Mas Musa benar-benar menjadi suami idamanku, imam yang sempurna, dan teman hidup yang menyenangkan. Hanya satu rahasia yang masih saja mengganjal, Mariam.
Aku bahkan tidak berani menanyakan hal itu langsung kepada Mas Musa, aku tidak ingin merusak suasana pernikahanku yang indah, lagi pula sepertinya Mas Musa tidak dalam kesadaran yang penuh saat memanggil-manggil Mariam, biarlah rasa cemburu ini meledak dalam perutku.
"Mas, aku sudah siapkan roti untuk sarapan," ucapku kepada Mas Musa yang tengah bersiap-siap berangkat ke kampus.
"Terimakasih, Dek, maaf ya merepotkan."
"Aku yang minta maaf, gara-gara kemarin sarapannya nasi goreng Mas malah jadi sakit perut, maaf ya Mas aku belum hafal selera dan kebiasaan makan Mas Musa."
"Nggak apa-apa Dek, pelan-pelan saja kita saling mengenal." Mas Musa memeluk dan sedikit mencium puncak kepalaku, perlakuan manis nan romantis yang membuatku meleleh setiap waktu.
Sekarang jadwal Mas Musa sangat padat, Mas Musa mengajar di beberapa kampus bahkan hingga ke luar kota. Mas Musa sangatlah pekerja keras juga kesholehan yang menjadi dambaan setiap wanita, masih ditambah parasnya yang tinggi, tegap, dan tampan, aku sangat beruntung.
Aku menggunakan waktu luangku untuk mencari tahu sosok Mariam, kucari-cari namanya dari beberapa akun sosmed, kucari satu persatu teman sekolah Mas Musa, kutelusuri semua kemungkinan, berharap menemukan titik terang identitas Mariam.
Akhir minggu ini ibu mertuaku datang berkunjung, ibu Mas Musa sosok yang lembut dan baik, namun rasanya agak canggung ketika aku harus berbincang dengan Beliau, dari cara Beliau berbicara menunjukan derajat ilmunya yang tidak sembarangan. Namun aku harus berusaha membuat beliau tidak menyesal menjadikanku sebagai menantunya.
"Ya Alloh ... pantaskanlah aku untuk menjadi istri seorang Musa Hamizan, segala tentangnya selalu membuatku harus berusaha lebih dan lebih," doaku selalu di dalam hati.
"Nduk, apa ada pasar deket sini?"
"Ada Bu, Ibu mau ke pasar? Ibu kepengen apa? Biar Medina carikan."
"Nggak usah, pergi bareng-bareng aja, ibu kepengen tahu lingkungan sini juga, jauh apa nggak, Nduk?"
"Deket Bu, 5 menit naik motor."
"Kalau gitu jalan kaki aja, sekalian lihat-lihat daerah sini."
"Iya Bu, Medina bereskan ini dulu sebentar ya, Bu."
Aku bergegas membereskan meja bekas sarapan, kebetulan Mas Musa sedang menginap di luar kota, mungkin hari ini pulang, karena semalam aku sudah mengabarkan kedatangan ibunya.
"Ayo, Bu!" ajakku pada Beliau ketika semua sudah selesai.
Ibu mertuaku cantik sekali, padahal usianya yang tidak lagi muda, gamisnya berwarna ungu dan jilbabnya panjang. Kami berjalan bertelanjang kaki karena permintaan beliau, mungkin ini rahasia awet muda ibu mertuaku.
"Lingkungannya enak ya, Nduk, apa kamu sudah kenal tetangga-tetangga disini?"
"Baru beberapa Bu, baru tetangga kanan kiri, orang-orang di sini keluar rumah kalau ada butuhnya aja begitu masuk tutup pagar lagi."
"Sabar Nduk, semoga cepet-cepet dikasih momongan biar kamu nggak kesepian kalo Mizan keluar kota."
"Aamiin, doakan Medina, Bu," ucapku seraya tersenyum malu mendengar doa Beliau.
'Segerakan Ya Alloh!' batinku.
Tanpa terasa kita sudah sampai ke pasar, sebelum pergi ibu mertuaku bilang hanya ingin melihat-lihat, tidak ingin beli barang karena kita jalan kaki pasti susah membawanya. Ternyata ibu mertuaku kepincut berbagai jenis barang dari piring, gelas, cangkir, dan beberapa buah-buahan. Aku kepayahan membawanya.
"Nggak apa-apa, Nduk, ayo pelan-pelan aja nanti juga sampai," ucap ibu mertuaku ketika aku memaksa untuk membawakan semua barang belanjaan kami, tidak enak rasanya membiarkan Beliau ikut kepayahan membawa barang-barang ini.
"Istirahat saja dulu Bu, matahari udah mulai panas kasian Ibu."
"Enggak papa Nduk, ayo jalan lagi!" jawab Ibu mertuaku dengan nafas yang mulai terengah-engah.
"Begini aja Bu, Ibu tunggu sebentar di sini biar Medina lari pulang ngambil motor," usulku melihat Ibu mertuaku yang kepayahan, kebetulan ada ruko yang belum buka dan Ibu mertuaku berteduh di depannya.
"Ya udah Nduk, maaf ya malah ngerepotin."
"Nggak papa Bu, tunggu Medina ya jangan kemana-mana sebelum Medina datang."
Aku berjalan dengan cepat dan setengah berlari, berharap segera sampai ke rumah dan tidak ingin membuat ibu mertuaku lama menunggu. Aku segera membuka gerbang dan hendak mengeluarkan sepeda motorku kebetulan kuncinya telah kubawa sebelumnya.
Baru sempat kututup gerbang, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan rumahku, dan benar saja, Ibu mertuaku turun seraya mengucapkan terimakasih. Aku segera menghampirinya dan membantu wanita yang mengantar Ibu mertuaku menurunkan barang-barang belanjaan Ibu mertuaku dari motor bagian depannya.
"Terimakasih, Mbak!" ucapku padanya.
"Sama-sama, tadi kasian ngeliat Ibu kepanasan jadi saya tawari tumpangan."
"Makasih ya, Mbak!" ucap ibu mertuaku lagi.
"Sama-sama Bu, kirain jauh ternyata deket, baru pindah ya? Saya kok baru lihat," tanya mbak itu.
"Menantu saya baru pindah ke sini," terang ibu mertuaku.
"Oh begitu, semoga betah ya, kalau saya blok depan, main-main kerumah saya, Bu," kata mbak itu dengan ramah.
"Iya, ini menantu saya Medina yang akan tinggal disini kalau saya cuma main, Mba." Ibu mertuaku memperkenalkan diriku, sepontan aku menyalaminya.
"Perkenalkan saya Medina, Mbak."
"Panggil saja Mama Okta, kalau sudah punya anak nama asli suka enggak laku di sini, kenalnya Mama Okta nama anak saya," jawabnya sambil membalas uluran tanganku.
"Maaf ya, saya buru-buru kapan-kapan kita ngobrol lagi."
"Kapan-kapan mampir kesini, Mbak!" ucap Ibu mertuaku berbasa basi.
"Iya Bu, saya pamit dulu, Assalamualaikum!"
Mama Okta pun pergi, aku bersyukur Ibu mertuaku baik-baik saja.
"Alhamdulillah ketemu orang baik Nduk, kamu nanti berteman saja sama dia."
"Iya Bu, ayo masuk dulu kasian Ibu pasti panas dan haus."
Aku segera ke dapur membuatkan es teh untuk kita berdua, sejujurnya aku juga sangat haus sehingga bayangan tegukan es teh pasti mampu meredam rasa hausku dan juga Ibu mertuaku. Segera setelah jadi aku membawakannya kepada Ibu mertuaku.
"Air putih aja lho Nduk, Ibu kalau minum es malamnya batuk-batuk."
"Oh, iya Bu!" Aku segera kembali ke dapur dan membawakan beliau segelas air putih, rasa haus benar-benar membuatku tidak berpikir jernih.
Tidak lama kemudian terdengar suara mobil Mas Musa, aku segera berlari ke depan untuk menyambut dan membukakan gerbang untuknya. Dari balik kaca mobil dia melempar senyum yang manis padaku, andai Mas Musa tahu ditinggal 3 hari saja aku sudah sangat rindu. Mas Musa segera turun dari mobilnya dan aku menyambutnya dengan takdim.
"Assalamualaikum Dek, mas segera ijin pulang pada teman-teman dosen yang lain begitu tahu Ibu datang, maaf ya Dek, kamu pasti repot Ibu datang tanpa memberi tahu terlebih dulu."
"Nggak papa Mas, Medina malah seneng biar bisa deket sama Ibu."
"Mizan ... Ya Alloh Ibu kangen!" Ibu mertuaku langsung memeluk Mas Muza, Mizan memang panggilan sayang beliau untuk suamiku.
Aku tinggalkan mereka untuk melepas rindu, aku pergi ke dapur dan menyiapkan secangkir teh untuk suamiku. Saat aku datang ibu mertuaku sedang berapi-api menceritakan kejadian tadi pada Mas Musa, sambil menyebutkan 'Mbak-mbak baik' yang menolongnya. Mendengar keakraban mereka berdua aku beranjak menuju ke dapur untuk memasak, dan membiarkan Mas Musa dan Ibu saling melepas rindu.
"Belum selesai Mariam, eh sekarang Mbak-Mbak baik," ucapku sedih pada diriku sendiri.
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
🇮🇩 F E E 🇵🇸
Bidadari Surga bnr2 panjang sabarnya ya Medina.
2022-10-11
1
mbuh
ya kali suami tidur gumamin cewe lain
kl itu gw auto baku hantam
2021-02-24
4