POV Musa
Kehidupan baruku telah dimulai, setelah berhasil menyelesaikan apa yang selama ini aku mimpikan, aku pun kembali bersiap mewujudkan apa yang telah kurencanakan dengan panjang, meskipun aku telah kehilangan seseorang yang pernah menjadi sebuah tujuan, tapi ini lah pembaharuan.
Jauh sebelum kepulanganku orangtuaku telah mempersiapkan jodoh untukku, mereka menjamin kesholehah-an wanita itu, apalagi yang aku cari, setelah satu-satunya mimpi yang berani kuharapkan, gugur, menghancurkan sebagian semangat dan tekatku untuk menjadi lebih baik, aku tidak berani berharap lagi, biarkan Alloh mendatangkan jodoh tanpa harus kucari.
Medina khafiza wanita yang tak kuragukan kesholehah-annya, hasil seleksi diam-diam dari ayah dan juga pamanku sementara aku hanya menerima apa yang telah menjadi pilihan mereka, Insha Alloh itu baik. Meski jauh dalam hatiku masih menyimpan pedihnya perpisahanku dengan Mariam, namun aku harus terus melangkah menjauhi kisah naif yang pernah kuharapkan, mengikuti jejak Mariam yang telah jauh melangkah mendahuluiku. Dan di sinilah aku, mengharapkan Medina sebagai pendamping sekaligus jalan keluarku.
Setelah pernikahan itu, aku sengaja memilih sebuah kota yang tidak mungkin ada Mariam di sana, mungkin.
Ini langkah yang bagus untuk menemukan kehidupan yang baik, sebaik kehidupan yang aku yakini telah menjadi milik Mariam entah dimanapun dia berada. Terakhir kali dia mengirim sebuah pesan untuk mengakhiri hubungan kita, dia tidak ingin menjadi ganjalan untuk mimpi-mimpiku, entah apa yang sebenarnya terjadi hingga dia berpikir dia adalah ganjalan, harusnya dia menyadari dia adalah semangat dan tujuanku. Tidak ada lagi kabar tentangnya, semua seolah menghilang sampai sahabatku, Hadi, memberi kabar bahwa Mariam telah menikah dan segera diboyong ke Batam.
Aku harap Medina adalah obat rasa sakitku, istriku, masa depanku, tujuan hidupku, ibu dari anak-anakku. Aku akan mencintainya agar perasaanku terhadap Mariam segera terkuras habis. Setelah pendidikan panjang yang kujalani ternyata tak mampu mendidikku untuk menghapus perasaan yang salah, aku harap pelajaran hidup berumah tanggaku dengan Medina akan mampu menghapusnya.
Malam itu aku baru saja selesai dengan kelasku, Medina biasanya banyak mengirim pesan tetapi hari ini tidak satu pun pesan darinya. Aku berniat memberikan sedikit hadiah kejutan untuknya, tetapi aku tidak tahu apa yang menjadi kesukaannya. Setelah berputar-putar di arah jalan pulang, aku memutuskan membelikannya martabak manis dengan taburan coklat dan keju.
Ketika aku sampai ke rumah, Medina selalu menyambut kehadiranku dengan senyumannya, awalnya aneh tapi lama kelamaan aku terbiasa. Namun hari ini Medina tampak kurang berselera untuk tersenyum, entahlah mungkin dia lelah, namun dengan takdim Medina tetap menyalamiku, dan juga telah menyiapkan kebutuhanku.
"Mas, mau mandi dulu atau minum dulu?"
"Mas mandi dulu Dek, ini mas belikan martabak kalau nggak suka rasanya besok mas belikan yang lain ya."
"Nggak papa Medina suka kok," balasnya datar.
Aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, semua sudah dipersiapkan oleh Medina, air hangat, handuk, dan baju ganti.
Setelah selesai dan badanku terasa segar, aku menghampiri Medina di dapur yang sibuk mempersiapkan makan malam untukku.
"Aaauuww ... !" tiba-tiba Medina yang berjarak 5 langkah di depanku berteriak.
Terlihat air panas tumpah dan mengenai tangannya, segera kuraih tangannya dan kuarahkan ke westafel untuk menyiramnya dengan air dingin yang mengalir.
"Kamu nggak papa, Dek?"
"Nggak papa Mas cuma kena sedikit, ini mau bikin teh buat Mas Musa."
"Udah nggak usah kamu duduk aja mas bikin sendiri," kuajak Medina untuk duduk di ruang tengah.
"Kamu kalau ada masalah cerita Dek, jangan dipendam sendiri," aku tahu Medina sedang memikirkan sesuatu yang berat, dengan sigap aku mengambil krim obat dan mengoles ke tangannya.
"Nggak papa Mas, Medina cuma sedang mengkhawatirkan sesuatu."
"Khawatir kenapa, Dek?"
"Medina benar-benar boleh mengatakannya, Mas?"
"Tentu saja boleh, sudah kewajiban mas untuk mendengar keluh kesah kamu." Aku memposisikan duduk di sampingnya, kutatap dalam-dalam ke arah matanya.
"Medina khawatir Mas nggak bahagia menikah sama Medina," ucapnya sambil menunduk dia mungkin risih terhadap tatapan mataku, pertanyaan macam apa ini?
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan pertanyaan seperti itu Dek? Ada yang salah dengan Mas?"
"Katakan Mas, apa Mas bahagia telah memilih Medina?"
"Tentu saja bahagia Dek, kenapa bertanya seperti itu?" Aku mulai bingung dan menebak-nebak apa yang ada dalam pikiran Medina.
"Maaf kalau Medina lancang, tapi siapa wanita yang namanya selalu Mas sebut dalam tidur, sampai Mas Musa sering menangisinya di sepertiga malam?"
"Apa?" Aku terkejut dengan pertanyaannya, "Nama siapa Dek?"
"Hampir setiap malam Mas selalu mengigau sambil menyebut-nyebut sebuah nama, sampai Mas berkeringat seperti orang yang bermimpi sangat buruk?"
"Sebuah nama?" Aku bertanya, entah pada Medina atau pada diriku sendiri.
"Mariam ...," jawab Medina.
Kamu benar Medina, itu mimpi buruk yang aku harap kamulah jalan keluarnya.
"Tunggu, jelaskan perlahan Dek, Mas nggak ngerti."
"Hampir setiap malam sejak hari pernikahan kita, Medina sering mendengar Mas mengigau dan menyebut nama Mariam, jadi Medina berharap Mas jujur pada Medina siapa itu Mariam."
Aku tertunduk lemas, mencoba berpikir sejernih mungkin untuk menyusun jawabanku, untuk menyusun hatiku, dan juga mencari-cari posisi Mariam sebenarnya. Aku melihat mata Medina, ada bekas air mata yang mengering di sana artinya dia mungkin telah mengetahui banyak hal. Tanpa kusadari aku telah menyakiti hati istriku, bahkan dia menahan diri untuk bertanya sejak hari pertama pernikahan kami.
"Kamu marah, Dek?" tanyaku memastikan keadaannya dan sedikit mengulur waktu dari introgasinya.
"Enggak ...," jawabnya.
"Lantas?"
"Medina takut Mas nggak bahagia sama Medina, dan takut Mas ninggalin Medina," lanjutnya di susul isak tangis yang aku yakin tulus keluar dari lubuk hatinya.
Subhannalloh ....
Aku reflek memeluknya, menenangkannya dari rasa takut kehilangan. Dia tidak seperti wanita yang lain, dimana sebagian dari mereka pasti akan marah ketika tahu suaminya menyebut nama wanita lain ketika tidur, tapi tidak dengan Medinaku aku semakin yakin dengan jodoh yang Alloh berikan, Insha Alloh istriku adalah perhiasanku sebagai istri yang sholehah.
"Mas nggak akan ninggalin kamu Dek, maafin mas yang tanpa sengaja sudah membuat perasan kamu terluka, Dek."
"Jadi, apa Mas Bahagia?"
"Tentu saja mas bahagia, mas ridho Medina Khafiza sebagai istri mas."
"Maaf Mas, Medina sudah shu'udzon dan sangat takut kehilangan kamu, Mas." Kubiarkan tangisnya meledak sambil ku belai lembut kepalanya.
'Oh ... Mariam, apa sejelas itu aku menyebut namamu?'
"Mas bahagia dan sangat bersyukur dengan takdir Alloh, memiliki kamu sebagai istri Dek, maaf kalau mas belum bisa menjadi pasangan yang sempurna dan belum menjadi imam yang baik untukmu, jadi apa kamu juga bahagia, Dek?"
"Medina bahagia Mas, Medina pasti bahagia kalau Mas Musa juga bahagia ...." Medina tersenyum sambil menyeka bekas air matanya.
"Jadi, siapa Mariam, Mas?" tanya Medina kemudian.
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
mieya723
Sampai saat ini ga terlihat usaha Musa untuk ngelupain Mariam, masih menangisi wanita yang ga ada hubungan apapun padahal sudah terlewat beberapa tahun
2021-02-25
0
Mutmainah Inah
seperti yg q rasakan,bahkan walaupun sudah 13 thn menikah dan mempunyai 2 anak,q masih merasakan cinta suamiku bukan untukku sampai sekarang. Dan pernah sampai q mencari kontaknya hanya karena ingin melihat suamiku bahagia. Dan itu memang benar2 terjadi
2021-02-20
2
Nur'ain Lamatenggo Aini
aq mewek😭😭😭 gak snggup jg klo suami ms mncintai orng lain
2021-02-18
0