Melihat kesedihan Mas Musa yang berkepanjangan, membuat suasana rumah tanggaku begitu dingin dan hambar. Sudah 3 minggu sejak kepergian suami Mba Mariam, Mas Musa lebih menyibukan diri dengan kehidupannya sendiri, seolah-olah aku hanya patung bahkan selama itu pula Mas Musa tidak menyentuhku.
Aku cemburu pada laptop, buku, bahkan pada sajadah yang menemani Mas Musa hampir sepanjang malam. Sajadah yang ada doa dan air mata untuk Mba Mariam di atasnya.
Air mataku sudah kering hanya untuk menangisi cinta Mas Musa, aku hanya mampu berdoa agar suatu saat nanti, Mas Musa bisa mencintaiku. Tapi sepertinya Mas Musa hanya bisa mencintai Mba Mariam. Ya Alloh, haruskah aku meminta Mba Mariam untuk menjadi maduku?
Aku beristihkarah, meminta petunjuk pada Alloh SWT, aku ingin Mas Musa bahagia. Keputusanku sudah bulat, aku pasti kuat.
Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi.
"Perbanyak dzikir dan istighfar, Dek!" pungkas Mas Musa ketika ku utarakan maksudku untuk mengijinkannya berpoligami.
Mas Musa menolak, benar-benar menolak, bahkan aku melihat ada kemarahan di mata Mas Musa.
"Mas ... bukannya Medina nggak menghargai almarhum Pak Bian, tapi ... Medina sudah beristihkarah, Insha Alloh Medina nggak salah Mas."
Mas Musa semakin terkejut mendengar penuturanku, tapi aku sudah tidak tahan dengan semua keadaan ini, aku ingin solusi, aku lelah menunggu aku ingin menjemput sakinahku, mawadahku, warohmahku. Aku muak dengan Mas Musa yang sok-sokan berkata 'tidak' padahal hatinya merasa yang sebaliknya.
"Dek ... mas sama sekali tidak pernah berpikir ke arah sana," tutur Mas Musa dengan penekanan pada kata 'tidak'.
"Mas ... Medina hanya ingin dicintai," ucapku mengiba, Mas Musa menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Medina harus bagaimana lagi? Agar Mas Musa cinta sama Medina, Medina rela melakukan apapun ... termasuk menerima Mba Mariam sebagai bagian dari kehidupan Mas Musa, halalkan dia Mas, agar perasaan yang Mas miliki selama ini menjadi ibadah, Medina rela Mas ... Insha Alloh Medina ikhlas!" tangisku meledak di sana.
"Mas Musa selama ini tersiksa karena perasaan yang tidak halal kan? Maka dari itu, halalkan Mba Mariam Mas, jangan dilupakan jangan di hapuskan karena hanya penderitaan yang Mas Musa dapatkan, nikmati Mas, halalkan ... !"
Aku, Medina Khafiza, yang meminta suamiku untuk mengejar kembali cinta pertamanya.
"Poligami bukan hal yang mudah Dek, mas nggak punya kemampuan untuk melakukannya, banyak syarat dan ketentuan yang mas belum bisa lakukan."
"Lantas, apa Mas akan terus-terusan seperti ini?"
"Istihkarahku bukan hal yang patut untuk diremehkan, itu petunjuk Alloh, Mas!"
Mas Musa hanya diam, dia memijat-mijat keningnya sendiri. Andai Mas Musa tahu, ini adalah bentuk pengorbananku yang paling tinggi, ini adalah caraku untuk mencintai seorang Musa Hamizan.
"Mas akan mencintaimu, Dek!" ucap Mas Musa setelah lama terdiam.
"Sudah ... lupakan ide gila itu!" Mas Musa beranjak pergi meninggalkanku.
Untuk bisa mengucapkan semua ini, aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku, membulatkan tekatku, menekan hatiku. Tapi dengan mudahnya Mas Musa menyuruhku melupakannya.
Aku terdiam melihat Mas Musa memilih pergi, terdengar gemercik suara air dari kamar mandi, sepertinya Mas Musa mengambil wudhu. Lantunan adzan menggema mengingatkan umat muslim untuk segera melaksanakan sholat.
"Ayo Dek, kita sholat Maghrib!"
Aku mengikuti Mas Musa mengambil wudhu. Saat air membasuh wajahku, rasanya segar, air mataku seolah terhapus bersama kesedihanku. Mas Musa sudah menungguku di atas sajadahnya, aku segera memakai mukena dan bersiap berjamaah dengan Mas Musa. Biasanya Mas Musa akan memilih berjamaah di masjid, entalah hari ini Mas Musa memilih untuk sholat di rumah.
Rokaat pertama Mas Musa membaca potongan surah Ar-Rohman, suara lembut dan tartilnya berhasil menentramkan hatiku, kesedihanku seolah-olah ikut menguap.
Rokaat kedua Mas Musa membaca potongan surah An-Nisaa, surah yang terdapat hukum poligami di dalamnya, aku terhanyut dalam merdunya suara Mas Musa. Obat segala kegundahan hatiku.
Selesai sholat Maghrib, aku mengikuti Mas Musa, memanjangkan Dzikir dan berdoa dengan penuh kekhusukan, kucurahkan semua kegundahan dan kesedihanku, begitupun Mas Musa. Hingga waktunya sholat Isya tiba, kami kembali berjamaah.
Mas Musa membaca surah Al-lail, dan rokaat kedua kembali Mas Musa membaca surah An-Nisaa. Selesai sholat dan berdzikir Mas Musa memintaku duduk di sampingnya. Aku memposisikan diri di sampingnya, masih dengan mukena yang aku pakai. Aku tidak berani menatap wajahnya, mengingat mimik wajahnya saat aku mencoba membicarakan poligami.
"Lebih dekat, Dek!" lanjutnya, kemudian aku mendekat lagi sedikit.
Aku kagum pada keberanianku tadi sore, keberanian yang entah kudapat dari mana. Aku hanya menunduk, takut Mas Musa akan kembali membahasnya.
Mas Musa mengangkat daguku hingga wajah kami saling bertatapan, detik berikutnya Mas Musa menundukan kepalanya dan berakhir di pangkuanku, kemudian Mas Musa merebahkan badannya dengan aku sebagai bantalnya. Wajahnya menghadap ke atas tepat ke wajahku.
"Kalau kamu terus menunduk, lebih baik Mas di sini aja, Dek." Mas Musa tiba-tiba berubah manis, setelah sekian lama bersikap dingin, dasar wanita, aku kembali meleleh.
"Dek, berpoligami itu berat, harus adil secara fisik maupun hati, mas belum mampu. Kalau nanti mas terlalu condong pada salah satu sisi, di hari kebangkitan nanti mas akan bangun dalam kondisi yang miring, Adek tega?" ucap Mas Musa sambil menatap ke dalam mataku, aku hanya bisa terdiam, entah aku harus bahagia atau sedih dengan penolakan Mas Musa.
"Berat juga untuk kalian kaum wanita, butuh keihlasan yang tinggi, kesabaran yang bukan main-main, enggak segampang itu Dek, buang pikiran itu jauh-jauh, mas sendiri tidak pernah perpikir ke arah sana ... Wallohi ...!" Mas Musa menyampaikannya dengan tenang tapi begitu menyusup ke hatiku.
"Mas hanya mendoakan semoga Mariam kembali bangkit, tidak lebih. Dan Mas selalu berdoa untuk keluarga kita."
"Jadi, Mas menolak?"
"Iya."
"Medina ingin dicintai, Mas," pintaku lirih.
"Jadi Adek nggak ngerasa kalo selama ini mas udah cinta?"
Aku hanya terdiam mendengar penuturan Mas Musa, jelas-jelas Mas Musa hanya menunjukan cintanya pada Mba Mariam.
"Kamu terlalu sibuk menghitung yang enggak ada Dek, sampai-sampai enggak menyadari apa yang sudah ada."
"Inni uhibbuki fillah!"
Lagi-lagi aku terdiam, bukannya aku tidak percaya. Tapi, aku takut kecewa lagi.
"Diem terus Dek? Yang njawab malah perutnya ini krucuk-krucuk kenceng banget." Mendadak aku salah tingkah, perutku memang belum terisi makanan sejak pagi, dari posisi Mas Musa pasti terdengar sangat jelas, memalukan.
Mas Musa beranjak bangun dari pangkuanku, Mas Musa mengulurkan tangannya kemudian aku memyalami dan mencium punggung tangan Mas Musa, kemudian Mas Musa membalas dengan mencium keningku, lama, cukup lama.
"Sudah ... jangan sedih, maafin mas ya? Sekarang ayo kita makan! Kasian perut Adek udah demo minta makan."
"Iya Mas."
Mas Musa mengajakku makan di luar, karena kebetulan aku tidak memasak hari ini. Mas Musa benar, aku sibuk menghitung apa yang tidak ada, yang seharusnya ada sampai terlupa.
Astaghfirullohaladzim.
Kami berboncengan sambil menikmati udara malam yang dingin, kami melewati blok rumah Mba Mariam. Mas Musa terlihat biasa saja, tapi aku tetap merasakan sesuatu yang mengganjal dan membuat perih.
"Mas Musa mau nasi goreng?" tanyaku ketika Mas Musa memarkirkan motor di depan gerobak nasi goreng.
"Iya, atau Adek mau yang lain?" Aku menggeleng pelan, perutku lapar apa saja pasti enak apalagi makan bersama Mas Musa.
Mas Musa memesan 2 porsi nasi goreng kambing untuk makam di tempat. Sebelumnya Mas Musa sudah mencuci tangan, dia lebih suka makan tanpa sendok ataupun garpu.
" A ...!" Mas Musa menyiapkan suapan pertama untukku, aku pun membuka mulutku dan menerima suapan dari tangan Mas Musa, suamiku.
"Enak?" Aku mengangguk, " Itu suapan cinta, Dek!" lanjutnya yang hampir membuatku tersedak karena malu.
Lanjut kesuapan kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Kasian istri mas ini kelaperan," ucap Mas Musa menggodaku.
Aku bahagia, sangat bahagia. Tapi sebagian hatiku sedih kala mengingat keadaan Mba Mariam. Aku telah menemukan poligami dalam istihkarahku, itu petunjuk Alloh. Dan Alloh mempertemukan Mas Musa dan Mba Mariam di sini pasti dengan maksud dan tujuan tertentu. Ya Alloh, aku harus egois atau bagaimana?
.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments