas Musa di sini. Aku kagum padanya pergaulannya begitu baik, sehingga lama hidup di luar negri tidak membuatnya kehilangan teman di sini. Rumah pun sudah rapi, aku dan Mas Musa hanya membawa baju dan beberapa barang pribadi, perabot rumah ini sudah komplit hingga aku tidak perlu repot memikirkan isinya, walaupun sederhana tapi ini sangat cukup bagiku.
Mas Musa sudah terlebih dahulu bersiap untuk tidur, menyetir jauh sepertinya membuatnya kelelahan dan juga menjamu beberapa temannya tadi, serta sedikit beramah tamah dengan tetangga, ah menguras tenaga memang.
Aku baru saja memejamkan mataku ketika kurasakan belaian lembut menyapu keningku.
"Kamu sudah sholat Isya, Dek?" Tanya Mas Musa membuatku salah tingkah tidak karuan, karena sejak malam itu aku datang bulan dan hari ini baru saja aku bersuci.
"Su-sudah Mas, maghrib tadi juga sudah." Pikiranku melayang membayangkan apa yang akan terjadi, aku gugup, tegang, dan malu.
"Hemm, boleh nggak mas meminta hak mas malam ini?" tanyanya yang terdengar sangat romantis di telingaku.
Aku tidak mampu menjawabnya, lidahku kelu, hanya jantungku yang begitu lancang menjawab, dengan debaran yang begitu kencang. Sehingga aku yakin, dengan jarak kami saat ini Mas Musa pasti mendengar suaranya. Aku mengangguk pelan, Mas Musa semakin mendekatiku dan ternyata bukan jantungku saja yang kehilangan kendalinya, aku pun merasakan dengan jelas debaran jantung Mas Musa.
"Bissmillahirohmanirohim ...." Bibir Mas Musa melafadzkan doa.
Aku menutup mataku, malu. Aku tidak tahu harus bagaimana, Mas Musa pun sama, dia hanya mengikuti nalurinya. Aku menikmati setiap sentuhan yang menjadi pengalaman pertama bagiku dan juga bagi Mas Musa, aku membayangkan dosa-dosaku yang berguguran di sana.
Alhamdulillah, malam impianku, impian setiap gadis, telah terjadi. Subhannalloh, indah dengan kita berdua yang masih malu-malu.
Kembali, aku terbangun di sepertiga malam oleh suara Mas Musa. Tapi kali ini suamiku tidak sedang berdoa, tubuh Mas Musa berkeringat dan sedikit menggumam. Sepertinya Mas Musa mimpi buruk. Aku mengguncangkan tubuh Mas Musa berusaha membangunkannya agar terlepas dari mimpi itu.
"Mas Musa istighfar, Mas!" Mas Musa hanya menjawab dengan kembali menggumam, kugoncangkan lagi sedikit lebih keras dan kupanggil-panggil namanya.
"Mariaam ... Mariaam ...!" Kupandangi benar-benar bibir suamiku dan kucoba menyamakan gerakan bibirnya dengan apa yang telingaku dengar.
"Mariaaam ... !" Kali ini aku tidak salah.
"Astagfirullohaladzim!" seru Mas Musa ketika usahaku membangunkannya berhasil, peluh di wajahnya menandakan mimpi tadi pasti tidak menyenangkan.
"Mas mimpi apa? Mas mimpi buruk?"
"Nggak apa-apa Dek, bersucilah duluan nanti kita sholat sama-sama," ucapnya dengan nafas yang masih tidak beraturan.
Mariam, siapa dia? Malam yang indah rusak dalam sekejap.
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Laela Syarif
😭😭😭
2024-06-08
1
🇮🇩 F E E 🇵🇸
Pedihnyaaaa... 🤧🤧🤧
2022-10-11
1
Sulati Cus
pasti hati ketar ketir dlm tidur pun kau sebut sbg istri pasti kecewa baru baca udah agak2 emosi
2022-05-28
0