Pov MUSA HAMIZAN
Alloh menegurku, dengan perkenalan singkat dengan seseorang bernama Biantara. Usianya hanya 2 tahun di atasku, dia orang biasa, yang beribadah seadanya, bahkan aku bisa menebak dia tidak pernah membaca Jurumiah. Namun, dia rajin beribadah dan mengikuti kajian-kajian di masjid.
Dengan ilmu dan pengetahuannya, dia berhasil menjadikan Mariam sebagai pendamping hidupnya. Aku tahu, tidak mudah untuk menyentuh hati seorang Mariam, karena aku pernah melakukannya. Bahkan, dia berhasil membahagiakan Mariam dalam rumah tangga yang hangat, dan penuh cinta, sesuatu yang tidak bisa aku lakukan.
Aku malu pada diriku sendiri, dengan jauhnya jarak yang pernah kutempuh, dan dengan lamanya waktu yang kuhabiskan untuk mencari ilmu. Tapi aku masih tidak mampu mengendalikan rasa dan hatiku pada masa lalu, pada Mariam, pada isteri orang. Sangat jauh keihlasan yang aku punya dengan milik Biantara.
Aku, pernah mengklaim tidak ada yang lebih indah dari cintaku pada Mariam, cinta yang berbalas namun tidak berjodoh. Cintaku terus ada dalam doa, aku berdoa untuk kebahagiaan Mariam, yang tak mampu aku wujudkan.
Biantara, dia mencintai Mariam tidak dengan keegoisan. Bahkan, saat dia bertemu denganku, dengan hangat dia menyambut dan mengatakan, ingin mempertemukanku dengan Mariam demi sebuah ketenangan hati Mariam, dari kisah yang belum rampung sempurna. Kalau aku, mungkin sudah cemburu.
Bahkan ketika Medina melakukan hal yang hampir serupa, tetap terasa berbeda ketulusan diantara keduanya. Aku mendapatkan pelajaran tentang mencintai dari Biantara.
Pertama kali dalam hidupku, aku merasa ikhlas melepas Mariam, adalah karena Biantara. Karena dirinya juga, aku harus menyaksikan Mariam menangis, terluka dan bersedih karena kehilangan. Matanya menggambarkan kehancuran hati dan hidupnya, sandaran hidupnya telah pergi, Mariam pun ambruk dalam kegelapan karena kehilangan sosok Imam.
Setiap malam aku selalu berdoa, agar Alloh membalikan hatiku, menguatkan pertahanan atas perasaanku pada Mariam. Sesungguhnya aku tidak berkuasa atas apa yang aku rasakan, hanya Alloh yang berhak merubah atau pun menghilangkan perasaan pada hati setiap mahluknya. Aku malu pada Medina, karena kelemahanku melawan perasaan ini.
Pertahanan hatiku hancur dan hilang tak berbekas, setelah melihat Mariam dalam kondisi lemah, dia permata yang sedang kelabu. Aku tak sampai hati melihatnya menderita, aku hanya ingin menyangga hatinya yang roboh, dan juga kehidupnya yang goncang, aku bisa apa sekarang?
Aku kembali termenung, secangkir teh yang ada di hadapanku telah menjadi dingin. Biantara telah pergi, dan walaupun aku baru mengenalnya, tapi perasaan sedih ini membuat kekosongan yang besar di hatiku.
Medina menyentuh kedua pundakku, dia memberikan pijatan lembut, dan menyadarkanku dari kekalutan pikiranku.
Aku malu pada dirinya, aku gagal menjadi suami yang baik, aku justru tenggelam dalam perasaanku sendiri. Aku tertipu sikapnya yang sok tegar, aku hanyut dan percaya bahwa dia baik-baik saja. Padahal, dia sangat ketakutan, takut akan cintaku pada Mariam.
"Mas Musa ... ?" panggilnya lembut.
"Hem ...." Medina duduk di sampingku, sejak kepergian Biantara aku terlalu banyak menghindarinya.
"Boleh Medina tanya?" pintanya dengan raut wajah yang tak kalah sedih, aku hanya mengangguk dan kembali berpura-pura tenggelam pada buku di tanganku.
"Mas nggak bahagia? Apa mungkin Mas menyesal telah menikahi Medina?"
Aku tersentak dengan pertanyaannya, bagaimana bisa dia berpikir begitu? Andai dia tahu, aku malu, aku tidak sanggup berdiri di depannya dengan hati yang berisi orang lain.
"Mas Musa ... ?" Aku meletakkan buku di tanganku.
"Dek, apapun yang menjadi prasangkamu, Mas pastikan itu salah." Medina berungsut dari kursi dan bersimpuh di pangkuanku.
"Mas berubah dingin, sedikit bicara, mengacuhkanku, dan Mas lebih memilih berlama-lama di depan laptop, buku, bahkan hampir sebagian besar waktu malam Mas Musa habiskan di atas sajadah, apa yang Mas Musa tangisi Mas? Apa yang Mas Musa minta? Apa Mba Mariam?" ungkap Medina, air matanya luruh bersama isak tangis.
Aku membimbing Medina untuk bangun, aku hapus air mata yang mengalir di pipinya, air mata yang akan membuatku dilaknat oleh malaikat sepanjang kakiku melangkah.
"Nggak Dek, maaf ya ... Mas mengabaikan kamu."
"Haruskah Medina meminta Mba Mariam untuk menikah dengamu, Mas?" tanya Medina, aku terkejut dia bisa mengucapkan hal itu.
Aku kecewa, Medina bisa mengucapkannya. Aku bahkan berusaha semaksimal mungkin untuk menghapus perasaanku, menetralkannya, melupakannya, dan aku berusaha mencintai dia, istriku. Aku memang mendoakan kebahagiaan Mariam, mendoakan kehidupannya agar segera membaik, mendoakan dia agar tetap tabah dan sabar. Tapi air mata yang mengalir di setiap doa, adalah air mata karena merenungi kelemahanku, dan aku selalu meminta pada Alloh agar benteng pertahanan yang ada di hatiku untuk diperkuat, agar bisa bertahan dari perasaan yang sudah aku kubur.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku, untuk mendapatkan Mariam kembali, biarlah aku pada tempatku dan dia pada tempatnya, aku hanya ingin menjaganya dalam doa.
"Dek, istighfar Dek!"
"Mas ... Medina ikhlas, kalau Mas memang mau."
"Mas nggak tahu mau bilang apa, hhhh ... bahkan mas nggak pernah berpikir sampai ke sana, perasaan mas pada Mariam bukan lagi karena ingin memiliki, mas nggak nyangka, kamu bisa berpikir seperti itu!"
Medina terlihat terkejut, karena aku sedikit menaikan nada bicaraku.
"Medina hanya nggak tega melihat Mas terus menangis setiap malam, Medina ingin Mas Musa bahagia, Medina nggak mau egois."
"Bukan hal itu yang membuatku menangis, Dek!"
Medina menunduk, menghindari tatapan mataku. Tubuhnya bergerak naik dan turun.
Astaghfirullohaladzim ...!
Aku memeluknya, aku menyadari akulah yang salah sampai Medina berpikiran seperti itu.
"Sudah Dek, jangan berpikir terlalu mengada-ada, sudah jangan menangis, nanti malaikat yang melaknat Mas akan semakin banyak."
"Tapi, Medina serius," ucapnya dengan yakin.
"Nggak Dek, tanah makam Pak Bian masih merah, bagaimana mungkin kamu berpikir semacam itu."
"Mas Musa nggak bisa bohong, Mas Musa sedih kan? Melihat keadaan Mba Mariam."
"Siapapun yang melihat pasti sedih, Dek! Tapi Mas Musa juga sedih dan kehilangan, bukan cuma Mariam, bahkan hampir semua warga di sini sedih karena kehilangan Pak Bian, sosok yang baik, hangat, humbel. Mas hanya merasa telah kehilangan teman dekat, walaupun Mas baru mengenalnya, tapi kesan yang Pak Bian berikan itu dalam."
"Apa kamu berpikir seperti itu tanpa sedikitpun memperhitungkan kedudukan Pak Bian, Dek?"
Medina hanya menunduk mendengar perkataanku.
"Mas begitu menghargai Pak Bian, jadi jangan lagi berpikiran seperti itu."
"Apa salah kalau mas sedih karena kehilangan seorang teman?"
"Maafkan Medina, Mas!" ucapnya lirih.
Aku kembali memeluknya, berharap emosi yang ada di hatiku mereda. Aku juga berharap dia menyesal karena sudah berprasangka.
"Perbanyak dzikir dan istighfar, Dek!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments