POV Mariam
"Mariam ... ?"
Entah sudah berapa tahun aku melupakan panggilan itu, sejak buah hatiku, Oktavia, lahir nama Mariam seolah tenggelam. Hari ini seseorang menyebutkan nama itu, dan orang itu adalah Mizan.
"Mizan ... ?"
Seorang lelaki yang datang dengan senyuman yang sangat kuingat, tidak ada senyum sehangat itu, suaranya tidak keras tapi mampu membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur dalam jiwaku. Hamizan, kau kah itu?
Pandangan mata kami seakan saling mengunci, aku sangat terkejut dengan kemunculannya. Setelah kepergiannya yang begitu membuatku terluka, setelah kisah itu karam tanpa ada kejelasan, setelah sekian lama, dan akhirnya waktu berhasil membuatku tersenyum ke arah yang lain, kenapa dia harus kembali?
Aku ingin menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan. Aku pernah begitu terluka, terpuruk, dan patah hati karenanya. Ternyata, masih ada butiran rindu, walaupun aku telah bahagia dengan kehidupanku. Jarak dan waktu yang saat itu begitu menyakitkan, hingga membuatku memutuskan untuk terluka saja.
Kini, dia berdiri di depan mataku. Dan entah beberapa saat tanpa sadar kami berdua terpaku.
"Mas Musa ...." panggil Medina, orang baru di lingkunganku yang ternyata tengah menggenggam berlian masa laluku.
Berpikirlah cepat Mariam, apa yang seharusnya aku lalukan. Menyapanya atau berpura-pura tidak mengenalnya? Menanyakan kabar? Atau berpura-pura lupa saja?
"Hati-hati Tante, maaf saya masuk dulu ... !" Kuputuskan berpura-pura tidak mengenalinya, aku butuh waktu untuk berfikir ulang dan menata hati.
Brugk ...
Segera kututup pintu dan menguncinya, sekilas nampak betapa terkejutnya Mizan dan Medina dengan sikapku . Aku tidak siap terluka lagi. Aku mengambil posisi di balik jendela yang tertutup horden, aku mengintip mereka, hanya memastikan kalau mereka sudah pergi.
Tapi nampaknya belum, Medina malah mengetuk pintu yang sudah ku tutup berulang kali.
"Mba Mariam ... ? Tolong buka pintunya ... !" teriak Medina.
Beruntung hujan begitu deras, sehingga Mas Bian dan Oktavia yang sedang berada di kamar tidak mendengar teriakan istri Mizan. Tak lama kemudian mereka akhirnya pergi.
Mizan, meskipun kamu pernah bermain dengan harapanku namun kini kamu hanyalah orang yang ada dalam doaku. Ragamu yang pernah begitu jauh membuatku tak mampu lagi merasakan kehadiran yang sesungguhnya darimu. Rasanya masih seperti mimpi, tiba-tiba kamu harus muncul di sini, di rumahku, di kehidupanku yang sudah tidak boleh ada kamu lagi di dalamnya.
Setidaknya aku tahu, sekarang kamu bahagia dan baik-baik saja. Sisanya aku akan menyikapinya dengan dewasa.
Benar saja, keesokan harinya Medina datang pagi-pagi sekali. Dia datang bersama Mizan, suaminya, mantan kekasihku. Dan saat itu suamiku, Mas Bian, juga sedang bersiap-siap berangkat kerja, suamiku adalah Manager di sebuah pabrik manufacture di daerah sini. Kuajak Mas Bian untuk bersama-sama menemui Mizan dan Medina.
'Tidak ada yang perlu dicemaskan!' ucapku menegarkan diri di dalam hati.
"Tamu siapa, Mah?" tanya Mas Bian.
"Tante Medina sama suaminya, mau ngambil motor yang semalem dititipin Pah, ayo temani mama temui mereka!"
"Lho tumben, Papa masih sarapan lho."
"Soalnya suaminya Tante Medina itu ternyata temen SMP mama dulu lho Pah, enggak enak aja kalo aku nemuin dia nggak sama kamu biar sekalian kenalan."
"Iya-iya, papa dateng nih."
Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut mereka, dan aku segera membukakan pintu.
"Assalamualaikum, Mba Mariam ...," ucap Medina, matanya menghitam dan sedikit bengkak namun dia tetap memaksakan senyumnya.
"Waalaikumsalam Tante Medina, mau ngambil motor ya?"
"Iya, terimakasih ya Mba, maaf udah ngerepotin."
Mizan pun turun dari mobil menyusul istrinya dan tentu saja menghampiriku. Dekat sekali jarak kami, namun semua tidak lagi sama. Aku tidak berani memandangnya, tidak seperti dia yang nampak sangat yakin untuk mulai menyapaku.
"Mariam, apa kabar?" tanya Mizan.
"Subhannalloh, benarkah ini kamu Zan? Maaf ya kemarin aku bener-bener terkejut enggak percaya aja kalau ini beneran kamu," jawabku dengan banyak acting.
"Mas ... temennya istri saya ya, perkenalkan saya suaminya Mariam, Biantara," Mas Bian menyambut Mizan dengan hangat.
Mizan pun menyambutnya dengan senyuman, senyum yang pernah menjadi milikku.
"Musa Hamizan, kalau teman-teman sekolah biasa manggilnya Mizan, tapi sekarang lebih familiar dengan Musa saja."
"Baiklah Pak Musa, semoga kerasan di lingkungan sini, dan sangat kebetulan ternyata kalian teman sekolah itung-itung ketemu sodara jauh di sini."
"Terimakasih Pak Bian, semoga bisa jadi teman juga dengan Pak Bian!"
"Selamat ya, aku nggak dengar kabar kalau kamu menikah, semoga bahagia, sakinah, mawadah, warohmah, Aamiin," ucapku menyela perkenalan mereka, aku beruntung Mas Bian membuat suasana canggung berubah santai.
"Iya, terimakasih ... !" jawab Mizan.
"Jangan sungkan, kalau butuh apa-apa bilang saja Pak Musa," Mas Bian melanjutkan basa-basinya.
Kulihat Medina hanya diam dan melihat kami, tidak sedikit pun dia ikut menimpali basa-basi yang memang sangat basi. Kemudian mereka pamit, suamiku pun berangkat kerja tidak lama setelah mereka pergi.
Setelah pintu tertutup, aku segera berlari ke kamar mandi menyalakan air dan menangis sekencang mungkin. Karena kisah itu tidaklah selesai, hanya tertunda dan menggantung, itulah yang membuatku terikat dengan rasa sakit yang tidak berkesudahan. Sekarang Mizan datang bagai pemicu untuk tumpukan sakit itu datang kembali.
Aku harus jujur pada diriku sendiri, aku butuh pembahasan dengan Mizan agar muncul sebuah akhir cerita, agar tidak ada lagi yang menggantung ataupun mengganjal. Kisah masa lalu itu harus jelas berakhir dengan bagaimana.
Perpisahan dengan Mizan membuatku pernah berada di titik terendah dalam hidupku, membuatku terkunci dalam ruang gelap yang tidak juga kutemui pintu keluarnya.
Bukan berarti aku tidak bahagia dengan Mas Bian, keluargaku tetaplah segalanya bagiku. Tetapi Mizan tidak pernah tergantikan dan Mas Bian pun tidak pernah menggantikan, mereka berbeda antara masa lalu yang belum sepenuhnya selesai, dan masa depan yang menjadi tempatku berlindung.
Beruntung Oktavia belum bangun, aku bisa puas mengeluarkan emosi dan rasa sakit karena kehadirannya yang tiba-tiba.
Medina juga berubah, tepat setelah Mizan memanggilku Mariam. Ketika dia mengetuk pintu kemarin, bukan lagi Mama Okta yang dia sebutkan tetapi namaku, Mariam. Matanya juga menunjukan kesedihan, apa dia mengetahui kisahku?
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pertemuan ini memang pernah sangat kuharapkan, dulu, ketika Mas Bian belum mampu meyakinkan diriku. Kalau Mas Bian orangnya cuek, dia tidak pernah peduli tentang kisah konyolku dengan Mizan. Tetapi Medina? Seandainya aku bertemu dengannya sebelum dia menikah, aku tidak ingin apa-apa, aku pun sudah tidak peduli perasaan Mizan padaku bagaimana, tetapi hatiku butuh nengungkapkan dan bicara, aku hanya ingin Mizan mendengar penderitaanku selama ini karena dia, bahkan bagaimana tanggapan dia setelah aku mengungkapkan perasaanku nanti pun aku tidak lagi peduli.
Tentu sekarang kondisinya berbeda.
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
🇮🇩 ♏ Q 🎱 🇵🇸
Gak usah mcm2 deh. Kesian si Medina. Kek gak punya hati aja sih Mariam. 😪😪😪
2022-10-12
0